Tak tampak kesedihan di wajah mereka yang sedang melakukan ritual manene alias "memandikan" jenazah leluhur. Mereka bersuka cita, tertawa, seperti sedang di dalam pesta, bahkan beberapa menyempatkan diri mengambil selfie dengan anggota keluarganya yang kini telah menjadi mumi.Begitu pula Rey, bocah 13 tahun yang kehilangan ibunya lima tahun lalu. Ia mengusap-usap tengkorak ibunya yang meninggal karena serangan jantung. Laiknya anak yang lama tak bertemu ibunya, ia tak mau jauh-jauh, terus berada di dekat peti berwarna keemasan yang jadi tempat bersemayam jasad ibunya.
Iklan
Ibunda Rey bernama Jenny Rongrean. Jenazah Jenny adalah satu dari 10 jenazah yang hari itu dikeluarkan dari patane—kuburan berbentuk rumah batu—untuk seterusnya dibersihkan serta dijemur oleh keluarga atau sanak saudara dari garis keturunan Rongrean.Ritual Manene kini hanya dilakukan di beberapa daerah di Toraja Utara seperti di Rindingallo, Baruppu, dan Kapalla Pitu. Saat VICE datang ke lokasi, pada kamis 20 september 2018, untuk pertama kalinya setelah 42 tahun Desa Pamibak di Kecamatan Kapalla Pitu, Kabuptaen Toraja Utara, melaksanakan ritual manene.
Ritual manene yang diadakan tahun ini hasil keputusan musyawarah warga desa. Mereka memutuskan kembali melanjutkan tradisi yang lama tak digelar. Dalam musyawarah itu, disepakati tiap tiga tahun sekali desa ini akan rutin menggelar Manene. Tujuannya agar keluarga besar yang di perantauan bisa menjenguk Nene To’dolo (nenek moyang-red), sekaligus mempererat hubungan silahturahmi perantau dengan orang tua atau keluarga yang masih hidup atau sudah meninggal, sekaligus mempererat ikatan dengan kampung halamannya."Manene itu bentuk rasa syukur saya kepada keluarga yang memberikan kekuatan serta doa saat di perantauan," kata Kalling, warga Desa Pamibak yang kini bermukim di Bali. "Makanya ketika tahu ada acara manene, saya langsung pulang dari perantauan."Prosesi manene sebetulnya sangat singkat. Hanya membutuhkan dua jam. Setelah dibersihkan, jenazah ditempatkan di kuburan baru. Setelah itu warga kampung di Lembang Pamibak kemudian berkumpul untuk makan-makan. Setiap keluarga wajib menyumbang bahan lauk. Jenis hewannya dipatok sesuai kemampuan. Setelah makan-makan selesai, warga menutup ritual dengan acara si semba’ yang artinya "menendang." Para warga desa akan saling menendang sesamanya, tetapi bukan menyakiti, justru untuk menjalin kebersamaan.
Iklan
Tonton dokumenter VICE menyorot tradisi pemakaman Rambu Solo di Toraja yang penuh darah dan sangat extravagan:
Bagi orang Toraja di perbukitan utara, adat ini dianggap sebagai sebuah bentuk penghargaan dan cara menunjukkan kasih sayang kepada keluarga yang telah lebih dulu berpulang. Acara ini dilaksanakan biasanya pada Agustus atau September, saat warga yang umumnya bekerja sebagai peladang atau petani tak sedang sibuk menggarap sawah atau menanam padi.Nova Rongrean, keponakan mendiang Jenny, menyatakan keluarga yang memandikan jenazah famili sepatutnya melakukan rangkaian ritual ini penuh keceriaan. Di momen inilah sesuai kepercayaan penduduk Toraja, yang hidup dan yang mati bersatu setelah sekian lama tak bersua."Kita tidak boleh sedih kalau datang menene seperti ini, biasanya [keluarga yang meninggal] ikut sedih," kata Nova. "Kalau ada yang sedih kita suruh pulang. Makanya Rey tidak sedih melihat jenazah ibunya."Simak foto-foto rangkaian prosesi manene hasil jepretan kontributor VICE Indonesia Iqbal Lubis: