Pada Jumat sore di pertengahan Oktober, Samuel Paty dibunuh oleh seorang pemuda dalam perjalanan pulang sehabis mengajar di SMP Collège Bois-d'Aulne, pinggiran kota Paris. Sang pelaku, yang merupakan pengungsi asal Chechnya, tewas ditembak polisi tak lama kemudian.
Beberapa minggu sebelumnya, guru SMP itu menjadi bulan-bulanan umat Muslim di seluruh dunia karena memperlihatkan kartun kontroversial Nabi Muhammad saat mengajarkan tentang kebebasan berekspresi.
Kartun Nabi Muhammad telah menjadi simbol sistem laïcité atau sekularisme di Prancis sejak kantor redaksi majalah satir Charlie Hebdo diserang pada Januari 2015.
Paty memperlihatkan karikatur yang diterbitkan pada 2012. Di salah satu gambar, Nabi Muhammad tampak memamerkan alat kelaminnya.
Opini publik terbelah menyikapi sekularisme
Presiden Emmanuel Macron terlihat emosional dalam upacara penghormatan mendiang Paty.
“Kita akan terus memperjuangkan kebebasan yang telah Anda ajarkan. Kita akan mempertahankan sekularisme,” ucapnya. “Kita tidak akan menarik karikaturnya.”
Kasus pembunuhan Paty hanyalah satu dari rentetan serangan teror yang dilancarkan oleh kelompok ekstremis di Prancis. Sepanjang tahun ini, totalnya ada sembilan aksi teror. Lima tahun lalu, 130 orang tewas dalam insiden bom dan penembakan oleh anggota ISIS di kota Paris. Dan dua pekan lalu, pemuda asal Tunisia membunuh tiga orang di Gereja Notre-Dame yang berlokasi di kota Nice. Menurut laporan polisi, seorang perempuan “dipenggal” dalam serangan teroris.
Abdelkader Sadouni. Foto: Jules Boudon-Chambre
Satu jam sebelum beraksi, sang pelaku salat di satu-satunya musala yang letaknya tak jauh dari gereja. Abdelkader Sadouni menjadi imam di sana.
Sadouni berpendapat ketegangan ini disebabkan oleh cara Prancis memperlakukan agama. “Raja Louis XVI menganggap dirinya wakil Tuhan di Bumi, tapi dia dipancung. Ini menyiratkan seperti apa agama diperlakukan di Prancis.”
70 persen orang Islam di Prancis mengatakan karikatur Nabi Muhammad tak patut diterbitkan, sementara 60 persen penduduk Prancis menyatakan dukungannya terhadap Charlie Hebdo. Mereka tidak memahami apa sebenarnya yang membuat umat Muslim geram.
Perbedaan pandangan inilah yang menimbulkan ketegangan. Tahun lalu, lebih dari 10.000 warga Paris turun ke jalan melawan islamofobia di Prancis.
Menteri Marlène Schiappa menilai demonstrasi itu hanyalah aksi protes terhadap sekularisme “dengan kedok memerangi diskriminasi”.
Macron vs. Islam
“Pada 2003-2004, Prancis adalah negara Barat paling populer di kalangan umat Muslim. Tapi sekarang popularitasnya berkurang. Sesuatu telah terjadi di sini,” Pascal Boniface, direktur French Institute for International and Strategic Affairs (IRIS), menerangkan.
Pascal Boniface. Foto: Jules Boudon-Chambre
Prancis mencapai puncak popularitasnya di kalangan umat Muslim pada masa pemerintahan Jacques Chirac. Dia menentang Perang Irak.
“Prancis bergerak mundur setelahnya,” lanjut Boniface.
Ada banyak faktor selain karikatur Nabi Muhammad yang membuat negara ini dibenci. Media Prancis secara gamblang menunjukkan sikap anti-Muslim dalam artikel-artikel seperti “Shameless Islam” atau “The Mosque Invasion”.
Seluruh dunia bisa melihat liputan semacam itu “karena kita hidup di era globalisasi”.
Sikap Presiden Macron semakin memperkeruh suasana. Bulan lalu, dia mengusulkan rancangan undang-undang mengakhiri “separatisme”. Dia berbicara tentang bahaya “separatisme Islam”, yang kemudian dikritik oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan.
Dalam beberapa pekan terakhir, seruan boikot produk Prancis didengungkan di sejumlah negara seperti Iran, Pakistan, India, Bangladesh, Indonesia, Lebanon, Palestina dan Afghanistan.
