FYI.

This story is over 5 years old.

Gaya Hidup Punk

Saya Enggak Minum, Tapi Bukan Anak Straight Edge, Ada Masalah?

Budaya minum-minum itu cupu. Tapi, yang lebih cupu lagi itu kultur straight edge. Sumpah!
prinsip straight edge
poster straight edge

Saya enggak pernah mengonsumsi obat-obatan. Satu-satunya pengalaman yang hampir bisa saya anggap sebagai “adiksi” adalah saat saya nonton maraton lima season Friday Night Lights. Belum lagi, seingat saya, alkohol terakhir kali melewati kerongkongan saya pada saat saya masih kelas satu SMA—ya kira-kira separuh hidup saya yang lalu deh.

Nah, pertanyaan yang sering diarahkan ke saya—biasanya keluar setelah orang tahu saya enggak minum adalah “Kenapa enggak sih?” Ini dia pertanyaan paling brengsek di dunia. alasannya? Gini, kalian semua nanya “Kenapa elo enggak konsumsi alkohol?” Yang bener saja deh. Pertanyaan harusnya kan keluar dari mulut saya, “Kenapa kalian semua mabuk heh?” Sudah gitu, FYI aja nih, selain enggak mabu-mabuan, saya juga enggak ke gereja, enggak punya kucing dan enggak mendengarkan musik country. Terus, apa ada yang nanya tentang tiga hal ini? Sejauh ini enggak ada tuh. nihil! Padahal saya sudah menyiapkan stok jawaban yang nendang banget (singkatnya gini: karena agama itu cuma skema penipuan massif, karena kucing buluan dan nyebelin serta karena gigi saya masih utuh). Cuma ya itu, saban kali orang tahu saya enggak minum, reaksinya seragam. Mereka semua mendadak menginterogasi saya, mirip seperti seorang orang tua katro melabrak guru yang enggak terima anaknya dihukum di sekolah.

Iklan

Masalahnya nih, saya punya satu jawaban dan itu sudah mentok enggak bisa ditawar-tawar lagi: saya memang enggak mau minum alkohol. Segampang dan sesederhana itu. Di keluarga saya enggak ada yang kecanduan alkohol. Saya juga pantang minum alkohol bukan karena alasan kesehatan apalagi karena ajaran agama. Ini cuma pilihan pribadi tok yang terus saya tegakkan seumur hidup. Udah gitu aja.

Tapi, catat nih, saya enggak pernah melabeli diri saya sebagai “straight edge.”

Begini ya, pas Ian MacKaye menulis lagu “Out of Step” pada 1981, enggak terpikir di otaknya untuk menceramahi orang. Yang dilakukan Om Ian itu cuma menyuarakan dirinya dan mengungkapkan nilai-nilai yang dia percaya. Pendeknya, dia enggak berniat mendirikan gerakan apalagi sekte straight edge apalagi jadi nabinya. Dan, ini saya enggak ngomong seenaknya. Om Ian sendiri ngomong begitu di berbagai kesempatan wawancara. Jadi, saat dia nulis lirik “Don’t smoke, don’t drink, don’t fuck,” Om Ian enggak bermaksud menjadikannya sebagai anjuran. Dia juga, saya yakin, enggak mau jadi bagian anak-anak straight edge yang ngebully atau minimal nyinyir sama anak punk dan hardcore lain yang masih mabu-mabuan. Eh betewe, serangan anak sXe ke anak punk biasa ini masih musim enggak sih. Kalau masih, saya cuma menyayangkannya. Tapi kalau udah enggak, ya bagus. Tren jelek macam ini memang enggak boleh berumur panjang. Maksimal sepanjang tren ska revival dulu aja.

Iklan

Okay, balik ke lagu “Out of Step.” Sadar bahwa liriknya disalahpahami, begitu Minor Threat merekam ulang lagu itu pada 1983, Om Ian membenahi lirik itu dengan menambahkan kata ganti orang pertama menjadi “ I don’t smoke, I don’t drink, I don’t fuck” serta monolog bahwa lagu itu enggak bermaksud meletakkan cetak biru sebuah gerakan moral apalagi hardcore. Gampangnya, lewat pembenahan ini, Om Ian cuma mau ngomong “Heh anak straight edge bego, udah enggak usah ngerecokin anak punk/hardcore yang masih suka kobam!”

