Memahami Popularitas Gerakan Fashion Mengusung Estetika Jelek
Photo by Jason Lloyd Evans

FYI.

This story is over 5 years old.

Fashion

Memahami Popularitas Gerakan Fashion Mengusung Estetika Jelek

Sekilas terdengar aneh. Busana yang sengaja dirancang amburadul justru digandrungi, seperti dalam ekspresionisme Jerman, komunitas hardcore punk, hingga vetements.

Artikel ini pertama kali tayang di i-D.

Kadang, saya merasa kita tengah hidup di zaman dengan selera fesyen yang cupu, masa yang kelak dikenang sebagai aib seperti dekade 80-an. Contohnya Hurache. Walau sekilas terlihat seperti baju karakter serial Futurama, Huarache—salah satu sepatu rilisan Nike dengan desain jelek—belakangan jadi sepatu lari paling populer. Vetements, di lain pihak, sukses menjadi semacam simbol busana mewah (haute couture) berkat memasarkan estetika yang—sampai sekarang—cuma dipahami pemuda-pemudi goth. Silakan saja kalau kalian mencap saya konservatif atau ketinggalan zaman. Tapi, bukankah baju atau celana dipakai agar pemiliknya terlihat keren?

Iklan

Dalam kasus Vetements, saya masih bisa memahami kenapa orang masih mau mengenakan karya Demba Gvasalia—hype, punya nilai eksklusif, ditambah kebanggaan bisa memakai baju dengan harga selangit. Masalahnya, desainnya cupu dan aneh banget. Ini jenis fashion yang ramai bukan karena orang-orang kebanyakan suka memakainya. Patut diakui, produk Vetements punya nilai seni sebagai sebuah objek tunggal. Cuma saya susah membayangkan produk-produk fesyen ini bakal bikin pemakaiannya kelihatan keren.

Contoh busana Vetement yang sekarang ngetren. Foto oleh Jason Lloyd Evans/i-D.

Selera bisa saja subyektif, tapi ada pertimbangan objektif yang mempengaruhinya seperti proporsi dan rasio. Karya arsitektur klasik selalu menyenangkan saat dipandang karena dibentuk berdasarkan proporsi tubuh manusia. Bangunan-bangunan ini sedap di mata kita karena alam bawah sadar kita menganggapnya menarik, terlepas dari selera kita yang diperoleh dari opini dan identitas yang berusaha kita bentuk. Kain—lebih mirip gorden sih—dengan bentuk ganjil lagi tak jelas yang sering muncul dalam produk Vetemens mengentuti prinsip estetika di atas. Namun, mungkin justru itulah yang bikin produk Vetements punya daya tarik. Produk-produk fesyen ini keren justru karena terlihat kacrut.

Sulit membayangkan produk-produk fesyen ini bakal bikin pemakaiannya kelihatan keren.

Masalah utamanya adalah globalisasi estetika. Hashtag #foodporn hingga beragam pariwara yang beredar yang penuh gambar manusia yang dipoles habis-habisan dan stok foto penuh senyum indah, dunia visual masa kini sudah disesaki dengan gambar-gambar indah. Keindahan ini selaras dengan globalisasi. Kalian bisa menemukan rancangan indah di Rio de Janeiro, Jakarta, hingga New York. Contoh suksesnya tentu saja IKEA. Perusahaan furnitur Swedia itu berhasil mengubah kosan mahasiswa di seluruh dunia menjadi showroom ramah dompet dengan minimalisme ala Skandinavia. Sementara Internet, lewat proses demokratisasi informasi, membuat kepekaan estetis jadi milik semua orang. Tak peduli dia tinggal di Berlin ataupun Bantul.

Iklan

Jika sebelumnya teknik-teknik make up dimonopoli oleh make up artist dan rekan-rekannya, kini vlogger seperti Zoella sudah bisa mengajari anak-anak umur 11 tahun di seluruh dunia merias diri lewat YouTube. Kita bahkan hampir tak perlu memanggil ahli desain interior untuk mengubah desain apartemen karena toh ada banyak tip mendesain ruangan di internet. H&M, dengan hasil kolaborasi antara Versace dan Alexander Wang, menawarkan produk berlabel ekslusif dengan harga pabrik sweatshop (baca: terjangkau) bagi masyarakat menengah ke atas. Dengan kondisi seperti ini, terlihat keren bukan hal yang edgy alias biasa saja. Akhirnya, dunia adibusana menempatkan ekslusivitas jauh di atas estetika.

Prinsipnya begini: dalam dunia kita yang kian memuaskan secara estetik dan makin seragam di mana semua orang dan semua benda terlihat keren, satu-satunya cara agar terlihat menonjol adalah memancing rasa jijik manusia lain.

