Standar mendefinisikan kesenian "underground" seharusnya merujuk pada konsistensi satu nama grup ini: Bucho Bagya Parera. Bucho bukan kolektif punk atau metal. Mereka adalah kumpulan seniman tari jaipong yang pentas saban malam—kecuali malam jumat—di kawasan Rawa Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur. Kalian tidak akan kesulitan menemukan 'gig' mereka. Sebab, ketika jarum jam sudah melewati angka 11 malam, kendang akan terdengar bersahut-sahutan diiringi bebunyian organ tunggal. Itulah tanda pentas dimulai.
Pentas jaipong ini jauh dari ingar bingar yang kita bayangkan tentang stereotipe pentas tari tradisional. Tak ada panggung megah, lampu warna-warni terang, belasan kendang, dan ratusan penonton menyemut. Sebaliknya, tiap malam, yang dihadapi awak Bucho Bagya Parera adalah pengunjung warung kopi, dan segelintir manusia, yang memilih menghabiskan dini hari di kawasan pinggir rel kereta dan persimpangan jalan layang menuju Jakarta pusat tersebut. Hasil dari pentas pun tak menentu. Walau masih ada saja orang yang bersedia menyawer mereka.
Penari Bucho Bagya Parera semuanya perempuan. Saat membawakan tari jaipong, yang konon berkembang pertama kali di Karawang, Jawa Barat pada dekade 50'an, mereka semua mengenakan kebaya biru-biru. Aksen biru makin kental berkat pemilihan neon panggung.
Baik penari, juru kawih (penyanyi), pemain organ tunggal, serta penabuh kendang Bucho Bagya Parera masih satu keluarga. Asal mula kelompok ini berkiprah di jalanan Ibu Kota bisa kita tarik hingga 1965. Pada tahun itulah, kakek-nenek mereka merintis pentas jaipong di Jatinegara. Kini mereka meneruskan estafet itu, tak peduli apapun aral yang melintang. Tentu Bucho Bagya Parera tak sekadar modal nekat. Seperti seni tradisional manapun, jaipong Jatinegara ikut bersiasat demi menarik hati pengunjung. Misalnya mengganti rebab dengan keyboard agar bisa menampilkan irama musik kekinian, atau, menggabungkan jaipong dan dangdut.
Hari semakin larut. Pentas jaipong di panggung masih belum selesai. Sudah hampir jam 2 pagi. Jatinegara sedang sepi malam itu. Jakarta sedang tidak macet. Di panggung, dua perempuan terus menari…