Reklamasi Adalah Tantangan Lingkungan Terberat Pernah Dialami Jakarta
Semua foto oleh penulis.

FYI.

This story is over 5 years old.

Kerusakan Lingkungan

Reklamasi Adalah Tantangan Lingkungan Terberat Pernah Dialami Jakarta

Proyek ambisius itu menyedot dana triliunan, memicu penggusuran paksa dan rangkaian protes, serta perdebatan akademisi soal manfaatnya.

Sampah terhampar sejauh mata memandang—bungkus plastik mi instan dan makanan kecil—di antara air laut yang berwarna coklat kehitaman. Sebagian besar sampah tersapu gelombang laut, lalu teronggok begitu saja di tanggul yang memisahkan daratan. Asman sibuk membuang sampah-sampah yang bisa mengganggu laju baling-baling perahu motornya. Ketika Teluk Jakarta dipenuhi onggokan sampah seperti itu, nelayan tradisional seperti dirinya terpaksa menempuh waktu yang lebih lama untuk sampai ke tengah laut dan mencari ikan. Melewati delapan pulau buatan yang kini mudah dilihat dengan mata telanjang. Pulau-pulau yang menjadi akar sengketa di Ibu Kota. "Kami harus melaut lebih jauh lagi. Sementara kapal motor kecil cuma mampu melaut sejauh 3 kilometer," ujarnya.

Iklan

Pesisir Jakarta dengan garis pantai sepanjang 35 km adalah muara 13 sungai dan dua buah kanal banjir. Sejak dulu, daerah pesisir menjadi pusat perdagangan dan persebaran budaya yang sekaligus menghidupi puluhan ribu nelayan secara turun temurun. Tapi keadaan tersebut berubah seiring laju modernitas. Pencemaran logam berat seperti merkuri di Teluk Jakarta mencapai 0.45 - 1.2 ppm, melebihi ambang batas yang dianjurkan WHO sebesar 0.05 ppm.

Asman, 55, mengenal kehidupan bahari di teluk Jakarta, karena dia lahir dan besar di Muara Angke, Jakarta Utara. Pria keturunan Bugis ini dibebani tanggung jawab melaut sebagai pekerjaan turun temurun keluarga. Dia hanya mengenal pendidikan sampai jenjang SMP, selebihnya dihabiskan untuk melaut. Tapi selain permasalahan limpasan air laut, nelayan juga masih harus menghadapi tangkapan ikan atau kerang yang terus menurun seiring pencemaran di teluk Jakarta. "Sudah beberapa minggu ini kami tidak melaut. Sudah lama ikan-ikan pergi dari teluk ini," kata Asman.

"Modal kami biasanya sekitar Rp200 ribu-Rp300 ribu untuk ke laut dekat, sekarang paling-paling cuma bisa membawa pulang Rp 40 ribu. Tekor kami lama-lama," kata Asman.

***

Semua cerita ini berawal dari proyek ambisius National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Program pembangunan ini meliputi giant sea wall—proyek ambisius Presiden Joko Widodo sejak memegang tampuk tertinggi pemerintahan pada 2014. Megaproyek NCICD rencananya dimulai akhir 2018, sumber dananya hasil kerjasama pemerintah Belanda dengan Indonesia. Pelaksanaan proyek giant sea wall diperkirakan menelan dana Rp 500 triliun. Tujuan utama adanya pembangunan pulau-pulau serta tanggul laut raksasa ini sebagai upaya menghindarkan Jakarta dari kiamat yang datang lebih cepat. "Orang-orang nampaknya hanya bilang 'tidak' terhadap proyek reklamasi dan menganggapnya sebagai penyebab kerusakan ekologi dan banjir," kata ahli hidrologi di konsultan perairan Deltares asal Belanda, JanJaap Brinkman. "Kita tidak bisa cuma bilang 'ini buruk', kita harus melihat gambaran besarnya. Fakta bahwa Jakarta ini tenggelam 10 - 20 cm per tahun tidak bisa diabaikan."

Iklan

Namun, di tengah jalan, ternyata pemerintah menambahkan skema baru selain pembangunan tanggul. Yakni pengembangan 17 pulau reklamasi seluas 5.100 hektare yang memakan dana Rp 300 triliun membentuk Garuda jika dilihat dari atas. Dibutuhkan 300 juta m3 tanah untuk mengurug laut. Sejauh ini pemprov Jakarta sudah memberikan izin pembangunan delapan pulau reklamasi. Nantinya proyek reklamasi tersebut akan dibagi menjadi tiga kawasan meliputi permukiman dan wisata di bagian barat, perdagangan jasa dan komersial di tengah, dan timur untuk distribusi dan pelabuhan. Proyek reklamasi dengan tujuan komersial inilah yang kemudian memicu debat aktivis lingkungan dengan Pemprov DKI.

