Seniman Anne Collier Memberi Bukti Selfie Tak Cuma Narsis, Tapi Memberdayakan
Women with Cameras (Self Portrait)oleh Anne Collie

FYI.

This story is over 5 years old.

Fotografi

Seniman Anne Collier Memberi Bukti Selfie Tak Cuma Narsis, Tapi Memberdayakan

Dalam sebuah wawancara langka, seniman visual Amerika, Anne Collier mendiskusikan proyeknya berjudul Women with Cameras (Self Portrait)—sebuah koleksi selfie selama empat dekade terakhir.

Saat seniman visual asal Amerika, Anne Collier, mulai mengambil gambar dan menata ulang cara-cara kita berkomunikasi lewat fotografi, media sosial belum terpikirkan oleh Mark Zuckerberg. Selama karirnya, lanskap pembuatan, persebaran, dan manipulasi gambar telah berubah secara mendasar. Coba cari tagar “obsessed” di Instagram dan kita akan menemukan sekitar 10,000,000 foto. Cari tagar “selfie,” dan kita akan melihat hampor 355,000,000 foto. Sebagian besar foto ini terkumpul selama enam tahun terakhir, tapi asal-usul keinginan kita untuk mengunggah dan mengunggah ulang foto diri kita, foto orang lain, dan foto produk-produk yang kita gunakan, dapat ditemukan dalam karya-karya Anne yang revolusioner.

Iklan

Belajar dengan arahan beberapa seniman visual yang paling menggugah di Amerika pada abad ke-20, seperti Mary Kelly, John Baldessari, Paul McCarthy—di California Institute of the Arts dan UCLA, Anne telah mengembangkan gaya fotografi yang mengaburkan genre-genre. Proyek-proyek fotografi miliknya memeriksa batasan di mana kita memahami diri kita dan tempat kita di ruang publik, serta kultus selebriti, kondisi manusia, dan hubungan kita yang rumit dengan budaya dan kapitalisme.

Dalam karya terakhirnya, Women with Cameras (Self Portrait), dia mengumpulkan 80 foto diri diambil oleh perempuan-perempuan anonim di era 1970an dan awal 2000an. Dari selfie di kaca spion, sampai kamar mandi umum, wajah-wajah mereka tertutup kamera itu sendiri—jauh sebelum ada kamera depan—tapi gaya dan atmosfer setiap gambar menceritakan kisah unik dan beragam soal setiap perempuan. Mengoleksi foto-foto dari banyak tempat—toko baju bekas, pasar, online—Anne kemudian tertarik dengan gagasan bahwa foto-foto pribadi ini diabaikan begitu saja oleh subjeknya. Hasilnya adalah sebuah pelajaran soal perkembangan hubungan manusia dengan lensa. Kami ngobrol-ngobrol dengan Anne soal apa yang dia pelajari dari potret diri selama empat dekade

Bisa ceritakan kamu tumbuh besar di mana?
Di semua tempat. Saya lahir di Los Angeles pada 1970, tapi ayah saya pasukan angkatan laut, jadi kami berpindah-pindah setiap tahun. San Diego, Sonoma, San Francisco, Memphis, Charleston, Indianapolis, Washington DC, Hawaii, Filipina, Guam, Panama…

Iklan

Bagaimana dan kapan kamu jadi tertarik pada fotografi?
Saya mendapatkan kamera pertama saya saat kelas enam SD tapi interaksi pertama saya dengan fotografi adalah lewat foto-foto yang muncul di sampul piringan hitam, poster, majalah, dan juga album foto keluarga. Itu semua lah yang membentuk karya-karya saya.

Apa kamu ingat pertama kali terkesima dengan karya seorang fotografer?
Cindy Sherman. Saya melihat karyanya di bangku SMA, saat berusia 17 atau 18 tahun. Bahkan tanpa memahami konteks atau sejarah yang lebih luas soal praktik fotografinya, karya-karya itu mendorong saya untuk mulai berpikir soal diri saya dalam relasinya dengan fotografi. Selain itu, saya juga menemukan karya-karya Lucas Samaras, John Baldessari, dan William Wegman.

