FYI.

This story is over 5 years old.

post-rock

Benarkah Musik Sigur Rós Cuma Disukai Para Hipster Manja?

Saya kok merasa musik post-rock anaemic asal Islandia itu hanya bisa dinikmati mereka yang merasa realita teramat keras, lalu berpura-pura hidup akan selalu indah.

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey.

Baru-baru ini saya mengalami malam minggu seru. Malam minggu bersama teman-teman yang mengingatkan anda akan masa muda penuh gairah. Tidak ada yang bisa merusak mood anda malam itu. Sepertinya alam semesta menakdirkan anda agar bersenang-senang.

Sesampainya di apartemen teman, kami ngerokok dan minum bir dengan santai. Kami ngobrol ngalor-ngidul dengan bebas tanpa harus banyak berpikir. Sampai akhirnya peristiwa tersebut terjadi: seseorang memutuskan untuk menyetel musik.

Iklan

"Cuy," kata salah satu teman pada saya. "Gue setel musik santai ya?"

"Oke siap," kata saya. Awalnya saya pikir mereka akan memutar musik ambien ala Brian Eno atau Stars Of The Lid. Setelah menyambungkan kabel aux ke stereo set dan menyalakan Spotify, mereka mengklik lagu pilihan dan kembali duduk di sofa. "Eh, gedein dikit dong volumenya," tambahnya.

Anjirrrrrr ternyata Sigur Rós yang diputer. Kenapa mesti Sigur Rós sih? Teman saya dengan santainya duduk, tersenyum, dengan sebatang rokok di tangannya sambil bergumam mengikuti lagu "Hoppípolla". Di saat itu juga saya sadar bahwa persahabatan kami selama ini palsu. Saya langsung berdiri dan meninggalkan ruangan. Kenapa? Karena buat saya Sigur Rósitu musik buat bocah manja.

"Apaan sih?" mungkin itu pertanyaan kalian semua buat saya. Kenapa saya membenci Sigur Rós—band yang baru mengumumkan jadwal tur Amerika Serikat dan beberapa jadwal manggung di festival musik Eropa dan digilai kaum penikmat yoga di seluruh dunia—band untuk mereka-mereka yang tidak bisa menghadapi kenyataan namun berpura-pura bahwa hidup selalu indah. Mereka-mereka yang terlibat komunitas pelangi, doyan berkebun, belanja vinyl mahal, dan makan granola bar biar 'sehat'. Masih bingung alasan saya engga suka Sigur Rós? Dengan senang hati akan saya jelaskan.

Band ini sudah menghasilkan tujuh album rekaman—dan beberapa diantaranya dinyanyikan dalam bahasa ngasal buat-buatan—'seniman' asal Islandia ini terus memproduksi musik membosankan dan ajaibnya menjadi band favorit mereka-mereka yang menyebut diri sebagai "music fans". Kebanyakan dari mereka adalah kelas menengah yang hobi dan mampu nonton festival musik Laneway di Singapura, bela-belain nonton Coldplay ke Bangkok, mantan anak shoegaze/dream pop yang bosen dengerin My Bloody Valentine, atau millenial yang mulai mendengarkan "musik serius" di era blog musik/message board. Kalau sukses menonton gig Sigur Rós, mereka semua akan mengunggah foto 'megah' penampilan band ke Instagram dengan tagar semacam #nangis #epik #pecah #ilovejonsi lengkap dengan emotikon wajah menangis. Lah terus kenapa? Kok kayaknya sentimen gitu? Emang apa yang jelek tentang Sigur Rós? Salah satu faktor terbesar yang membuat Sigur Rós menjadi band idola bocah-bocah manja adalah bahasa buatan yang mereka ciptakan. Ada semacam upaya sadar dari band itu untuk mendapatkan status cult outsider, supaya dipuja para remaja-remaja sensitif berkacamata. Tau gak siapa lagi yang bikin bahasa sendiri untuk lirik lagu? Sherri dan Terri dari serial The Simpsons, dan mereka karakter terburuk di film kartun satu itu.

Selain masalah bahasa—Hopelandic, katanya—musiknya juga bermasalah. Sigur Rós menciptakan musik yang membuat tim pengisi soundtrack film "dokumenter indah" mempunyai alasan untuk berterima kasih kepada Tuhan setiap harinya. Musik yang cocok mengiringi adegan kakek-kakek yang tidak suka keluar rumah dan kemudian menginjakkan kaki keluar untuk pertama kalinya dalam 40 tahun. Musik yang cocok mengiringi burung merpati yang berlindung dari hujan di bawah ban mobil ("awwww"). Musik yang mencari makna mendalam di segala hal. Musik Sigur Rós adalah Godspeed You! Black Emperor bagi mereka-mereka yang takut kehilangan. Musik Tortoise KW bagi mereka-mereka yang meyakini bahwa berusaha dalam hidup adalah kualitas pribadi terpenting. Ya berusaha boleh-boleh saja, tapi berusaha tidak membuat anda menjadi orang suci.

Lengkap dengan bagian chorus tanpa vokal, dan nuansa strings sok epik, Sigur Rós berusaha mencapai suasana ambient surgawi tapi terdengar seperti musik pengantar yoga bagi penggemar Enya. Sigur Rós adalah bukti bahwa sound "megah" tidak selalu berarti bagus. Mendengarkan musik mereka buat saya menyakitkan, karena rasanya seperti mendengarkan seseorang berusaha mencapai suatu klimaks yang tidak kunjung datang selama 10 menit.

Tahun ini, Jonsi dan gerombolannya akan tur keliling dunia, manggung di depan ribuan penonton setiap malam, dan membuat penggemar-penggemarnya yang cengeng menangis terharu. Saya berani taruhan deh. Sebagian penggemar lebay mereka pasti bakal mendeskripsikan pengalaman nonton konser Sigur Rós sebagai "pengalaman spiritual". :)