Dulu, teman-teman SMA yang memutuskan enggak mabu-mabuan bangga betul pakai semua atribut sXe, dari patch band macam Youth of Today, Gorilla Biscuits, patch XXX dengan tulisan “Beer suck, drink water”, tato hingga lambang ‘X” di tangan. Saya? Jelas enggak ikut-ikutan lah. Buat apa juga. Lagian nih, ujung-ujungnya mereka langsung jadi pemadat begitu masuk kuliah. Malah, tiap ngobrol tentang masalah mabu-mabuan dan ganja, mereka sekarang sudah kayak pakar yang udah ngeganja sejak mbrojol dari perut ibunya. Enggak tangggung loh, mereka mengkaji mabu-mabuan dengan sudut panjang saintifik. Makanya, enggak aneh kalau saya pernah dapat resep ngeganja paling ajaib sepanjang masa. Begini bunyinya: ambil ganja. Tumbuk sampai berbentuk pasta. Tambah abu jenazah nenek kita—atau sedikit debu kuburannya jika enggak dikremasi. Bacakan mantra-mantra voodo. Kubur di halaman belakang rumah. Gali lagi setelah lewat lima atau sepuluh tahun. Gosok gigi kamu pakai ramuan ganja itu. Niscaya kamu akan merasakan trip paling asoy seumur hidupmu.

Iklan

Mantap kan?

Eh tapi jangan salah sangka dulu ya. Saya enggak punya masalah dengan ganja, alkohol atau rokok sekalipun. Maksud saya gini, jika saya ingin kelihatan pinter dengan pilihan saya menjauhi ketiganya, saya bakal bilang ngeganja itu buang-buang waktu dan bahwa alkohol serta tembakau itu adalah buat memastikan kelas bawah selamanya kere. Jika ini opsi yang saya ambil, wah saya yakin banget orang-orang bakal segera ngebully saya, menunjukkan artikel-artikel yang membela keutamaan merokok di mojok.co atau komunitaskretek.id. Yang lain akan segera berargumen bahwa ganja itu manjur buat mengatasi glaucoma atau meneruskan nasihat dokter bahwa menenggak dua gelas anggur merah sehari akan bikin kita awet muda. Jelas, kalian semua boleh membela diri agar bisa merasa nyaman saat melakoni dosa-dosa kecil dalam hidup kalian. Di sisi lain, saya juga bisa dong ngomong “makan pecel lele setiap hari jauh lebih manjur menjaga kebugaran dan kesehatan mental daripada bayar kelas yoga mahal-mahal.” Adil kan?

Sorry, saya enggak mau masuk foto macam ini.

Reaksi lainnya yang sering saya dapatkan setelah orang tahu saya enggak minum alkohol adalah mereka segera buka kartu kalau mereka juga enggak akrab dengan alkohol dan merasa seperjuangan dengan saya. Maaf nih, bukannya kurang sopan nih, keputusan enggak mengonsumsi alkohol itu keputusan pribadi saya. Saya enggak mengekor siapapun saat mengambil keputusan ini. Makanya, bodo amat jika kalian terus-terusan sober dan menjauhi alkohol. Lagian, bego enggak sih bikin semacam brotherhood dengan dasar sama-sama enggak minum. Itu sama konyolnya kayak bikin persatuan orang-orang enggak main basket atau enggak suka mancing.

Iklan

Atau kadang saya ketemu orang yang mengaku sedang berusaha mengurangi intensitas minumnya dan minta saja berbagi resep hidup tanpa alkohol. Waduh bray, sorry banget nih. Saya enggak punya yang kalian minta. Lagian hidup tanpa alkohol itu enteng kok. Kalian cuma perlu melakukan ini: hidup saja seperti biasa tapi hentikan kebiasaan menyorongkan gelas, botol atau apapun berisi alkohol ke congor kalian. Gimana gampang kan?

Beneran deh. Berhenti mengonsumsi alkohol itu gampang banget asal ada niat. Setahu saya, alkohol itu rasanya kayak sampah, mending teh manis kemana-mana. Belum lagi, dalam kasus saya, bir itu nyebelin banget sebab baunya saja ngingetin saya ke preman-preman yang malakin di terminal pas SMA dulu.

