Pemilu AS

Usai Menang Pilpres AS, Joe Biden Harus Persatukan Bangsa yang Terbelah

Biden meraup suara terbanyak sepanjang sejarah pilres AS. Beberapa janji kampanye politikus 77 tahun itu cukup progresif, tapi kongres kemungkinan masih dikuasai Partai Republik.
Cameron Joseph
Washington, US
Joe Biden Menang Pilpres Amerika Serikat tumbangkan Donald Trump
Joe Biden saat menggelar kampanye di Kota Philadelphia, Negara Bagian Pennsylvania. Foto oleh Drew Angerer/Getty Images

Setelah empat hari penantian penuh drama salah satu pemilu paling kacau dalam sejarah, termasuk insiden pengepungan kantor penghitungan suara serta tudingan kecurangan yang dilontarkan Donald Trump, Joe Biden dipastikan lebih dari lima lembaga polling dan media sebagai presiden ke-46 Amerika Serikat.

Berdasarkan rekap yang diumukan Sabtu (8/11) pagi waktu setempat (atau pukul 23.40 WIB), Biden berhasil meraup dukungan mayoritas pemilih di Negara Bagian Pennsylvania, tepatnya sebanyak 3.345.906 suara. Berkat hasil positif di Pennsylvania, capres Partai Demokrat itu meraih tambahan 20 electoral college, melampaui batas 270 yang menjadi syarat minimal seseorang terpilih sebagai presiden di Negeri Paman Sam.

Iklan

Sebetulnya hingga artikel ini dilansir, penghitungan suara di beberapa negara bagian AS belum berakhir, tepatnya di Nevada, Georgia, dan North Carolina. Tapi mekanisme electoral college memastikan hasil di negara bagian yang belum selesai menghitung tak akan berpengaruh banyak, kecuali dalam penentuan komposisi kongres.

Menyadari kemenganannya tidak terlalu mutlak, dengan serta selisih suara dalam kisaran ribuan di beberapa negara bagian, Biden menyatakan perannya setelah dilantik sebagai presiden adalah fokus memulihkan psikis rakyat Amerika yang terpecah akibat perbedaan politik.

“Saya merasa terhormat menerima kepercayaan yang diberikan oleh rakyat Amerika kepada saya bersama wapres terpilih Kamala Harris,” kata Biden lewat keterangan tertulis pada media. “Karena masa kampanye dan pemilu sudah berakhir, saatnya kita semua menepikan amarah dan retorika keras, lalu kembali sebagai sebuah bangsa. Sekarang saatnya Amerika bersatu. Memulihkan segala luka. Kita semua adalah bagian dari Amerika Serikat, yang bisa mewujudkan apapun selama menjaga kesatuan.”

Ancaman perpecahan itu nyata, mengingat para pendukung Trump di Twitter menampik hasil di Pennsylvania. Mereka meyakini narasi yang disebar sang idola, bahwa Partai Demokrat mencurangi pemilu, memanfaatkan manipulasi suara yang dikirim lewat pos. Nyaris semua pejabat komisi pemilihan di negara bagian kunci yang dituding mengalami kecurangan menampik tudingan presiden sebagai fitnah tak berdasar.

Iklan

Sistem pemilu AS memang agak berbeda, karena tidak berdasar dukungan pemilih terbanyak, melainkan oleh 538 perwakilan negara bagian (electoral college) yang jumlahnya sesuai proporsi penduduk. Hasil electoral college didasarkan pada calon yang unggul mayoritas suara di wilayah tertentu. Jadi, katakanlah di Michigan tersedia 16 electoral college, semua poin itu akan masuk ke Biden secara otomatis bila dia mendapat mayoritas suara, sementara dukungan riil (popular vote) untuk Trump dianggap hangus dan beralih ke sang rival.

Biden memang berhasil memenangkan pilpres yang prosesnya amat sengit dan dramatis, namun partainya kemungkinan hanya menjadi mayoritas di DPR (House of Representatives) sekaligus gagal menguasai kongres. Mayoritas senator hampir pasti berasal dari Partai Republik yang cenderung konservatif dan berpeluang menghambat kebijakannya yang dirasa terlalu progresif.

