Korban UU ITE

Sidang Terbaru Korban UU ITE Bukti Panduan Pemerintah Gagal Jinakkan Pasal Karet

Stella Monica dituntut klinik kecantikan di Surabaya karena mengeluh di media sosial. Meski sudah ada SKB Pedoman Implementasi UU ITE, ia nyatanya masih dituntut 1 tahun penjara.
Stella Monica dituntut 1 tahun penjara pakai UU ITE karena kritik layanan klinik kecantikan di surabaya
Foto ilustrasi pembungkaman opini via Getty Images

Selamat datang di Indonesia 4.0, di mana keluhan dan curhatan Anda bisa berujung ancaman pidana.

Kabar buruk kali ini datang dari perempuan di Surabaya bernama Stella Monica. Kamis (21/10) lalu, ia baru saja menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dan diancam menjalani hidup setahun ke depan dalam penjara. Alasannya, komplain dibalut curhat yang ia unggah di media sosial pribadinya dianggap klinik kecantikan L'Viors Beauty Center sebagai penghinaan dan pencemaran nama baik. Iya, ada konsumen protes sama pemberi jasa, lalu pemberi jasa malah tersinggung dan lapor polisi menggunakan UU ITE. Emang ada-ada aja nih akal-akalan pemilik modal.

Iklan

“Menuntut agar majelis hakim menghukum terdakwa Stella Monica Hendrawan dengan pidana penjara selama 1 tahun penjara, membayar denda sebesar Rp10 juta subsider 2 bulan kurungan, membayar biaya perkara sebesar Rp2 ribu,” ujar Jaksa Penuntut Umum Rista Erna. “Yang memberatkan karena perbuatan terdakwa sudah merugikan klinik L’Viors dan terdakwa tidak merasa bersalah. Yang meringankan terdakwa masih berusia muda.”

Kuasa hukum L’Viors, H.K. Kosasih, menyebut tuntutan satu tahun penjara dan denda Rp10 juta terhadap Stella belum adil bagi kliennya. “Seharusnya lebih dari satu tahun, biar ada efek jera,” kata Kosasih, dilansir dari JPNN. “Sikapnya [Stella memiliki] kecenderungan menggiring opini publik. Itu yang seharusnya bisa memberatkan hukumannya. Terdakwa tidak datang [ke klinik untuk menyampaikan keluhan], tetapi malah mengunggah dan menjelek-jelekkan L’Viors. Jadi, memang ada unsur kesengajaan.”

Agenda sidang selanjutnya adalah pembelaan dari pihak Stella yang akan diselenggarakan pada 28 Oktober 2021.

Mengambil dari berbagai sumber, begini penjelasan singkat kasus: Stella adalah pasien L’Viors sejak Maret 2019 dengan keluhan jerawat di area wajah. Dokter yang bertugas menyebut butuh waktu setahun untuk penanganan dengan biaya yang tak sedikit. Stella sepakat. Medio Maret-September 2019, perawatan terlihat sukses, terindikasi dari jerawat yang menghilang. Masalah muncul saat Stella menunda perawatan rutin di September karena alasan finansial dan kesibukan kerja. Kala pengobatan dihentikan, jerawat mendadak kembali muncul begitu cepat.

Iklan

“Awalnya saya enggak notice, mungkin karena saya pakai makeup [jadi wajar tumbuh jerawat]. Tapi, makin banyak sampai ada jerawat batu. Saya komplain akhirnya via telepon. Setelah itu, saya tunggu enggak ada kabar dari mereka,” kata Stella dalam webinar Ngabuburit Consumer Talks yang diadakan Badan perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) pada 23 April lalu.

Klinik bersikukuh wajah Stella kembali berjerawat karena menunda perawatan. Stella tak sepakat, melihat dari jeda yang singkat dan kepatuhannya selama ini terhadap arahan dokter klinik. Ia lantas meminta opini kedua dari dokter di luar klinik dan diberi tahu bahwa pembuluh darah di wajahnya sudah melebar akibat krim-krim yang diberikan L’Viors. Cerita ini kemudian diunggah Stella ke Instagram Story dan viral. Ia juga mengunggah keluhan konsumen lain yang mengalami nasib serupa.

Dari sana, proses hukum berjalan. Januari 2020, klinik mengirim somasi kepada Stella agar ia membuat permintaan maaf secara publik. Juni 2020, Polda Jawa Timur mendatanginya dengan membawa surat pemanggilan. Oktober 2020, polisi datang lagi, kini dengan surat penetapan tersangka. Persidangan pertama digelar April 2021.

Dimas Prasetyo, kuasa hukum Stella, menyatakan bahwa legal standing pelapor sudah keliru. “Pelapor bukan dari pihak direksi, tapi salah satu dokter yang diberi kuasa oleh CEO. Padahal, menurut undang-undang, direksi yang punya kewenangan bertindak di luar dan di dalam ketika perusahaan berhadapan dengan hukum,” kata Dimas dalam diskusi publik “Benang Kusut Kasus Stella Usai Tuntutan Jaksa” yang dihelat Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) di YouTube

Iklan

Dimas menekankan dua poin penting. Pertama, saksi ahli yang didatangkan penuntut maupun penasihat hukum sama-sama sepakat bahwa penghinaan atau pencemaran nama baik hanya bisa dikenakan kepada perorangan, bukan perseroan. Kedua, apa yang dilakukan Stella di medsosnya dilindungi UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

“Apa yang disampaikan Stella di media sosial sudah sesuai fakta empirisnya. Ini adalah suatu hal yang menjadi hak dari konsumen, jadi landasan bahwa Stella menyampaikan aspirasinya, berkeluh kesah dengan temannya sesama pasien klinik,” terang Dimas.

Dalam acara sama, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Nenden Sekar Arum menginformasikan pada tahun ini, pihaknya sudah menemukan ada 30 kasus kriminalisasi berbalut UU ITE.

“Polanya sama, korban-korbannya mengkritisi dengan bentuk yang sah, misalnya terkait kinerja institusi yang sebetulnya tidak menyebut nama orang per orang. Implementasi SKB 3 Lembaga yang digadang-gadang jadi alternatif solusi UU ITE di lapangan terbukti seolah-olah tidak ada. Kasus terus ada dan diproses bahkan setelah SKB ditandatangani,” ujar Nenden.

SKB 3 Lembaga yang dimaksud adalah surat keputusan bersama Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang pedoman implementasi UU ITE. SKB ini diteken Juni lalu untuk menghalau desakan revisi UU ITE yang dianggap berulang kali jadi alat kriminalisasi.

Dari kasus yang terpantau, Nenden menemukan indikasi bahwa SKB tak bisa menggantikan revisi UU ITE karena beleid kontroversial ini masih menguntungkan pemilik kuasa. “Masyarakat biasa yang jadi korban. Siapa pelapornya? orang-orang yang punya relasi kuasa lebih tinggi dari orang yang dilaporkan. Ini bahaya banget,” ujarnya.