Ugly Models, agensi model yang beroperasi sejak 1969, telah membangun kerajaan bisnisnya dengan konsep menjual kejelekan. Premis bisnis mereka pada akhirnya menarik perhatian klien besar sepeti Calvin Klein, Diesel, dan Vogue. Melampui segala etestika, iklan penyanyi opera GoCompare memanfaatkan rasa jijik, salah satu bentuk keburukan,agar bisa mematri imejnya dalam alam pikiran siapapun yang tak beruntung pernah melihat iklan itu. Jelas belaka, ada daya tarik dalam segala bentk keburukan, sesuatu yang benar-benar diamini oleh Gvasalia ketika mengatakan "Di Vetements, kami selalu bilang 'produk ini jelek banget, makanya kami suka'".

Iklan

Gvasalia bukan orang pertama yang mempropagandakan 'kejelekan' sebagai estetika masa kini. Benda yang terlihat buruk tentu saja sejak dulu memperoleh cap peyoratif. Namun, jangan lupa, banyak pemikir dan seniman yang tertarik mencari makna 'jelek' selama satu abad ini. Filsuf Jerman, Karl Rosenkranz, sejak jauh-jauh hari menciptakan istilah "estetika keburukan," tepatnya pada 1853. Di awal abad 20, seniman ekspresionisme Jerman, Oskar Kokoscha, Egon Schiele, dan pendahulu meraka, Gustav Klimt, mempertanyakan paham tentang estetika absolut. Mereka menyoroti negatif pendapat yang selalu mengklaim keindahan adalah tujuan inheren yang hendak dicapai sebuah karya seni.

Ekspresionisme merupakan reaksi yang muncul atas konsep keindahan klasik ala Makarstil yang tengah populer saat itu. Alih-alih menampakan objek-objek yang anggun, seniman ekspresionisme menyajikan gambar pesakitan, orang-orang bertubuh rusak, pelacur dan semua yang dipinggirkan proses urbanisasi. Ekspresionisme adalah gerakan yang menyetarakan keburukan dan kebenaran. Gerakan ini juga memandang karya seni yang tengah digemari pada masanya sebagai "ghetto berisi obyek-obyek cantik dan benar' yang kini cuma berakhir dan hiasan rumah yang dipajang dekat perapian". Bagi seniman ekspresionisme, kekuatan seni lukis klasik untuk menggambarkan realitas justru dibikin impoten akibat adanya kewajiban melulu menggambarkan obyek yang indah-indah belaka.

Iklan

Keindahan, dalam segala bentuknya, adalah estetika milik mereka yang menutup mata pada keberadaan kaum pinggiran.

Prinsip yang sama juga mewujud pada bentuk kesenian lain. Dalam kancah hardcore Amerika Serikat dekade 80-an, band macam Black Flag dan Minor Threat menantang estetika indah namun membosankan band-band stadium rock 70-an. Mereka memainkan musik punk tiga kunci yang sederhana. Band-band ini bahkan mengacuhkan pentingnya melodi, struktur lagu tradisional, bahkan kemampuan bermain musik memadai. Alhasil, musik yang mereka hasilkan sangat abrasif. Kerap kali durasi lagu mereka tak lebih dari satu menit dan berakhir dengan dengungan di sana-sini. Seperti karya seni ekspresionis, hardcore kala itu mewakili perihnya hidup di bawah kepemimpinan Presiden Ronald Reagan yang mengedepankan neoliberalisme. Lalu, meski bertolak belakang dengan selera mainstream, hardcore adalah sebuh genre revolusioner. Kancah hardcore masih dikenang sebagai salah satu kancah musik paling penting di Abad 20, yang pengaruhnya masih terasa sampai sekarang.

Cuplikan dokumenter hardcore punk The Decline of Western Civilization.

Mungkin demikianlah prinsip estetika. Keindahan secara sangat pasif berusaha menenangkan agar bisa selalu dikenang. Keindahkan menentramkan sekaligus menenangkan. Keberadaannya hanya berfungsi menjadi sumber pemuasan. Tak ada yang menantang dan mengganggu di dalamnya. Keindahan, dalam segala bentuknya, adalah estetika milik kaum mayoritas yang menutup mata akan keberadaan kaum pinggiran.

Merek Apple, yang dirancang agar benar-benar sempurna, sesungguhnya mewakili sebuah status quo. Keburukan, di sisi lain (terutama keburukan yang sengaja dipilih), memiliki kekuatan subversif dan kerap jadi teritori kaum radikal. Keburukan memiliki kekuatan untuk mentransformasi, menggubah opini dan membentuk selera—dan pada akhirnya, keburukan dan semua benda dicap jelek, jauh lebih menarik dibanding yang indah-indah.