Pada perjalanan siang itu, saya ditemani Asman bersama putra sulungnya, Sunanta, berangkat dari pelabuhan Kali Adem menggunakan perahu motor andalannya menuju Pulau reklamasi G. Kapal kami bisa berjalan lancar kembali setelah sampah dibersihkan sepenuhnya dari baling-baling. Pulau ini yang menjadi sumber pertikaian 17 ribu nelayan tradisional di Jakarta Utara dan pemerintah provinsi DKI. Di atas tanah urukan seluas 161 hektar tersebut akan dibangun superblok seluas 60 hektare meliputi apartemen, pusat perbelanjaan, dan perkantoran yang dimiliki PT Muara Wisesa Samudera—anak perusahaan pengembang raksasa Agung Podomoro Grup. Di tengah perjalanan, Asman bercerita bagaimanan kehadiran pulau-pulau itu membuat nelayan Jakarta terpaksa mencari ikan hingga Lampung atau Kalimantan. Itu hanya untuk mereka yang punya cukup modal setidaknya Rp5 juta sekali melaut. "Para nelayan sekarang banyak yang menawarkan jasa transportasi penyeberangan ke Kepulauan Seribu demi menyambung hidup. Ada juga yang membuka warung."

Iklan

Risiko lain yang dihadapi juga jauh lebih besar: menghadapi bajak laut. "Pernah satu kali perbekalan dan bahan bakar kami dirampas. Diancam dengan pistol. Hasil laut pun diambil."

Asman mengendalikan perahu motornya saat kami menuju Pulau Reklamasi G.

Kapal kami hanya butuh 30 menit mencapai pulau G. Mendekati dermaga pulau reklamasi, dua orang satpam langsung menghampiri. Mata mereka melotot, tidak bersahabat. Mereka tidak menginginkan siapapun yang tidak berkepentingan untuk masuk. "Beberapa nelayan bahkan pernah dilempari batu oleh penjaga pulau reklamasi," kata Sunanta sambil memutar kemudi kapal menjauhi pulau G.

Suara mesin kapal memekakkan telinga, dan kami harus setengah berteriak untuk berkomunikasi. Kami pun mengurungkan niat berlabuh dan memutuskan untuk berputar-putar saja melihat proyek reklamasi. Di pulau C dan D, yang berjarak beberapa kilometer dari pulau G, pembangunan sudah berjalan sejak tahun lalu. Tampak dari kejauhan bangunan-bangunan komersil yang baru selesai dibangun. Para aktivis, peneliti dan nelayan menuding proyek pulau reklamasi bakal memperparah keadaan teluk Jakarta, yang sudah diambang kehancuran ekologis, dan kota Jakarta itu sendiri.  Persoalannya, semua data obyektif menunjukkan pada 2030 Jakarta Utara akan tenggelam. Pilihannya cuma dua: mengevakuasi seluruh warga Jakarta Utara atau segera melakukan perubahan. Brinkman, sebagai pendukung program NCID, mengingatkan bila 12 waduk yang ada di Jakarta saat ini hanya sanggup menadah air hujan.

Iklan

Akan terjadi social clash. Pemerintah mengambil aset nasional tapi tidak untuk semua rakyat.

Sedangkan volume penampungan semua waduk, tak cukup menampung air sungai dari hulu saat curah hujan tinggi, apalagi mengalirkannya ke teluk Jakarta. Yang terjadi tentu akrab di telinga: banjir. "Coba kunjungi pintu air dan stasiun pompa air di Ancol dan lihat apa yang terjadi dengan penurunan level tanah di Jakarta," kata Brinkman.

Stasiun pompa air Ancol yang dibangun pada 1997 menjadi yang paling terbebani di seantero DKI. Stasiun tersebut menjadi benteng terakhir Jakarta melawan banjir. "Stasiun ini menampung semua air dari Katulampa dan sebagian dari sungai Ciliwung," kata Ichsan, sang operator pintu air. "Jika Katulampa dalam keadaan siaga, dalam 8-9 jam air bakal sampai sini

Pada saat curah hujan tinggi dan air laut pasang seperti yang terjadi akhir Februari 2017, ketiga pompa tersebut dinyalakan selama 24 jam. Namun tetap saja air meluap sampai daerah Pademangan dan Gunung Sahari. "Kalau kiriman air dari Katulampa tinggi, sementara air laut sedang pasang ya semua pompa harus dinyalakan," ujar Ichsan, yang baru bekerja dari 2016. Asep, petugas pintu air Ancol lainnya, mengatakan bahwa tinggi muka air (TMA) di pintu air tersebut sudah berubah dalam satu dekade terakhir.  "Kalau soal level tanah turun sih memang begitu kabarnya. Pada 2007, tinggi muka air normal itu 80 cm, saat ini bisa mencapai 200 cm," ujar Asep.