Di Amerika Serikat, DPR berfungsi membuat RUU. Sementara kongres, berisi senator yang berafiliasi dengan partai, menentukan bisa tidaknya RUU tersebut menjadi produk hukum. Kongres juga yang paling akhir menyetujui anggaran, bisa memakzulkan presiden, serta memberi izin Amerika Serikat terlibat perang. Selain Kongres, kelompok konservatif juga dipastikan menguasai Mahkamah Agung, lembaga yang menjadi pengadil terakhir bagi semua sengketa terkait kebijakan dan perundang-undangan.

Bagaimanapun, capaian Biden cukup mengesankan, mengingat kiprah Donald Trump mendominasi nyaris semua media internasional selama empat tahun terakhir. Biden bahkan tidak berusaha melakukan kampanye medsos seperti disarankan pakar politik. Dia memilih pendekatan old school, dengan cara memobilisasi relawan, membangun jaringan kampanye getok tular, serta memperkuat mesin politik Demokrat di akar rumput.

Iklan

Hasilnya, Biden secara nasional meraup 74.857.880 suara, terbanyak sepanjang sejarah Negeri Paman Sam. Tapi Trump juga masih memiliki basis pendukung militan. Dari segi popular vote, bekas taipan properti dan seleb TV itu hanya berselisih 4 juta dari raihan Biden. Itu sebabnya, potensi sengketa pemilu masih bakal berlarut-larut.

Kabar kemenganan Biden disambut meriah penduduk kota yang secara historis rutin memilih politikus Demokrat, misalnya New York, Washington D.C, hingga Los Angeles. Video pendukung Biden memencet klakson mobil dan bersorak di pinggir jalan mulai berseliweran di medsos.

Kemenangan Biden bertambah spesial, mengingat baru ada empat capres sebelum dia yang berhasil menumbangkan petahana selama satu abad terakhir. Dukungan popular vote bagi Biden masih bakal bertambah, setelah hasil di beberapa negara bagian yang belum mengumumkan penghitungan suara masuk ke tabulasi nasional.

Tanda-tanda Biden akan menang pilpres sudah mulai muncul, setelah hasil hitung cepat menunjukkan dia berhasil mengubah negara bagian yang terkenal setia pada Partai Republik, seperti Arizona, jadi memenangkannya. Biden juga sukses merebut Michigan, Pennsylvania, dan Wisconsin, yang pada 2016 dimenangkan oleh Trump. Jika perolehan suara di Negara Bagian Georgia tak berubah setelah penghitungan ulang, yang saat ini masih dia menangkan, Biden akan mencatat rekor baru sebagai capres dari wilayah utara AS pertama yang berhasil memenangkan kawasan selatan setelah John F. Kennedy pada dekade 60’an.

Iklan

Trump segera menolak hasil pilpres versi lembaga polling dan media massa ternama AS. Dia berjanji melanjutkan gugatan hukum serta terus mendelegitimasi proses pemilu. Lewat jumpa pers maupun pernyataan di Twitter, Trump berulang kali menuding suaranya “dirampok” oleh Demokrat, tanpa memberi landasan bukti. Bahkan, sejak sebelum hari H pemilu, Trump mengaku tidak siap menerima kekalahan.

“Sekarang rakyat akan tahu kenapa Biden terburu-buru mengaku sangat optimis menang pemilu, dia dan teman-temannya di media massa berusaha keras mewujudkan ambisi tersebut. Mereka semua berkomplot menutup-nutupi kenyataan. Faktanya, pilpres AS masih jauh dari berakhir,” kata Trump lewat keterangan tertulis. “Pada Senin pekan depan, tim kami akan menempuh jalur hukum untuk memastikan pihak yang menang pemilu secara sah mendapatkan haknya.”

