Salah satu pertunjukan pesta boneka di acara Papermoon Puppet Theatre
Salah satu pertunjukan yang dipentaskan di Pesta Boneka. Foto: Dokumentasi Papermoon Puppet Theatre

FYI.

This story is over 5 years old.

Kesenian

Meriuhkan Desa Lewat Pesta Boneka Lintas Negara

Untuk ketiga kalinya Papermoon Puppet Theatre menggiring festival internasional pesta boneka ke desa. Distingsi antara seniman, warga urban penikmat seni, dan warga 'biasa' dilebur.

Alih-Alih memuncaki festival boneka internasional ini di ruang seni yang punya fasilitas penuh,mereka mengajak warlok berkolaborasi menyulap desa jadi ruang seni baru.Mencari venue acara di Yogyakarta bukan perkara sulit. Gedung pertunjukan berkapasitas besardengan fasilitas lengkap hingga ruang-ruang seni alternatif yang lebih intim tersedia di seanterokota. Tinggal sesuaikan dengan konsep acara dan audiens yang jadi target penontonnya.

Iklan

Bagi orang Yogya, datang dan menikmati acara seni beragam rupa juga bukan lagi hal spesial. Karena toh, hampir tiap akhir pekan poster-poster kesenian bertebaran. Nampaknya, justru kemudahan dan ketersediaan seperti itu menghilangkan sensasi kejut pada konsep acara. Maka tak jarang, penyelenggara sebuah festival justru memilih konsep atau venue lain yang berbeda. Seperti Pesta Boneka 2018 yang digelar 12-14 Oktober misalnya.

Festival pertunjukan boneka bienalle alias dua tahunan sekali ini diinisiasi oleh Papermoon Puppet Theatre, kelompok teater boneka asal Yogyakarta yang berdiri sejak 2006. Tahun ini mereka mengundang 29 kelompok seniman boneka dari 16 negara.

Pada dua hari pertama festival, saya menonton beberapa pertunjukan dan berpindah dengan jalan kaki dari IFI-LIP Yogyakarta ke Sagan Huis yang memang berdekatan. Jangan membayangkan pertunjukan boneka gemas yang hanya cocok untuk anak-anak atau wayang yang mengangkat nilai tradisi budaya.

Karena cerita-cerita yang disuguhkan kerap mengangkat tema personal dengan gaya kontemporer. Beberapa pertunjukan bahkan dikhususkan untuk orang dewasa karena konten dan konsep ceritanya. Seperti Place (No) Place oleh Tom Lee dan Lisa Gonzales dari Amerika Serikat yang menggunakan medium kompleks dan ternyata ceritanya sungguh muram, meski tetap apik.

1540452386321-IMG_2966-1

Namun pengalaman menonton Pesta Boneka yang sebenarnya ada di hari ketiga, ketika Papermoon Puppet memboyong para seniman itu ke Desa Kepek, di Bantul. Butuh sekitar 30 menit dari pusat kota Yogya untuk menuju desa ini. Tahun ini merupakan kali ke-3 Pesta Boneka diadakan di tengah desa, bekerja sama dengan warga lokal sebagai penyelenggara.

Iklan

"Perkembangan Pesta Boneka itu sangat organik. Tahun 2008 bikin acara pertama kali, masih kayak gathering. Tahun 2012 baru jadi bentuk festival, baru sejak 2014 mulai tiga hari. Dua hari di artspace, sehari bikin di desa Kepek," ujar Maria Tri Sulistyani (Ria Papermoon) yang merupakan founder Papermoon Puppet Theatre. "Milih di sana karena dua core member kami adalah warga lokal Kepek, Beni Sanjaya dan Anton," tambahnya.

Berdasarkan rekomendasi Ria Papermoon, saya datang ke Desa Kepek sejak pagi. Jadwal “ When Puppeteers Cook” akan dilaksanakan. Ini adalah program di mana alih-alih tampil, seniman dari 16 negara tadi akan memasak makanan dari negara mereka bersama ibu-ibu desa. Ketika saya sampai pukul 10 pagi, keramaian sudah terbentuk di pekarangan kosong yang merupakan gabungan halaman rumah warga.