Iklan

Dermaga salah satu pulau reklamasi.

Data itu, menurut Brinkman, harus direspon dengan solusi terpadu. Baginya, proyek reklamasi memang tidak sempurna namun lebih berdampak untuk jangka panjang bagi kelangsungan pesisir Jakarta.

"Di manapun (reklamasi) akan menyebabkan dampak lingkungan. Bahkan di Belanda yang telah melakukan reklamasi ribuan hektare juga menimbulkan dampak. Tapi kita bisa melakukan kompensasi dengan merestorasi alam di daerah terdekat. Contoh saja kita bisa membuat mangrove di dekat Giant Sea Wall," kata Brinkman.

"Dengan adanya pulau reklamasi, akan terjadi perlambatan arus dan penumpukan sampah," kata peneliti Henny Warsilah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang memiliki pendapat berbeda. "Pencemaran air juga akan bertambah karena banjir akan terkepung tidak bisa mengalir dengan bebas ke laut."

Henny meneliti dampak sosial ekonomi dari proyek NCID, mengatakan bahwa sekitar 17 ribu nelayan tradisional akan terancam kehilangan mata pencaharian karena akses terhalangi oleh pulau-pulau reklamasi. "Proyek tersebut juga akan mempengaruhi sumber daya ikan, sehingga berakibat menurunnya pendapatan mereka. Dikhawatirkan mereka juga akan digusur ke tempat yang lebih jauh," kata Henny. Persoalannya, untuk membuktikan bahwa proyek reklamasi akan sepenuhnya berdampak negatif dan menyebabkan kehancuran teluk Jakarta nampaknya memerlukan studi yang cermat dan bersifat interdisipliner.

***

Ian Wilson, research fellow dari Asia Research Centre di Murdoch University Australia, punya pendapat berbeda. Sengketa reklamasi sama sekali tidak terkait upaya penanganan banjir. Akar masalahnya jelas: ada pulau-pulau buatan yang mendadak dibangun untuk tujuan komersial, di tengah skema besar penyelamatan lingkungan. Dia mengatakan proyek NCICD amatlah kompleks karena menyangkut masalah sosial, politik dan ekonomi.  "Sesuai konstitusi, tanah dan laut digunakan untuk kesejahteraan rakyat, tapi proyek NCICD dan reklamasi ini hanya untuk kalangan atas," kata Wilson. "Akan terjadi  social clash. Pemerintah mengambil aset nasional tapi tidak untuk semua rakyat." Wilson menghabiskan beberapa bulan tahun lalu meneliti masyarakat Luar Batang. Dia mengatakan bahwa proyek reklamasi yang memicu banyak penggusuran di Jakarta Utara seharusnya mencakup tiga aspek: tata kota yang baik, keadilan sosial, dan menjaga masyarakat miskin.

Pada kenyataannya, masyarakat miskin seperti nelayan kecil di Luar Batang tercerabut dari akarnya karena dipindahkan ke rusun Marunda yang jauh dari pantai. "Dari pengamatan saya, puluhan keluarga masih bertahan di dalam gubuk-gubuk kumuh di antara reruntuhan pasar ikan yang digusur pemerintah pada April 2016. Sementara bagi Asman, dia dan nelayan Muara Angke mengaku belum pernah diajak sosialisasi atau diskusi masalah reklamasi. Sampai saat ini belum jelas nasibnya apakah akan digusur atau tidak. "Kami belum pernah diajak berembug oleh pihak pengembang dan pemprov. Kami cuma butuh kejelasan. Kami tidak masalah kok tinggal di gubuk, di manapun asalkan dekat dengan pantai. Kami menolak tinggal di rusun karena jauh. Lagi pula di rusun itu ribet karena kami harus membawa jaring dan perlengkapan melaut," ujarnya.

Asman mengatakan bahwa pada era pemerintahan Gubernur Sutiyoso, sekitar 5.000 nelayan Kali Adem dipindahkan ke kampung nelayan Indramayu, Jawa Barat, secara sukarela karena menolak dipindahkan ke rumah susun.

"Kami tidak pernah minta yang muluk-muluk, asalkan kami masih bisa makan. Hidup itu cuma sementara kok, toh besok juga pasti mati," kata Asman, persis sebelum kami berpamitan.