Selain kemungkinan konflik antar pendukung di akar rumput masih terus berlanjut, Biden mewarisi negara yang sedang berada dalam situasi tak ideal. Amerika mencatatkan angka pengangguran tertinggi sepanjang sejarah akibat efek pandemi corona. Selain itu, ada banyak konflik akibat kekerasan rasial aparat hukum terhadap warga minoritas, terutama kulit hitam.

Biden yang memiilki karir lima dekade di kongres maupun pemerintahan sebagai wapres untuk Barack Obama, dikenal sebagai pelobi andal. Dia cenderung suka menempuh kompromi dengan partai rival, dibanding mempertahankan posisi dalam kebijakan tertentu. Kepiawaian Biden melobi lawan politik akan diuji saat dia menjadi presiden. Biden sendiri sudah berhasil merangkul semua faksi Partai Demokrat yang terbelah sebelum 2020. Sebagian politikus tua Demokrat cenderung ingin main aman, sementara beberapa politikus muda cukup progresif, bahkan radikal memperjuangkan ideologi sosialisme demokratis.

Iklan

Biden mendamaikan dua kubu di partainya, lalu menghasilkan janji kampanye yang terhitung paling progresif sepanjang sejarah Partai Demokrat. Di antaranya adalah meningkatkan angka kepesertaan rakyat AS dalam sistem jaminan kesehatan nasional, mendorong energi terbarukan untuk mengurangi risiko perubahan iklim, memangkas ketergantungan pada energi fosil, hingga menargetkan pengurangan angka kemiskinan hingga 75 persen dari populasi orang dewasa lewat skema bantuan tunai pemerintah. Lagi-lagi, semua janji itu hanya akan jadi macan kertas bila Biden gagal melobi kongres, yang dikuasai oposisi, untuk memuluskannya menjadi undang-undang.

Di luar itu, problem kultural keterbelahan Amerika pascapemilu akan menjadi tantangan terbesar Biden. Ideologi populisme Trump terlanjur memikat hati jutaan rakyat AS. Terbukti, Trump didukung oleh lebih dari 70 juta pemilih. Sekalipun sering berkomentar ngaco di pidato atau twitnya, bahkan cenderung berbohong, Trump diidolakan sebagian orang layaknya juru selamat. Trump pun masih menjabat sebagai presiden hingga Januari 2021, sehingga masih banyak hal kontroversial lain akan muncul dari Gedung Putih.

Efek keterbelahan itu akan sangat terasa nanti ketika Biden berusaha menanggulangi pandemi Covid-19. Sebagian pendukung Trump sudah termakan komentar provokatif sang petahana, mengabaikan bahaya virus tersebut. Trump berulang kali menuding saran pakar kesehatan untuk lockdown akan mematikan ekonomi rakyat kecil. Padahal realitasnya, AS masih menjadi negara dengan angka penularan dan kematian Covid-19 tertinggi sedunia. Tiap kebijakan Biden yang berkebalikan dari Trump, rentan ditolak warga di basis-basis oposisi.

Trumpisme, menurut banyak pakar politik, belum akan pergi dari narasi besar keseharian rakyat Amerika Serikat. Bayang-bayang tindakan selebor sang presiden ke-45 sulit dihapus Biden dan Partai Demokrat dalam semalam. Manuver Trump merusak tatanan internasional, dengan keluar dari WHO atau Paris Agreement, membuat perang dagang dengan Tiongkok, serta mengobrak-abrik Timur Tengah agar lebih mesra dengan Israel, merupakan PR lain yang harus direspons oleh Biden sebagai presiden terpilih.

Amerika Serikat bagaimanapun adalah negara paling berpengaruh saat ini, yang efek kebijakannya dirasakan masyarakat dunia. Tantangan Biden dalam jangka pendek adalah meyakinkan semua pihak, secara mulus, bahwa dia bukan sekadar antitesis Trump. Bahwa citra koboy Amerika selama dipimpin Trump bisa berganti dengan wajah yang baru. Amerika yang baru.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US