Menjajal Lapangan Basket Tersembunyi di Sekujur Jakarta
Lapangan basket di Rumah Susun Kebon Kacang IX. Foto oleh Rizzardi Badudu.

FYI.

This story is over 5 years old.

The Road

Menjajal Lapangan Basket Tersembunyi di Sekujur Jakarta

Akuilah, mau main basket di Jakarta enggak gampang. Harus cari teman se-RT, juga nyiapin iuran banyak. Padahal ada lho lapangan-lapangan gratis yang enak, asal kita rajin nyari. Nih sebagian info lokasinya buat kalian.

Mau jadi anak basket jago di Indonesia emang enggak gampang-gampang amat. Cari tempat latihan susah bener. Lapangan basket jumlahnya ga sebanyak saung-saung yang dipake buat pos ronda yang ada di tiap kecamatan bahkan RW. Lapangan basket juga banyak tuntutan, beda dari lapangan futsal yang selama ada tanah kosong, batu buat dijadiin patokan gawang, sip dah jadi bisa langsung main tendang-tendangan. Lapangan basket kudu ada ring, papan, dan hoop alias ring-nya kudu enak, kalau bisa lurus. Mencong dikit jadi ga enak deh mainnya karena bakal susah buat masukin bola.

Iklan

Karena tempat latihan jarang, kesempatan buat ngasah skill jauh lebih sedikit. Enggak bisa kayak sebelum berangkat kerja main dulu bentar. Atau malam sebelum tidur asah-asah dribbling dan shooting sedikit. Itulah yang setidak-tidaknya dirasakan oleh salah seorang­ ­ streetballer asal Jakarta, Rico Lubis a.k.a. Rico Spinboy. “Beda banget sama di Amerika atau di Cina,” kata Rico yang sehari-hari tinggal di daerah Permata Hijau. Kalau di Amrik, kayak biasa kita lihat di film-film, gampang aja mau cari lapangan basket. Tinggal turun ke parkiran rusun, udah ada lapangan dengan hoop yang kinclong menanti untuk ditombok. Di Indonesia? Atau khususnya di Jakarta? Yah, tau sendiri, enggak segampang itu. Kalaupun ada, biasanya berbayar. “Rata-rata lapangan proper yang berbayar biayanya Rp400-600 ribu per dua jam,” kata Rico.

Kalau ada temen 20 biji enak sih. Tapi kalau lagi sendiri, kan ga mungkin tuh kita ngeluarin duit setengah jeti cuma buat muasin keinginan latihan crossover dan keahlian under ring. Untunglah, Rico dan kawan-kawannya enggak mau berhenti berusaha. Mereka terus menekuni olahraga favoritnya itu, tetap latihan, sembari berburu lapangan basket yang bisa dipakai cuma-cuma.

Perjuangan mereka terbayar. pastinya ada pilihan lain. Jakarta ini sebetulnya lumayan penuh lapangan-lapangan basket obscure yang semi-semi tersembunyi, yang enggak berbayar, enggak harus izin-izin dulu, bisa langsung dateng dan crash the court asal bae-bae aja sama barudak setempat. Niscaya bisa langsung gabung main dan latihan jadi the next Kyrie Irving atau Stephen Curry.

Iklan

Berikut beberapa lapangan basket ‘tersembunyi’ di area Jakarta yang kami pilih atas rekomendasi Rico Spinboy. Daripada ngeluh, mending langsung mulai aja dulu kawan!

Monumen Nasional

Foto oleh Rizzardi Badudu

Udah bisa dipastikan yang namanya orang Jakarta pasti hampir enggak pernah ke Monas, kecuali lagi ada sodara dari luar kota datang bertandang dan minta diajak jalan-jalan. Buat yang belum pada tahu, di Monas, di sisi timur yang sejajar dengan stasiun Gambir, ada satu lapangan basket dengan fasilitas bagus dan terawat.

Hoop-nya cakep, papannya fiber glass, dan lapangannya disemen dengan mulus. Kalau Sabtu-Minggu bisa main sampai malam karena ada lampu-lampu menerangi. Kalau hari biasa bergantung mood satpam setempat mau nyalain lampu apa enggak. Masuk monas dan main basket di sana gratis enggak perlu keluar duit sedikitpun. Yang minusnya, berhubung itu lapangan, jadi anginnya gede. Agak sulit buat shooting-shooting karena bolanya pasti belok mengikuti arah angin.