Pada 11 November, diplomat Prancis menjadi sasaran serangan bom ketika menghadiri upacara peringatan berakhirnya Perang Dunia I di Arab Saudi. Beberapa orang terluka dalam insiden tersebut.
Sudah menjadi berita lama
Pada 2016, sejumlah perempuan Muslim ditertibkan polisi sebagai imbas dari larangan mengenakan burkini di Prancis.
Jauh sebelum itu, sekolah-sekolah di Prancis melarang siswi mengenakan jilbab.
Sophie Mazet tidak terkejut saat mengetahui berita pembunuhan Samuel Paty.
Sophie Mazet. Foto: Jules Boudon-Chambre
Guru SMA ini mengajarkan kebebasan berekspresi di sebuah sekolah yang terletak di Saint-Ouen.
“Sekolah saya diancam kelompok Islamis sembilan tahun lalu. Saya jadi sasaran utama dan nama saya tersebar di seluruh blog kelompok ekstremis Islam di Prancis,” terangnya.
“Tak ada yang membantu kami sama sekali.”
Dua pertiga murid Mazet beragama Islam, tapi fakta ini tak menghentikannya untuk memperlihatkan karikatur kepada mereka. Dia belum pernah menghadapi masalah sejauh ini.
“Beberapa kaget dan tersinggung, tapi mereka tidak pernah melakukan kekerasan.”
Adakah kelompok separatis Muslim di pinggiran kota Paris itu?
“Tidak adanya prospek pekerjaan atau karier mendorong orang-orang ini bergabung dengan kelompok ekstremis,” tuturnya.
Mendulang suara dari kelompok sayap kanan
Pemilihan presiden akan diselenggarakan di Prancis dua tahun lagi. Pemimpin Partai National Rally Marine Le Pen yang datang dari kelompok sayap kanan dikabarkan mengungguli Macron dalam jajak pendapat. Sejumlah pihak menuduh Macron sengaja menyasar Islam untuk mendapat dukungan dari sayap kanan.
Boniface berpandangan RUU separatisme diusulkan sebagai upaya menarik dukungan dari National Rally. Namun, beleid itu justru membantu partainya Le Pen.
Dia menjelaskan politik sayap kanan semakin berpengaruh di Prancis belakangan ini.
Jérémie Piano, juru bicara gerakan sayap kanan Génération Identitaire, mengklaim ajaran Islam tidak cocok dengan Prancis.
“Ajaran itu tidak dapat beradaptasi dengan masyarakat Prancis yang sekuler,” tukasnya.
Jérémie Piano. Foto: Jules Boudon-Chambre
Remigrasi adalah solusi paling tepat menurut Jérémie dan Partai National Rally.
“Remigrasi berarti memulangkan orang non-Eropa ke negara asalnya. Diperlukan tindakan insentif dan pemaksaan, baik dengan melarang pembangunan masjid maupun dengan mendeportasi seluruh kaum Jihadis dan Islamis.”
Upaya memperbaiki hubungan
Macron mungkin akan menarik dukungan sayap kanan dengan pembahasan separatisme Islam-nya, tapi dia juga berusaha menjembatani komunitas Muslim dengan masyarakat Prancis.
Beberapa hari setelah serangan kota Nice, dia membahas upaya memperbaiki hubungan dan mengklarifikasi posisinya dalam wawancara bersama Al Jazeera Arabic.
“Saya mengerti sentimen [umat Muslim] terkait kartun ini dan saya menghormatinya, tapi saya tidak bisa membenarkan kekerasan fisik yang terjadi,” ujar Macron.
Sadouni tidak mempermasalahkan laïcité. Menurutnya, sistem ini memberikan kebebasan memeluk agama sesuai keinginannya masing-masing. “Ada 2.500 masjid yang tersebar di seluruh Prancis, dan semua ini berkat sekularisme.”
Namun, tak ada salahnya bagi masyarakat Prancis untuk membuat kelonggaran.
“Ada banyak cara mengajarkan kebebasan berekspresi selain dengan menunjukkan karikatur yang menyinggung sejumlah orang. Mari kita mencari cara lain yang menguntungkan kedua belah pihak.”
Penghormatan untuk korban penyerangan Gereja Notre-Dame di kota Nice. Foto: Laurel Chor
Laurel Chor berkontribusi dalam laporan ini.