FYI.

This story is over 5 years old.

misogini

Misogini Membunuh Perempuan Indonesia Secara Harfiah

Penelitian aktivis Kate Walton menemukan data terjadi 1.32 pembunuhan per 1 juta perempuan di Tanah Air oleh lelaki. Mayoritas pelaku pasangan atau teman intim korban. Problem kekerasan ini diperparah framing seksis pemberitaan media.
Para pegiat dan peserta unjuk rasa menyalakan lilin dalam pawai mengecam kekerasan terhadap perempuan di Jakarta. Foto oleh Dadang Tri/Reuters.

Penulis Kate Walton menghabiskan dua tahun terakhir meneliti kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Hasil penelitiannya tersebut dirangkum dalam laporan Menghitung Pembunuhan Perempuan (pdf), yang dirilis April lalu.

Lewat pencarian di media sosial dan mesin pencari Google, Kate menemukan fakta terjadi 1.32 pembunuhan terjadi per 1.000.000 perempuan di Tanah Air. Sepanjang 2017, pendiri Jakarta Feminist Discussion Group (JFDG) ini menemukan 168 kasus pembunuhan terhadap perempuan, 50 persennya dilakukan oleh pasangan intim korban. Menurut Kate, suburnya budaya patriarki dan misogini di Indonesia berkontribusi atas tingginya angka korban pembunuhan. Problem sosial tersebut semakin diperparah oleh pemberitaan media yang kerap menggunakan bahasa seksis saat mendeskripsikan kejahatan yang menimpa perempuan. Seakan-akan perempuan dalam beberapa kasus, semisal ketika cekcok dengan pasangan lelakinya, pantas mengalami kekerasan atau bahkan pembunuhan. Praktik lancung framing media terhadap kekerasan perempuan ini rutin disaksikan perempuan asal Australia ini selama tinggal di Indonesia sejak 2011.

Iklan

“Saya sangat yakin data ini hanya puncak gunung es,” kata Kate kepada VICE Indonesia. “Bukan hanya banyak kasus tidak dilaporkan tapi banyak tidak diangkat media.” Berikut cuplikan percakapan kami yang telah disunting agar lebih ringkas dan enak dibaca.

VICE Indonesia: Apa niat yang mendasari penelitianmu ini? Bisa diceritakan bagaimana proses pengumpulan data dalam laporan tersebut?
Kate Walton: Saya mulai proyek ‘Menghitung Pembunuhan Perempuan’ (MPP) ini awal 2016. Pada saat itu, saya bekerja untuk program donor internasional yang ingin membuat sub-program tentang kekerasan terhadap perempuan (KTP). Saya terdorong untuk melakukan yang sama di sini, karena data-data yang ada terkait KTP di Indonesia masih kurang, menurut saya. Prosesnya sederhana, karena saya tidak bekerjasama dengan polisi atau instansi lain. Saya dan beberapa relawan lain mencari kasus-kasus pembunuhan perempuan melalui pencarian Google News, dengan istilah pencarian seperti ‘pembunuhan perempuan’, ‘perempuan tewas’, ‘cewek tewas’, dan sebagainya.

Laporan tersebut menemukan data 50 persen korban dibunuh orang dekat, hal ini menarik dikaji lantaran perempuan seharusnya merasa nyaman bersama orang terkasih. Apa yang bisa kamu simpulkan dari fenomena tersebut?
Yang paling sering membunuh perempuan adalah orang yang dia sudah kenal, apalagi pasangan intimnya, mencakup suami, pacar, pembeli jasa seks, dan lain-lain. Jadi saya tidak heran bahwa ternyata ini terjadi di Indonesia juga. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi karena kedekatan antara pembunuh dan korban, ‘alasan’ seperti cemburu sering menjadi dasar pembunuhan di otak pembunuh.