Rusun Kebon Kacang IX, Lapangan I dan II

Foto oleh Rizzardi Badudu

Main di sini dapet banget vibe-vibe Brooklyn-nya (belaga pernah ke Brooklyn padahal cuma liat di film). Dari segi visual dan atmosfer, streetball banget deh. Ini lapangan ada di dalam kompleks rumah susun Kebon Kacang IX. Untuk masuk ke sana kudu nyelusep-nyelusep di jalan-jalan setapak antara gedung satu dengan yang lainnya. Sebenarnya lapangan ini diperuntukkan bagi orang-orang yang tinggal di sana. Tapi namanya fasilitas publik, bebas-bebas aja sebenarnya kalau mau datang dan main selama kita bisa woles sama warga setempat.

Iklan

Di lapangan pertama yang kami datangi, basket rupanya kalah pamor sama futsal. “Di sini jarang sih yang main basket, lebih sering ya begini,” kata Acung, 14 tahun, yang saat kami tanya-tanyai sedang nongkrong di pinggir lapangan sambil makan nasi dan fried chicken dari gerobak di sebelah.

Foto oleh Rizzardi Badudu

Di lapangan kedua, peminat basket lebih banyak. Ada Saddam dan Akbar, sama-sama 14 tahun, yang datang ke sana sambil bawa bola basket mikasa karet warna oranye terang. Tapi di lapangan kedua situasinya chaos berat. Satu lapangan bisa dipakai tiga sampai empat permainan sekaligus. Ada yang main futsal. Ada cewe-cewe main petak umpet. Ada bocah-bocah piyik main WWE. Semuanya dilakukan berbarengan. Saddam dan Akbar karena kalah jumlah sampai-sampai harus nyambi jadi kiper bola sambil sesekali ngeshoot bola basket ke ring. Jadi ni lapangan emang sejatinya street banget, tanpa tatanan sekaligus egaliterian.

Taman Menteng

Foto oleh Rizzardi Badudu

Taman Menteng ini tipikal taman kota yang ideal. Banyak tempat main, tempat duduk-duduk, tempat foto-foto, lumayan asri dan gratis. Di sekelilingnya, selain ada gerobak-gerobak mamang jualan dan sepeda penjual minuman instan yang senantiasa keliling sambil bunyi-bunyiin bel kringkring, ada juga rumah-rumah elit yang besar-besar entah punya siapa. Ring di sini cukup baik dan nyaris tanpa masalah.

Lapangan Blok S

Foto oleh Ananda Badudu

Kalau kata Rico Spinboy, ini lapangan street banget. Bebas main kapan aja, enggak ada yang jaga. Lapangan rada bergelombang dan retak sana-sini. Ring karatan. Dan tentu saja, seperti lapangan-lapangan lainnya, lebih sering dipakai bocah-bocah main bola daripada main basket. “Jarang banget ada yang main di sana,” kata Rico. Berhubung jauh dari perumahan, jadi mau gedug-gedug dribble bola sampai malem ga perlu takut. “Gue kalo main malem di sana gelap-gelapan,” katanya.

Iklan

Kampus Interstudi, Panglima Polim V

foto oleh Ananda Badudu

Di Jalan Panglima Polim V, tepatnya di belakang kampus interstudi, ada lapangan basket yang asoi berat. Papan fiber, tiangnya kokoh, pohon-pohon di pinggir lapangan dilapisi busa, dan ada jaring pengaman memastikan bola yang liar terlempar enggak sampe ngegebruk mecahin gerobak batagor di sebelah. Tak hanya itu, tepat di sisi lapangan ada gardu listrik besar yang penuh dengan grafitti warna-warni. Udah lapangannya enak, instagrammable pula. Cocok nih. Nah tapi ini ada tapinya, fasilitas serba wah di lapangan Interstudi tentu tak jatuh dari langit. Ada yang beli, yaitu anak-anak yang biasa main di sana. Jadi kalau mau main antar tim, ada biaya yang harus disetor. “Tapi murah dibanding lapangan proper lain. Cuma Rp200 ribu,” kata Rico. Tapi kalo cuma mau dribble dan shooting-shooting cantik sendirian, kayaknya enggak harus bayar, kayak yang dilakukan dua bocah di dalam foto ini.


Seri 'The Road' adalah hasil kolaborasi VICE X Tokopedia menghadirkan profil orang-orang yang sekilas biasa, tapi berani mengejar mimpi, melawan keraguan, dan berbagai hambatan sampai akhirnya sukses memulai, berproses, hingga menjadi hebat di bidang masing-masing. #MulaiAjaDulu