Orang-orang seenaknya berasumsi bahwa karena saya enggak mabuk, badan dan tabungan saya sama-sama sehatnya. Enggak juga kok. Barusan nih, sebelum nulis esai ini, saya ngecek dulu saldo tabungan saya. Coba tebak berapa isinya? Tinggal Rp1,2 juta, enggak kurang enggak lebih. Nyesek lah pokoknya. Satu-satunya keuntungan tetap sober di tengah masyarakat yang doyan mabu-mabuan adalah saban malam minggu, saya bisa melihat isi dunia sebagai masa mestinya. Beda misalnya dengan teman-teman saya yang berpesta alkohol tiap weekend. Makanya, saya bisa dengan obyektif nonton dua orang temen yang ribut gara-gara kebanyakan minum, cewek wasted yang mikir semua lagu yang dimainkan DJ itu buat dirinya seorang atau sepasang sejoli yang ribut, nyaris putus gara-gara alkohol. Kadang, ada hasrat buat ngelerai, memegang pundak mereka terus bilang (dengan suara yang bijak) “Mbak, Mas, dari tadi kalian ngoceh enggak jelas. Udah deh, daripada ribut atau ngelantur, pulang dan tidur. Masalah kalian itu cuma satu, kalian mabuk. Udah ya.” Singkatnya sih, jadi satu-satunya orang sober di tengah kawasan pemabuk. Barangkali, ini yang dirasakan Roddy Piper di film sci-fi They Live saat dia pakai kacamata ajaibnya.

Iklan

Beneran deh, jika ada budaya yang lebih tolol dari budaya minum-minum, maka kandidatnya cuma satu: kulrur straight edge. Kurang goblog apa coba, jika kultur lainnya dibangun di atas aktivitas yang sama-sama dilakukan anggota, straight edge adalah kebalikannya. Makanya, menurut saya sih, straight edge itu kayak pertemuan alcoholics anonymous dengan soundtrack yang jelek dan itu-itu saja. Satu lagi, ada satu pertanyaannya yang dari dulu saya gatel lontarkan: kita memang butuh berapa lagi hardcore yang tentang enggak mengonsumsi alkohol? Seriusan deh, butuh berapa banyak lagi sih. Bukanya topik itu sudah beres di lagu “Out of Step” ya. Pertanyaan saya ini memang kudu dicari jawabnya. Soalnya gini, setiap lagu sXe tentang enggak minum pada hakekatnya adalah kopian “Out of Step” dengan kadar keagresifannya naik terus dari tahun ke tahun. Jadi coba bayangkan, dalam sekian tahun ke depan, anak sXe yang bikin lagu tentang menjauhi alkohol akan kebingungan mau bikin lirik kayak gimana lagi atau lagu segarang apa lagi coba?

Balik ke keengganan disebut straght edge, saya akui saya terjebak dalam limbo di antara dua kultur. Saya hidup di ruang di mana kalimat “cinta itu buta” atau “yang sabar pasti menang” sama enggak mutunya dengan slogan ““true ‘til death” dan “poison free.” Saya juga merasa membuat lambang X di punggung telapak tangan sama konyolnya dengan memasang foto diri sendiri sedang yoga di Instagram. Dan oh ya satu lagu, maaf-maaf nih ya, bagi saya kaos yang bertuliskan ”Beer Sucks, Drink Water” itu selevel cupunya dengan kaos “2019 Ganti Presiden.”

Cuma, jika melabeli saya sebagai “straight edge” bikin kamu lebih ikhlas memahami kenapa ada orang yang hidup tanpa alkohol, ya silakan saja. Saya sih enggak. Buat apa? Saya toh enggak peduli-peduli amat dengan kultur hardcore yang satu ini. Makanya, biar adil, saya bakal bikin gerakan baru saja. Namanya “straight meh-dge.” Gerakan ini enggak punya logo, slogan, atau semacamnya. Gerakan ini juga tak punya anthem. Sama satu lagi, enggak boleh ada anggota lain selain saya, saya dan saya seorang, Kami ngumpul tiap minggu dan kegiatan utama kami nonton Friday Night Lights.

sMe pride!

Follow Dan di Twitter: @danozzi