Potret Anak-Anak Rohingya Yang Berhasil Kabur Dari Pembersihan Etnis di Myanmar
Semua foto oleh Ahmar Khan.

FYI.

This story is over 5 years old.

Myanmar

Potret Anak-Anak Rohingya Yang Berhasil Kabur Dari Pembersihan Etnis di Myanmar

Sebagian anak ini bahkan belum genap 10 tahun. Mereka kehilangan keluarga, bertahan di pengungsian darurat Bangladesh, tapi mereka harus melanjutkan hidup.
Narendra Hutomo
Diterjemahkan oleh Narendra Hutomo

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

COX’S BAZAR, Bangladesh — "Ibuku terbunuh setelah militer membakar rumah dan desa kami," kata Yasmin Noor, bocah berusia 8 tahun.

Dia adalah satu dari ratusan ribu anak-anak Rohingya yang berhasil melarikan diri dari praktik bumi hangus kejam angkatan bersenjata Myanmar akhir Agustus lalu. Tentara Myanmar membakar rumah-rumah warga minoritas muslim sampai jadi abu. Tak hanya itu, sebagian personel militer terbukti terlibat pemerkosaan massal bersama milisi sipil untuk meneror penduduk etnis Rohingya. PBB sejak itu menggambarkan tindakan militer tersebut sebagai "contoh nyata upaya pembersihan etnis." Kepala organisasi hak asasi manusia PBB mengatakan kepada wartawan pekan ini kalau dia tidak dapat mengesampingkan setumpuk bukti konkret telah terjadi "unsur genosida" di Myamar.

Iklan

Maryam Zeyna menggendong anaknya di penampungan sementara para pengungsi Rohingya, kawasan Kutupalong, Cox Bazar. Dia melarikan diri bersama ibu dan kakaknya. Suami Zeyna terbunuh oleh operasi militer Myanmar. Foto oleh Ahmer Khan untuk VICE News.

Diperkirakan lebih dari 625.000 warga Rohingya terpaksa bermukim sementara di desa nelayan kecil kawasan Cox's Bazar sejak Agustus. Menurut UNICEF, enam puluh persen di antaranya adalah anak-anak. Sebelum adanya operasi militer keji itu, sudah bermukim lebih dulu 200.000 pengungsi Rohingya di desa perbatasan Bangladesh-Myanmar. Lonjakan pengungsi secara massal terjadi September, atau sebulan setelah agresi brutal militer. Secara total, lebih dari 830.000 pengungsi sekarang tinggal di dua kamp yang terbentang luas di Cox's Bazar.

Gelombang pendatang baru yang tiba-tiba dan masif ini menyulitkan kerja badan-badan kemanusiaan. Muncul krisis baru di kamp tersebut. Satu generasi, kebanyakan adalah anak-anak di bawah usia 14 tahun, hidup hari demi hari tanpa makanan atau pendidikan yang layak. Dalam beberapa kasus yang lebih ekstrem, mereka harus melaluinya tanpa keluarga sama sekali.

Ribuan anak yang terlantar atau terpisah dari keluarganya tiba di kamp-kamp berlumpur ini. Mereka kehilangan orang tua akibat kekerasan militer, atau terpisah saat kabur lewat jalur laut maupun darat. Survei terbaru oleh UNHCR menyatakan 5.677 (setara 3,3 persen) anak terpaksa menjadi kepala rumah tangga di kamp pengungsian Cox's Bazar. Lebih dari 4.800 rumah tangga, atau 2,8 persennya, mencakup anak-anak yang terpisah dari keluarga mereka serta tak punya wali ataupun pelindung.

UNHCR dalam laporan terbaru memperingatkan adanya peningkatan risiko anak-anak yang tidak didampingi orang dewasa ini menjadi korban pelecehan seksual atau dijebak oleh sindikat perdagangan manusia.

Iklan

Lebih dari 2.700 anak-anak Rohingya di pengungsian mengalami malnutrisi. Mereka yang mengidap busung lapar harus dirawat bergantian di 15 pos pengobatan darurat yang tersebar di seantero kawasan Cox's Bazar.

"Kami ibaratnya duduk di atas bom waktu. Jika dunia internasional tidak bereaksi, masalah di kamp pengungsian Rohingya dapat meledak kapan saja. Para pengungsi membutuhkan air, tempat tinggal, makanan, obat-obatan, serta asupan gizi memadai," kata Jean-Jacques Simon, Kepala Divisi Komunikasi UNICEF di Bangladesh kepada VICE News.

Anak-anak beruntung yang selamat dalam pelarian dengan salah satu dari orang tua mereka atau anggota keluarga besar mereka, membawa bekas luka tersembunyi lainnya—utamanya, trauma karena menyaksikan orang yang mereka sayangi terbunuh depan mata kepala sendiri.

"Mereka memperkosa ibu saya, kemudian membunuhnya dengan menggorok lehernya," kata Faruq, bocah berusia 12 tahun. Faruq melarikan diri bersama ayahnya September lalu. Mereka tinggal di kamp pengungsi Kutupalong sampai sekarang dan tak berencana kembali lagi.

Dua kakak beradik berziarah ke makam ayah mereka, yang meninggal di pengungsian. Dari bukit yang menjadi makam darurat itu, tampak pemandangan kamp pengungsi Cox's Bazar. Saat ini, 800 ribu warga Rohingya terpaksa bertahan di sana akibat terusir dari Myanmar.

November lalu, pemerintah Bangladesh dan Myanmar menyepakati perjanjian untuk mengembalikan ratusan ribu pengungsi Rohingya lagi ke Myanmar awal 2018. Namun pertanyaan tentang jaminan keamanan dan implementasi proses relokasi kembali warga Rohingya tersebut masih menyisakan tanda tanya bagi banyak pihak.

VICE News mendatangi kamp pengungsi Cox's Bazar yang terbentang luas untuk melihat langsung bagaimana anak-anak Rohingya menyesuaikan diri di tengah situasi yang disebut oleh PBB sebagai, "situasi darurat pengungsian paling gawat di dunia saat ini."

Berikut potret anak-anak pengungsi Rohingya bertahan di pengungsian setelah mengalami trauma menyakitkan dan kepahitan hidup yang sulit terbayangkan.

Seorang ayah menggendong anaknya, melewati kerumuman pengungsi di Cox's Bazar. Dia dan anaknya berhasil kabur ke Bangladesh melintasi Sungai Naf.

Anak-anak tidur berdempetan di dalam tenda, Kamp Kutupalong. Akibat lonjakan pengungsi dari Provinsi Rakhine, Myanmar, kelompok relawan terpaksa menampung mereka di tenda dan fasilitas medis seadanya.

Seorang bocah Rohingya berdiri di tenda darurat yang dia tinggali selama bertahan di kamp pengungsi Palongkali refugee camp in Cox’s Bazar, Bangladesh. Photo by Ahmer Khan for VICE News