FYI.

This story is over 5 years old.

Opini

Buramnya Reputasi Yogya Sebagai Wilayah Toleran Usai Pemotongan Nisan Salib di Purbayan

Kasus intoleransi di DIY terentang sejak bertahun-tahun ke belakang. Sultan tak pernah menganggapnya masalah serius, makin parah berkat tren pemisahan lahan pemakaman sesuai agama mendiang.
Pemakaman Kristen porak poranda akibat Badai Maria.
Foto ilustrasi makam Kristen via Reuters

Tumpukan kasus intoleransi yang terjadi di Yogyakarta selama beberapa tahun belakangan—mulai dari larangan etnis tertentu memiliki tanah, sampai pembubaran kebaktian—membuat kita bertanya-tanya, masih pantaskah kota itu menyandang slogan Yogyakarta kota toleran? Kasus terbaru adalah insiden pemotongan salib yang dipasang sebagai penanda makam jenazah yang dulu beragama Katolik di pemakamanan daerah Purbayan, Kotagede.

Iklan

Di media sosial sehari belakangan mendadak viral foto sebuah nisan salib yang dipenggal bagian atasnya, hingga berubah serupa huruf T. Di makam tersebut bersemayam Albertus Slamet Sugihardi, seorang Katolik yang meninggal dunia Senin lalu. Di mata tetangga, semasa hidup Albertus adalah sosok hangat dan mudah bergaul dengan penduduk sekitar. Ia juga dikenal aktif mengikuti kegiatan di kampung. Namun urusan menjadi lain ketika almarhum Slamet hendak dimakamkan di pemakaman umum yang diklaim warga hendak dijadikan komplek khusus Muslim.

Para warga akhirnya memperbolehkan jenazah Slamet dimakamkan di pemakaman tersebut dengan catatan tidak ada simbol atau penanda berbau Katolik. Bejo Mulyono, salah seorang tokoh masyarakat dari Purbayan, dikutip awak media mengatakan bahwa pemotongan salib telah menjadi kesepakatan antara warga, keluarga almarhum, tokoh agama, serta tokoh masyarakat.

Bejo mengatakan bahwa pihak keluarga Slamet menerima kesepakatan tersebut dan tidak mempermasalahkannya.

“Artinya khusus yang makam itu. Walaupun belum resmi, tapi akan dijadikan makam muslim. Kemarin itu karena darurat, diperbolehkan, asal makam [Slamet] dipinggirkan dan tidak ada simbol-simbol Nasrani karena di sini mayoritas Islam," ujar Bejo saat diwawancarai Tirto.id.

Sri Sultan Hamengkubuwono X, raja sekaligus Gubernur DI Yogyakarta, saat ditemui media pada Rabu (19/12) meminta isu pemotongan nisan berbentuk salib itu tak perlu dibesar-besarkan. Kesepakatan memotong salib terjadi karena warga mayoritas muslim. "[Pemotongan salib] menjadi viral karena diviralkan," kata Sultan. "Kasusnya sudah selesai."

Iklan

Namun, dari laporan serta arsip kejadian di kawasan itu, yang terjadi tak cuma pemotongan nisan salib. Warga Purbayan menolak diadakan acara keagamaan non-Muslim di sekitar kampung, dengan alasan untuk "menghindari konflik." Dilaporkan bahwa warga sempat warga kampung sempat melarang misa atau ibadah pemakaman secara Katolik di lokasi pemakaman dan di rumah almarhum. Namun Bejo menolak jika warga Purbayan disebut sebagai intoleran, lantaran sudah memperbolehkan jenazah Slamet dimakamkan di makam yang mayoritas Muslim.

Kotagede, sebuah kecamatan yang terletak di selatan Yogyakarta, memiliki penduduk yang mayoritas beragama Islam. Dari situs kependudukan.jogjaprov.go.id disebutkan bahwa jumlah Muslim mencapai 30.207 orang dari total penduduk berjumlah 32.246 orang.

SETARA Institute dalam keterangan persnya menyatakan kasus di Yogyakarta tersebut merupakan refleksi bahwa konservatisme agama sudah menjangkau lapisan sosial terbawah. Dalam hal tersebut simbolisme keagamaan tidak hanya berdampak pada pengerasan politik identitas tapi juga menjadi penyebab kecemasan, ketakutan, dan ancaman atas simbol-simbol identitas yang berbeda.

"Mayoritas hampir selalu bekerja melalui penundukan terhadap kelompok minoritas," kata Halili selaku peneliti SETARA Institute. "Pernyataan bermaterai yang kemudian dibuat oleh keluarga Slamet, baik dalam simulasi permintaan warga yang mayoritas maupun keikhlasan keluarga yang minoritas, merupakan penundukan kepada yang secara kuantitatif sedikit dan secara sosio-politis lemah."

Persoalan penggunaan tanah makam sesuai dengan kepercayaan agama menjadi rumit tatkala Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa.

Lembaga itu merekomendasikan pemerintah menyiapkan lahan pemakaman khusus, agar tidak mencampurkan makam penganut agama Islam dan non-Muslim.

Apabila urusan merawat orang mati saja masih harus direcoki perkara agamanya, dan kasus macam ini kelak terjadi tak hanya di Yogyakarta, berarti risiko intoleransi bisa menghantui siapapun di Tanah Air sampai mereka masuk kubur.