Meja-meja kayu disusun berjejer, masing-masing diletaki kompor gas. Berbagai bahan makanan sedang diolah. Rupanya yang menarik, kerumunan pagi itu terdiri dari seniman-seniman bule yang berinteraksi akrab dan meriah dengan ibu-ibu desa Kepek. Tawa meledak di sana-sini meski interaksi mereka berlangsung dalam bahasa yang berbeda, dan kemungkinan besar tak saling mengerti.

Di meja milik Palin Dromo, seniman asal Argentina misalnya. Saya yang semula hanya ingin menonton dipaksa ibu-ibu yang mengerubungi meja untuk menerjemahkan obrolan mereka dengan si bule. Palin Dromo mengaku sedang memasak Empanada, semacam snack berisi daging giling dan kentang yang diberi bumbu lalu digoreng. Ibu-ibu di depan mereka lalu menyahut, “Ah itu kalau di sini namanya pastel!”.

Iklan

Seorang ibu lainnya berkomentar bahwa bumbu yang digunakan oleh mereka kurang. Ia pun berusaha memberi tahu Palin Dromo dengan menunjuk-nunjuk wadah garam sebagai bahasa isyarat.

Di sisi lain, Mermaid Player Puppeteers dari Amerika memasak tomat hijau yang dibalur tepung lalu digoreng krispi. Melihat mereka memasak, gerombolan ibu-ibu di depannya terheran-heran lalu antusias mencicipi. “Aneh ya, masak tomat digoreng,” seorang ibu mengomentari. "Kecut,” komentar ibu berjilbab kuning di sebelahnya. "Ngaduk tepungnya pake tangan kiri e mbak, kan jorok. Aku enggak mau nyoba,” celetuk Bu Purwo. Saya terpingkal menyadari betapa celetukan sepele barusan adalah persoalan kultural yang sangat mendasar bagi ibu-ibu di desa itu. Menurut Ria, acara masak bareng ini justru secara tak resmi jadi program utama dalam usahanya berkolaborasi dengan warga desa.

1540451307622-Ibu-ibu-mencicipi-masakan-tempe-ala-Thailand

Seorang ibu-ibu dari desa Kepek mencicipi makanan yang disajikan para seniman. Foto oleh Umar Wicaksono

Di Kepek, Papermoon Puppet bekerja sama dengan Organisasi Pemuda Pemudi Kepek 3, sejenis kelompok karang taruna di Kepek. Menurut Ria, pendekatan yang ia lakukan berlangsung cukup lama. “Awalnya kami sering bikin lokakarya dengan anak-anak di komunitas Joglo Pintar, terus naruh seniman residensi di Kepek, supaya mereka terbiasa dulu. Pelan-pelan banget, baru si Anton maju presentasi soal festival di rapat RT,” cerita Ria. Ia mengaku tak ingin sekadar menjadikan desa sebagai tawaran eksotis, tapi hubungan mereka harus berkelanjutan dan non-transaksional.

Iklan

“Awalnya pada mengira ini kayak wayang biasa gitu, ternyata beda jadi ya butuh waktu untuk mengerti. Tapi bapak-bapak dan ibu-ibu semua mendukung, apalagi karena banyak melibatkan anak muda dan anak-anak,” ujar Lilik Esmandi, ketua RT 7 yang saat ditemui VICE temui sedang sibuk mereka dirinya sendiri yang berlatar pertunjukan Pesta Boneka, mungkin sedang membuat vlog. “Bagus juga untuk perkembangan desa, ini kan festival internasional,” tambahnya antusias.


Tonton dokumenter VICE mengenai balapan kuda sambil mabuk di Guatemala:


Untuk pembagian tugas, bahkan saat ini Papermoon Puppet hanya berperan sebagai konseptor. Seluruh artistik seperti gerbang, panggung yang menyebar, hingga pernak-pernik di area, serta seluruh teknis di lapangan sepenuhnya dipegang oleh Organisasi Pemuda Pemudi Kepek 3. "Kami enggak mau warga desa cuma jadi tukang parkirnya acara seperti yang banyak terjadi di acara lain," ujar Ria.

Tahun ini, Pesta Boneka mendirikan empat panggung pertunjukan yang mengharuskan penonton jalan kaki keliling desa untuk menikmati pertunjukan. Kadang telihat ayam-ayam peliharaan warga cuek saja melenggang di depan panggung dan penonton yang duduk-duduk di teras rumah warga sambil ngobrol dan jajan.