Iklan

Apakah tekanan sosial atau perekonomian berimbas pada kesehatan psikologi, adalah dua faktor penting yang mendasari terjadinya kekerasan bahkan pembunuhan terhadap perempuan?
Isu perekonomian, tekanan sosial, dan lain sebagainya memang bisa mempengaruhi pelaku
dan mendorong lelaki untuk melakukan pembunuhan—misalnya jika dia mengalami
kesulitan uang, atau merasa tidak dihormati pasangannya. Tapi jika kita menggali lebih dalam lagi, kita hampir selalu ketemu akar masalah yang didasari misogini dan diskriminasi terhadap perempuan.

Kamu menyimpulkan maskulinitas di negara ini seringkali berakibat pada kekerasan terhadap perempuan. Seberapa besar konsep tersebut berkontribusi pada kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan?
Satu dari tiap tiga perempuan akan mengalami kekerasan dari pasangan intimnya selama kehidupannya. Ini termasuk kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, dan verbal. Ini yang menjadi bahaya, karena mereka pasti akan mengatasi perasaan ini melalui upaya mengontrol pasangan, misalnya tidak memperbolehkan pasangannya keluar rumah, atau melalui pengontrolan uang, atau melalui kekerasan.


Tonton dokumenter VICE tentang upaya gerakan sipil berjuluk 'geng pink' di India melawan kekerasan seksual terhadap perempuan:


Mungkinkah kasus-kasus pembunuhan yang tidak pernah dilaporkan jauh lebih banyak dari datamu saat ini?
Saya sangat yakin data MPP hanya pucuk gunung es. Bukan hanya banyak kasus
tidak dilaporkan tapi banyak tidak diangkat media, banyak juga tidak diselesaikan oleh polisi karena tidak menemukan bukti atau pelaku, dan banyak alasan lain juga. Maka saya yakin ada sangat lebih banyak kasus pembunuhan perempuan yang tidak masuk dalam laporan MPP. Ini hanya merupakan sebuah gambaran saja dari kondisi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

Media di Indonesia kerap menggunakan bahasa seksis, seperti “perempuan cantik tewas” saat melaporkan kejahatan terhadap perempuan. Apakah framing macam itu berpengaruh terhadap maraknya kekerasan macam ini?
Sangat disayangkan sekali. Media Indonesia, kebetulan bukan hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia sih, sering membahas kasus dengan menggunakan bahasa seksis
atau misoginis, apalagi di judul berita. Ini dilakukan karena akan menarik lebih
banyak perhatian dan pembaca. Kata-kata seperti ‘cantik’, ‘seksi’, atau ‘manis’ sering
digunakan, tapi lebih parah lagi adalah bagaimana media, dan pihak lain seperti
polisi dan pemerintah, menyalahkan korban. Ini mencerminkan masih kentalnya budaya patriarki di Indonesia.

Apa yang mendesak dilakukan lembaga pemerintah, LSM, dan masyarakat untuk meredam kasus-kasus kejahatan terhadap perempuan?
Kita masih punya banyak PR. Yang paling sederhana adalah laki-laki harus menghormati perempuan sebagai manusia. Perempuan juga punya hak untuk hidup damai dan aman, sama saja seperti laki-laki. Seharusnya tidak ada yang merasa dominan dalam kehidupan, tapi saling membantu dan melengkapi. Dalam pasangan, ini berarti baik laki-laki maupun perempuan harus lebih terbuka dan bersedia untuk mencari keseimbangan yang cocok untuk mereka, biar tidak ada yang merasa tertindas atau tidak dihormati.

Dari laporan tersebut, metode pembunuhan apa yang paling banyak dilakukan oleh lelaki terhadap perempuan? Gejala sosial apa yang bisa disimpulkan dari sana?
Metode pembunuhan yang paling sering ditemukan adalah penikaman atau penusukan, dengan senjata tajam seperti pisau, parang, atau gunting. Sebanyak 42 persen korban pada tahun 2017 dibunuh dengan metode ini. Dari informasi ini, kita bisa melihat bahwa mayoritas pembunuhan memang tidak direncanakan tapi terjadi tiba-tiba saja, biasanya saat berdebat atau cek-cok.