Konflik Papua

Merespons Deklarasi Benny Wenda, Mahfud MD Sebut Dana Otsus Papua Bakal Ditambah

Menkopulhukam turut menjanjikan pemekaran daerah lagi di Papua. Deklarasi pemerintahan Benny Wenda disebut "ilusi". Wakapolri ancam "lakukan tindakan tegas" bagi pendukung ULMWP.
Mahfud MD Sebut Deklarasi Pemerintahan Papua Benny Wenda Ilusi Akan Tambah Dana Otsus
Aktivis membawa poster pro kemerdekaan Papua dalam aksi damai di Jakarta pada April 2017. Foto oleh Goh Chai Hin/AFP

Pemerintah pusat merilis pernyataan resmi merespons deklarasi pembentukan pemerintahan sementara Papua Barat oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Melalui pernyataan bersama secara virtual pada Kamis (3/12), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyebut pernyataan organisasi tersebut tidak sah dan hanya bersifat sepihak.

Dua hari sebelumnya, tokoh pro kemerdekaan Papua yang memimpin ULMWP, Benny Wenda, melakukan deklarasi lewat keterangan tertulis yang turut diunggahnya ke Twitter. Ia mengatakan Indonesia tidak bisa lagi terus menjajah tanah kelahirannya. Momen menjelang berakhirnya pemberian dana otonomi khusus (otsus) yang harus diperpanjang pada 2021, menjadi alasan Wenda mengajak warga Papua mendukung deklarasi terbentuknya pemerintahan sementara.

Iklan

Karena isu otsus disinggung, Menkopolhukam memastikan pengucuran dana itu terus dilanjutkan oleh pemerintah pusat. Tak hanya itu, Mahfud mengklaim pemerintah tengah menggodok revisi Undang-undang Otsus yang dijanjikan bakal lebih menyejahterakan Orang Asli Papua.

Dalam draf revisi ini, Mahfud menyebut ada dua poin yang diajukan. Pertama perpanjangan pemberian dana Otsus dan penambahan jumlah yang dianggarkan dari 2 persen APBN menjadi 2,25 persen. Untuk 2021, Kementerian Keuangan sudah mengumumkan penganggaran dana Otsus sebesar Rp19,55 triliun.

“Kedua, pemekaran Papua agar yang mengurus lebih banyak, lebih teratur. Nanti akan mulai digarap secepatnya sesuai dengan prosedur perundang-undangan,” kata Mahfud.

Isu otsus ini berulang kali memicu berbagai reaksi negatif dari berbagai kubu di Papua. Itu sebabnya Benny Wenda sengaja menyinggungnya untuk meraih dukungan publik, serta mendorong masyarakat menuntut referendum sebagai pengganti otsus.

Realitasnya tak sedikit faksi politik di Papua menyatakan penolakan terbuka terhadap Otsus Jilid II. Pada September lalu, muncul unjuk rasa menolak perpanjangan otsus diikuti ratusan warga di Nabire. Sebulan kemudian, muncul aksi yang sama dari gabungan mahasiswa dan masyarakat di komplek Universitas Cendrawasih. 

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti yang mendalami isu Papua, menilai akar masalah Otsus selama dua dekade terakhir adalah minimnya dampak aliran dana ekstra tersebut pada kesejahteraan orang asli Papua. Penyusunan anggarananya seringkali tidak melibatkan elemen masyarakat Papua, termasuk mereka yang skeptis bahkan kontra dengan pemerintah Indonesia.

Iklan

“Usulan revisi dikritik oleh Orang Asli Papua karena munculnya justru dari pemerintah sendiri,” kata peneliti akrab disapa Puput itu kepada VICE. Ia menuturkan sudah muncul simbol-simbol kekecewaan publik di bagian ujung timur Indonesia itu sejak pejabat lokal ingin mengembalikan dana Otsus.