Salah satu pertunjukan diadakan di kolam lele kosong di pinggir sawah. Pertunjukan dari Flying Ballon Puppet dari Indonesia itu mengangkat tema polusi di laut. Penonton memosisikan diri di tanggul yang mengitari kolam. Boneka-boneka yang diarak masuk tak luput dari cowelan tangan anak-anak Kepek maupun penonton yang gemas.

Iklan
1540452172200-Warga-dan-penonton-membaur-di-tepi-sawah-menonton-penampilan-Flyng-Ballon-Puppet

Beginilah jika pentas diadakan di desa, tak ada panggung apalagi tata cahaya. Empang kosong pun dipakai untuk pertunjukan

Ini juga yang berbeda dari acara di artspace. Di ruang seni, ada kursi nyaman untuk duduk menonton, AC yang membuat suhu sejuk, tata lampu dan suara yang memastikan penampilan menonjol, dan tak ada penonton yang berani bersuara karena suasana formal yang menyelubungi. Namun, ketika diadakan di desa, segala kemungkinan terjadi. “Acara di desa kan enggak ada fasilitas lampu, suara, penonton riuh, tapi itu jadi pengalaman yang menarik karena kami bekerja tanpa standar,” ujar Gwen Knoxx dari Australia. Penonton acara di desa seperti ini memang harus siap menerobos sawah, duduk di tanah, dan hal-hal tak terduga lain.

Beberapa seniman, seperti Jae dan Ta Baby Mime dari Thailand yang sudah tiga tahun ikut Pesta Boneka mengaku tampil di depan penduduk desa lebih menyenangkan karena menurutnya warga desa menunjukkan respon mereka dengan lebih sederhana dan tulus. “Kami pernah kolaborasi dadakan dengan pemuda desa. Saat itu pertunjukan kami butuh smoke gun, tapi karena nggak ada jadi kami minta pemuda yang lagi nge-vape untuk nongkrong di samping panggung,” cerita mereka.

Selain Jae dan Ta, beberapa seniman lain juga mengamini bahwa festival di desa seperti ini membuat mereka lebih banyak berinteraksi dengan penonton. Hal yang sulit dilakukan ketika venue sangat ketat dan acara berlangsung sangat formal. “Untuk saya lebih menyenangkan sesi masak daripada tampil. Kan masak juga pertunjukan, bisa makan bareng lagi,” ujar Oscar Artunes, salah satu penampil. Ketika hari mulai sore, semakin banyak penonton “urban” yang datang ke desa. Menciptakan pemandangan yang cukup kontras, antara mereka yang dandan artsy dan bapak-ibu warga desa yang biasa saja memakai sarung, kaus partai, atau mungkin baju yang masih bau bawang sisa memasak di pawonan tadi pagi. Peleburan publik yang menarik.

Iklan

Di Yogyakarta, konsep ini sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh Papermoon Puppet Teathre. Ngayogjazz yang diadakan sejak 2007 juga selalu mengambil tempat di desa. Mengusung musisi-musisi jazz kawakan, mereka mendirikan panggung di sebelah kandang sapi, lapangan bulutangkis kampung, maupun halaman rumah warga.

"Ide Pesta Boneka di desa itu juga karena pas aku nonton Ngayogjazz di Kotagede, ada simbah-simbah sarungan berdiri di samping penonton yang necis kayaknya dari kota, mereka sama-sama menikmati jazz. Itu menarik banget," cerita Ria. Selain Ngayogjazz, ada juga Jeblog Art Fest di desa Jeblog, dan Selamat Pagi di desa Krapyak yang juga diadakan di tengah desa.

Papermoon Puppet Theatre sendiri berencana terus mengadakan acara dengan warga desa karena menurutnya kolaborasi ini bisa menghilangkan jarak antara seniman dan warga biasa. Mengaburkan distingsi antara penikmat seni kontemporer urban dan warga biasa yang terkesan awam dengan kesenian. Ia juga menambahkan bahwa selama ini seni selalu dibicarakan di ruang seni, maka dengan Pesta Boneka, ia ingin membawa seni ke ruang publik.

"Di acara ini, seniman luntur kesenimanannya. Mereka berkarya, tapi juga jadi orang biasa yang ngobrol dan makan bareng warga biasa," ujarnya.