Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports.Lance Stroll harus berterimakasih ke banyak pihak ketika naik podium untuk pertama kali, dalam Grand Prix Azarbaijan. Pebalap Formula 1 (F1) berutang banyak pada timnya, Williams, yang telah menyediakan sebuah mobil yang bisa melaju kencang. Dia juga harus bersyukur lantaran beberapa kemujuran yang bikin dia nangkring di posisi puncak. Bahkan, dia juga harus bersyukur pada kekuatan yang misterius yang menganugrahinya bakat alam luar biasa.
Iklan
Tak lupa, Stroll juga harus banyak berterimakasih pada ayahnya, seorang milliarder bisnis retail, Lawrence Stroll, yang membiayai keikutsertaan anak lelakinya itu dalam ajang balapan mobil paling bergengsi sedunia. Lawrence Stroll diperkirakan sudah menggelontorkan dana sebanyak US$80 juta (sekitar Rp1,6 triliun) agar anaknya bisa jadi salah satu pebalap yang berlaga di ajang Grand Prix. Akan sangat durhaka jika Stroll tak mengucapkan terimakasih barang sebentar saja pada sang ayah.Meski jelas sangat berbakat, Stroll harus menanggung cap jelek selama berlaga dalam gelaran Grand Pix: Stroll dalam olahraga ini dijuluki "pay driver". kemenangannya di Grand Prix Azarbaijan sedikit melunturkan anggapan miring mengenai pay driver. Namun, Stroll bakal butuh waktu lama kalau dirinya benar-benar ingin dikenal sebagai seorang pebalap ulung ketimbang cap anak orang kaya yang bisa 'nyogok' untuk balapan. Tapi, sebelum tulisan ini melangkah terlalu jauh, mari kita bedah apa yang dimaksud dengan pay driver, sebuah istilah yang punya konotasi jelek dalam kancah F1.
SEBELUM MEMBAHAS LEBIH JAUH…
APA DEFINSI PAY DRIVER?
Iklan
Ada kalanya sokongan dana datang dibarengi masuk pembalap yang sudah harum namanya. Misalnya, pada tahun 2010, Fernando Alonso masuk tim Ferrari dengan sokongan dana dari raksasa bank Santander. Tapi, apa lantas publik F1 mengalungkan predikat pay driver padanya? Enggak lah. Alonso adalah salah satu pembalap terbaik pada masanya dan dibayar tinggi untuk berlaga di sirkuit F1. Tetap saja, pada kasus tertentu, sebuah tim justru dapat durian runtuh ketika menyewa seorang juara dunia.
Akhirnya, ada pembalap yang posisinya dalam sebuah tim bergantung sepenuhnya pada uang yang bisa mereka guyurkan ke kantong tim. Sumber dana ini bisa macam-macam dari sekelompok penduk ung (Marcus Ericsson), perusahaan minyak milik negara (Pastor Maldonado) dan kekayaan keluarga (Stroll). Pembalap macam ini biasanya cuma bisa bertahan satu atau dua musim kompetisi karena pada akhirnya para penyandang dana akan mempertanyakan apa faedahnya mengucurkan dana besar untuk pembalap yang rajin finish di nomor 19 atau ada pembalap baru dengan dukungan dana yang lebih kuat yang ingin ikut balapan. Tapi, nasib mereka tak selamanya buruk—Maldonado pernah memenangkan satu balapan dan Stroll malah sudah naik podium di usia yang sangat belia, 18 tahun.Jadi, apa yang dimaksud sebagai "pay driver" oleh khalayak pemirsa F1 tak selalu berarti pembalap yang membeli tempatnya dalam sebuah tim—pay driver adalah pembalap yang hanya bergantung pada sokongan dana ketimbang talenta mereka (meski definisi ini juga, kalau ditilik lebih jauh, masih morat-marit).
Tapi mari kita sederhanakan permasalahannya. Kalau kamu masih bingung, cobalah jawab pertanyaan ini: seandainya semua tim F1 hanya menyewa driver semata berdasarkan kemampuan mereka dan tambahan dana tak lagi dibutuhkan, apakah nama-nama pebalap yang kita sebut sebelumnya bakal tetap berlaga dalam kompetisi F1? Dalam kasus Perez, jawabannya mungkin iya. Tapi, tidak demikian dengan Ericsson yang berlaga di bawah bendera Sauber—meski Ericsson bukanlah pay driver terburuk sepanjang masa.
Iklan
SEJARAH PAY DRIVER
Iklan
Saat itu tak ada protes berarti dari fan F1 atas kehadiran pay driver. Memang, beberapa di antaranya balapan dengan skill seadanya. Namun, perlu dicatat di masa itu ikut serta dalam ajang F1 adalah tindakan yang membutuhkan keberanian khusus. Rata-rata dalam satu tahun, satu pembalap menemui ajal di lintasan balap. Salah satunya adalah Piers Courage, pewaris sebuah dinasti bir dengan nama serupa, yang menghembuskan nafas terakhir dalam Grand Prix 1970 di Belanda. Dengan resiko yang begitu besar, para pembalap masa itu sudah cukup dihargai dengan keberaniannya mengadu nyali di sirkuit F1. di samping itu, dengan masih kentalnya cita rasa amatir dalam F1 waktu itu, pay driver belum punya status miring sebagai aib seperti saat ini.Saat olahraga ini bertambah profesional di era delapan puluhan dan sembilan puluhan, pembalap bayaran menjadi semakin kentara, sebuah tren yang melejit mendekati era millennium. Hal ini berhubungan dengan angka-angka grid: pada perlombaan F1 1992, terdiri dari 30 entri. Ada banyak pembalap bayaran di antara mereka—Pedro Chaves, Andrea Chiesa, Paul Belmondo—tapi mereka sering gagal masuk kualifikasi, dan dengan banyak kursi mereka tidak begitu relevan.