Apakah kamu mempelajari fotografi di universitas? Apa menurutmu seniman dan fotografer sebaiknya mempelajari subjek ini di kuliah?
Saya kuliah S1 di CalArts, di situ saya belajar tentang seni—tidak spesifik fotografi. Ya, saya memang memotret, tapi saya juga membuat video. Saya bekerja dengan orang-orang hebat di sana termasuk Michael Asher, James Benning, Al Ruppersberg, Morgan Disher dan sejarawan seni Layne Relyea. Setelah itu baru saya kuliah s2 di UCLA, terdaftar di departemen fotografi, yang saat itu dipimpin oleh James Welling. Tapi profesor saya di UCLA termasuk Charles Ray, Mary Kelly, John Baldessari, dan Paul McCarthy. Masa-masa kuliah saya adalah pendidikan yang luar biasa berharga.

Iklan

Foto seperti apa, sih, yang menggugah emosi? Sesuatu yang berhubungan dengan pengalaman internal kita dan dunia luar. Bisa apa saja, sebenarnya.

Apa menurutmu munculnya kamera depan telah meningkatkan, atau justru menurunkan, hubungan kita dengan potret diri? Bisa ceritakan soal kisah di balik proyekmu ini? Orang-orang selalu memotret diri mereka. Foto-foto di slide-show saya dan dalam buku saya berjudul Women with Cameras (Self Portrait) berasal dari era fotografi pre-digital, pre-selfie. Foto-foto ini mewakili dorongan fundamental untuk mendokumentasikan diri kita, untuk merekam keberadaan kita. Saya mulai mengumpulkan foto-foto amatir menampilkan potret diri perempuan sekitar 10 tahun lalu, mungkin saat kamera ponsel mulai ada.

Foto-foto yang saya kumpulkan sebagian besar berasal dari era 1970an sampai awal 2000an. Saya menemukannya di toko baju bekas, di pasar kaget, dan situs-situs online seperti eBay. Saya tertarik dengan bagaimana foto-foto pribadi ini bisa masuk ke ranah publik. Saya tertarik dengan bagaimana foto-foto ini diabaikan begitu saja oleh subjek original mereka—yang juga merupakan fotografernya. Gagasan soal foto-foto yang diabaikan merupakan benang merah dalam semua karya-karya saya, dan ini juga berhubungan dengan hubungan antara fotografi dan ingatan, melankolia dan kehilangan.

Apakah ada foto yang paling bermakna untukmu?
Cermin sangat berperan dalam hampir setiap foto. Di beberapa kasus, kehadiran cermin sangat nyata, sedangkan pada foto-foto lainnya kurang nyata. Jadi kita tak selalu sadar dengan keberadaannya. Saya suka gagasan bahwa subjek foto memposisikan diri mereka di depan cermin lalu memutuskan untuk berpose, apa yang mereka ingin sertakan dalam foto, apa yang tidak, kapan memencet shutter—semua keputusan yang diambil fotografer manapun. Foto-foto ini memiliki kesamaan, meskipun mereka menampilkan orang-orang yang berbeda, konteks yang berbeda, dan tahapan berbeda dalam hidup subjeknya. Semacam ada sisi universal pada foto-foto ini.

Apa yang bisa kita pelajari dari potret diri perempuan-perempuan selama empat dekade?Alasan mengapa kita memotret diri kita mungkin belum berubah selama 40 tahun terakhir. Yang telah berubah adalah teknologi yang mengizinkan kita untuk langsung membagikan foto-foto ini—lewat media sosial tentunya—dengan siapapun. Inilah perbedaan terbesarnya. Foto-foto analog dalam buku saya mungkin mulanya hanya dilihat oleh segelintir orang—sang fotografer, dan mungkin beberapa teman dan anggota keluarganya. Sementara sekarang, apa yang tadinya privat, dari banyak segi, telah menjadi publik. Women in Cameras (Self Portrait) sangat tertarik dengan ambang ini—antara yang privat dan yang publik—dan peran fotografi dalam pembicaraan-pembicaraan macam ini.