Pernyataan pemerintah pusat seringkali tidak meredakan penolakan terhadap otsus. Menkpolhukam Mahfud MD dalam jumpa pers turut menuding para pejabat Papua yang membuat rakyat di sana tidak sejahtera karena dana Otsus justru mereka korupsi. “Dana untuk Papua itu besar sekali, tapi dikorupsi oleh elit-elitnya di sana. Rakyatnya enggak kebagian,” kata mantan hakim Mahkamah Konstitusi itu.

Pada 2016, Gubernur Papua Lukas Enembe sempat mengancam akan mengembalikan uang Rp100 miliar ke pemerintah pusat, karena merasa sering dipojokkan atas tudingan mengkorupsi dana otsus. Ancaman itu dia lontarkan setelah sempat akan diperiksa KPK. “Papua ini punya harga diri. Hanya dengan dana sekecil itu saja, kami dikejar-kejar,” ujarnya. 

Sejauh ini pemerintah tidak mengirim sinyal akan menambah jumlah personel kepolisian atau militer ke Papua, sembari mengecilkan efek deklarasi petinggi ULMWP.

“Benny Wenda ini membuat sebuah negara ilusi, negara yang tidak ada,” tegasnya, sembari mengutip Konvensi Montevideo 1933 yang mengatur syarat pendirian negara sesuai hukum internasional. “Syaratnya itu ada rakyat yang dia kuasai, wilayah yang dikuasai, kemudian ada pemerintahnya. Nah dia kan enggak ada tuh. Rakyatnya siapa? Wilayahnya Papua itu kita [Indonesia] riil yang menguasai. Orang Papua sendiri tidak mengakui dia sebagai pemerintah.”

Iklan

Wakapolri Komjen Pol Gatot Eddy Pramono yang turut hadir dalam jumpa pers hari ini, menegaskan institusinya siap menindak tegas siapa saja yang berupaya merongrong kedaulatan Indonesia. Ia mengklaim keberadaan personel Polri dan TNI yang amat banyak di Papua untuk “menjaga keamanan Papua dan menjaga Papua agar tidak terlepas” dari Indonesia.

“Siapa pun, kelompok mana pun yang mengikuti Benny Wenda yakni memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, kita akan melakukan tindakan tegas. Tidak pandang bulu,” kata Eddy. “Kita ingin menunjukkan bahwa negara kita adalah negara hukum dan Papua adalah Indonesia.”

Mahfud dalam kesempatan yang sama mengulang pernyataan yang pernah ia sampaikan pada 2019, bahwa rakyat Papua sukarela melakukan referendum pada 1969 dan sah menjadi bagian bagian Indonesia.

Referendum yang disebut Mahfud merupakan akar polemik Papua selama setengah abad terakhir. Tokoh-tokoh pro kemerdekaan Papua menuding banyak kecurangan dan intimidasi pada 1969, sehingga hasilnya tidak mencerminkan keinginan masyarakat Papua seutuhnya. Benny Wenda sempat membandingkan Papua dengan Timor Timur yang merdeka dari Indonesia pada 2002.

“Timor Timur mendapatkan kemerdekaan karena Portugal ada di baliknya. Namun, Papua Barat, Anda tahu, ditinggalkan oleh Belanda. Jadi, itulah mengapa saya berkeliling dunia mencari bantuan, sebab perjuangan kami diacuhkan oleh dunia,” kata Benny Wenda. 

Selain deklarasi Wenda, pendukung kemerdekaan Papua yang berada di luar negeri terus menggelar kampanye yang mencolok. Pada Selasa(1/12) pagi waktu setempat, enam orang menerobos gedung Konsulat Jenderal Indonesia di Melbourne, Australia. Mereka mengibarkan bendera Bintang Kejora yang bertuliskan “Free West Papua”.

Sejauh ini tidak semua kubu pro-kemerdekaan mendukung deklarasi Wenda. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) memilih tidak mengakui otoritas Wenda mewakili bangsa Papua Barat. Alasannya adalah ia merupakan warga negara asing dan deklarasi dilakukan di Inggris.