Pada akhir 1996, grid ini telah menurun menjadi 20 entri. Kompetisi masih sengit, yang meningkatkan kebencian terhadap mereka yang mengambil kursi hanya karena mereka mampu.
Kasus pada 1996 adalah contoh yang bagus. Menggunakan definisi 'kayaknya-enggak-akan-di-sana-kalau-enggak-berduit', F1 membayar pembalap kontingen yang menampilkan Pedro Diniz di Ligier, Ricardo Rosset di Arrowsm Ukyo Katayama dengan Tyrrell, dan Giovanni Lavaggi di Pacific.
Diniz, yang duitnya datang dari bisnis besar pakaian bapaknya, adalah pembalap bayaran yang bagus: tidak ada yang spesial di balik kemudi kecuali yang cukup kompeten sampai-sampai kehadirannya dalam olahraga itu diterima. Sama halnya dengan Katayama, yang datang dengan dukungan merk rokok Jepang Mild Seven. Mereka berdua memiliki kemampuan untuk mencetak skor lagi dan lagi dan hampir tidak pernah mengganggu pentolan.
MASA KEEMASAN PAY DRIVER
Iklan
Rosset, sebagaimana Diniz, didanai oleh bisnis keluarganya, tidak memiliki kaliber yang sama. Rapornya sebagai pembalap junior biasa saja dan dia tidak terkenal di 1996, namun pada 1998 dia mengalami mimpi buruk dengan Tyrrell, gagal masuk kualifikasi untuk lima perlombaan. Di antaranya adalah upaya buruk di Monaco, setelahnya si mekanik mengubah huruf pertama dan terakhir nama belakangnya di skuter menjadi "tosser." Itulah tahun terakhirnya di F1.Lalu yang terakhir adalah Lavaggi. Orang Italia ini datang dari bursa saham aristokrat dan tiba di F1 pada 1995, yang 40 tahun terlambat untuk pembalap semacam dia. Dia 37 tahun pada saat itu, 15 tahun lebuh tua dari amatir F1 dan tidak jago juga ngebut-ngebutan. Selama proses kualifikasi di Spa dia dikalahkan empat detik oleh teman satu timnya Andrea Montermini, yang sebetulnya bukan Michael Schumacher juga. Selama perido akhir 1996 dia bergabung dengan Minardi, gagal masuk kualifikasi untuk tiga dari enam perlombaan sebelum akhirnya meninggalkan olahraga itu. Dia mungkin berusaha, lebih keras dari siapapun, untuk mengkristalisasi konsep pembalap bayaran. Bagaimanapun, dia adalah laki-laki tergormat yang memasuki usia 40, yang memiliki rapor jelek sebagai pembalap junior, dan mengemudi di Formula 1 hanya karena dia punya duit. Kamu mungkin bisa berargumen bahwa tidak ada yang seburuk dia sejak itu, meski sebetulnya ada yang lumayan mirip: Taki Inoue, Alex Yoong dan Gaston Mazzacane.
Iklan
AKANKAH PAY DRIVER TAK LAGI DIPANDANG REMEH?
Jadi apa yang kita maksud ketika kita ngobrolin soal pembalap bayaran di 2017, mengingat setengah grid cocok dengan deskripsinya?
Sejujurnya, ini telah menjadi tim yang lebih selektif. Tidak ada lagi yang menyebut duit sponsor Perez, karena para Meksiko telah membuktikan dia pantas berada di F1. Tidak ada yang peduli bahwa Bottas didukung oleh Wirhuri atau Kevin Magnussen datang dengan sponsor pribadi, Jack & Jones. Hal ini disebut beberapa kali, tapi kalau seorang pembalap tampil sangat baik selama beberapa waktu, soal sponsor tidak akan disebut lagi.
Oleh sebab itu, kalau Perez tiba-tiba tampil buruk dia mungkin akan disebut "pembalap bayaran" lagi. Begitu pula dengan Jolyon Palmer, yang memenangkan titel GP2 di 2014 dan sepertinya ada sesuatu. Namun dia juga membawa uang untuk posisinya dengan Renault, dan dengan hasilnya saat ini dia tidak menerima sebutan itu. Ditto Marcus Ericsson, yang memenangkan perlombaan di GP2 dan merebut titel F3 Jepang, tapi tidak pernah berbuat spesial di F1.
Bersamaan dengan Stroll, yang bertahan sebagai pemenang Eropa F3—mereka berdua adalah pembalap F1 yang paling mungkin disebut sebagai pembalap bayaran. Jadi inilah yang dilakukan pembalap bayaran di 2017: seseorang yang tidak hanya membawa uang, tapi juga gagal menyanggupi tuntutan F1, setidaknya di mata penggemar. Tak satupun pantas disandingkan dengan Lavaggi, dengan Inoue, atau bahkan dengan pembalap bayaran lebih baik seperti Diniz. Mereka telah mencetak rekor bagus di kategori junior—mungkin bahkan memenangkan perlombaan besar—dan setelah itu, sesuai standarnya, membayar untuk bangku F1.
Hal ini ditutup oleh Stroll muda, yang podumnya di Baku memulai sesuatu yang akan menjadi proses panjang untuk menghapuskan sebutan pembalap bayaran dan mencetak nama sendiri sebagai peserta Formula 1 yang patut diperhitungkan. Namun, peringatan: meski reputasi membutuhkan bertahun-tahun untuk dibangun, beberapa perlombaan buruk akan menodainya. Pada akhirnya, kita pasti selalu mendapatkan hasil sesuai yang kita bayar.Follow penulis artikel ini di akun @Jim_Weeks. Ajak dia ngobrol semua hal terkait olahraga.