Kekerasan Seksual

Polisi Maluku Utara Perkosa Remaja di Kantor Polsek, Prosedur Penahanan Aparat Disorot

Walau pelaku sudah ditahan, aktivis menyorot problem lebih besar: ruang tahanan kantor polisi berulang kali jadi tempat aparat melakukan tindakan melanggar hukum.
Polisi Maluku Perkosa Remaja di Kantor Polsek, Prosedur Penahanan Aparat Disorot Aktivis Hukum
Ilustrasi sel tahanan sementara di kantor polisi Indonesia. Foto oleh CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP via Getty Images

Bunga*, perempuan 16 tahun, memutuskan bermalam di salah satu penginapan di Kecamatan Jailolo Selatan, Maluku Utara. Bersama seorang kawan berusia 19 tahun, ia sedang menuju Kota Ternate, namun merasa sudah terlampau malam untuk melanjutkan perjalanan. Pada 13 Juni 2021, tepatnya jam satu dini hari waktu setempat, keduanya masuk kamar penginapan untuk bersiap istirahat.

Tiba-tiba pintu kamar digedor oleh polisi, meminta keduanya segera ikut ke kantor Polsek Jailolo Selatan tanpa alasan penangkapan yang jelas. Bingung dan ketakutan, keduanya menuruti perintah dan masuk ke mobil patroli yang menjemput. Sesampainya di kantor, Bunga dan rekannya diperiksa di ruangan berbeda dengan cecaran pertanyaan seputar aksi pelarian. Padahal, keduanya bepergian sudah dengan izin orang tua masing-masing. 

Iklan

Di ruangan inilah Bunga bertemu Briptu II.

Seusai investigasi abal-abal itu, Bunga dan kawannya, mari kita sebut Mawar, memutuskan beristirahat di salah satu ruangan di Polsek. Briptu II kemudian menegur Mawar yang menerima telepon karena berisik. Ia memintanya mengangkat telepon di luar ruangan. Mawar menurut.

Selesai bercakap-cakap di telepon sekitar 15 menit, Mawar kembali ke dalam kantor polisi dan mendapati kamar tempat Bunga berada dalam keadaan terkunci dan lampunya padam. Tidak lama, lampu ruangan menyala kembali dan dari pintu kamar yang terbuka Briptu II keluar. Mawar yang kaget langsung masuk ruangan dan mendapati Bunga sedang menangis.

Saat ditanyai, Bunga menceritakan bahwa ia baru saja diperkosa Briptu II dengan ancaman penjara apabila menolak. Briptu II membanting tubuh Bunga ke lantai, menyekap mulutnya, melepas baju yang dikenakan, dan memperkosanya. Dalam keadaan traumatis, keduanya lalu memutuskan pergi sepagi mungkin. Tragis, pagi harinya, Briptu II itu pula yang melarang keduanya pergi dan malah menjebloskan mereka ke penjara.

Kelakuan brengsek Briptu II langsung terbongkar hari itu juga. Rekan polisi lain heran mengapa kedua remaja tersebut disel. Keduanya lalu menceritakan apa yang terjadi ke aparat lain yang berjaga. Pada Rabu (23/6), Briptu II resmi jadi tersangka dan ditahan di Polres Ternate.

“Sesaat setelah kejadian itu langsung ditersangkakan. Penanganan di Ditreskrimum, untuk penahanan di Polres Ternate. Korbannya masih sama kita, masih di PPA [Unit Pelayanan Perempuan dan Anak) Polda,” kata Kabid Humas Polda Maluku Utara Adip Rojikan saat dikonfirmasi Detik. Bunga dan Mawar juga telah mendapat pendampingan dari LSM Daurmala Maluku Utara.

Iklan

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mewakili Aliansi Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (Aliansi PKTA) menilai kasus Bunga adalah bukti anggota kepolisian kerap tidak memahami dasar kewenangannya.

“Aparat kepolisian sering menganggap dirinya memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan di luar kewenangannya kepada masyarakat, yang seharusnya dilindungi. Sejurus dengan itu, masyarakat juga tidak memiliki pengetahuan cukup atas batasan kewenangan aparat tersebut,” kata peneliti ICJR Maidina Rahmawati dalam rilis pers yang diterima VICE hari ini (23/6).

Ada beberapa desakan dari ICJR dan Aliansi PKTA. Salah satunya, meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) segera menjangkau korban, khususnya untuk memberi bantuan medis dan rehabilitasi psikologis, serta menurut ganti rugi dan jaminan keselamatan.

“ICJR menilai bahwa perbuatan ini tidak lepas dari glorifikasi yang dilakukan oleh media dan pihak humas kepolisian, [sehingga] anggota kepolisian merasa berhak untuk melakukan tindakan [apa pun] terhadap masyarakat. Padahal, kewenangan kepolisian untuk mengekang kebebasan orang dibatasi dalam KUHAP,” tambah Maidina. ICJR menyoroti ruang penahanan di kantor kepolisian sudah sering jadi sarang penyiksaan dan tindakan melanggar hukum lain oleh aparat. 

Oleh karena itu, aliansi mendorong pemerintah, DPR, Komnas HAM, dan Ombudsman segera mengaudit kewenangan kepolisian dalam menahan masyarakat sipil, yang terbukti minim mekanisme pengawasan selama ini.

Iklan

“KUHAP [Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana] harus segera diubah untuk memperkuat pengawasan dan kontrol atas kewenangan polisi, termasuk menghapuskan tempat-tempat penahanan di kantor-kantor polisi,” kata Maidina lewat keterangan tertulis.

Kekerasan oleh aparat di ruang tahanan kepolisian sudah berkali-kali terjadi. Pada 2019, misalnya, empat pengamen Cipulir, Jakarta Selatan, yang masih di bawah umur mengaku disiksa dengan disetrum, dilakban, diinjak di kantor polisi sembari dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan. 

Pada 2020, pelajar STM Dede Luti Afiandi, yang populer akibat fotonya memegang bendera Indonesia saat demonstrasi, mengaku disiksa saat digelandang ke Polres Jakarta Barat. 

“Saya disuruh duduk, terus disetrum, ada setengah jam lah. Saya disuruh mengaku kalau lempar batu ke petugas, padahal saya tidak melempar,” ujar Lutfi di persidangan. “Karena saya saat itu tertekan, makanya saya bilang akhrinya saya lempar batu. Saat itu kuping saya dijepit, disetrum, disuruh jongkok juga.”

KontraS turut mencatat sepanjang 2018-2019, ada 643 kekerasan dilakukan oleh polisi yang mengakibatkan 651 orang tewas, 247 luka-luka, dan 856 ditangkap.

*Nama penyintas disamarkan untuk melindungi privasinya