Perempuan Zulu Afrika Selatan merayakan pesta masih perawan
Semua foto oleh penulis.
Budaya

Masih Perawan Hingga Usia 21 Tahun, Orang Tua Gelar Pesta Mewah Untukku

Perayaan tradisi perempuan suku Zulu di Afrika Selatan ini sering gila-gilaan, satu keluarga bisa habis Rp100 juta ditambah mobil. Muncul kritik karena lelaki Zulu tidak dibebani tradisi macam ini.

Ulang tahun ke-21 selalu menjadi momen paling mengesankan karena usia ini menandakan kedewasaan seseorang. Namun, menurut tradisi yang diyakini anggota suku Zulu di Afrika Selatan, masih perawan saat usiamu sudah menginjak angka 21 adalah sebuah pencapaian besar yang patut dirayakan.

Ketika perempuan Zulu “berhasil jadi perempuan baik-baik” dengan menjaga keperawanannya, keluarga mereka akan menggelar syukuran yang disebut Umemulo. Orang tua akan menyembelih sapi untuk memperingati masa peralihan mereka menjadi perempuan dewasa, sedangkan para tamu undangan akan menghujani sang perawan dengan uang dan hadiah sebagai ucapan selamat.

Iklan

Sejak kecil, perempuan diajarkan untuk mematuhi segala peraturan yang berlaku di masyarakat dan memenuhi harapan-harapan sosial yang diembankan kepadanya. Di budaya kami, perempuan tak lagi dianggap suci jika mereka sudah tidak perawan di usia muda. Saya pribadi beranggapan kita tidak bisa merendahkan derajat perempuan hanya karena mereka berhubungan seks sebelum menikah. Selama dilakukan atas rasa suka sama suka, saya tidak bisa memahami kenapa perempuan harus dirugikan dan dipandang sebelah mata.

Sebagai anak pertama, saya merasa punya tanggung jawab besar untuk mempertahankan tradisi ini. Orang tua sudah menabung dan mempersiapkan segala sesuatunya dari jauh-jauh hari untuk merayakan ulang tahunku yang ke-21 serta keperawananku. Ketika bertanya ingin menggunakan warna apa selama syukuran, ibu memastikan saya benar-benar masih perawan.

“Kalau kamu sudah tidak perawan, nanti acaranya ibu ubah jadi syukuran hari jadi,” tutur ibu sambil tersenyum, seolah-olah sedang bergurau.

Saya cuma bisa tertawa karena ibu sebenarnya bertanya serius. Saya tahu ibu akan memberi tahu para tamu bahwa syukuran ini diadakan untuk memperingati hari jadi pernikahannya jika saya mengaku sudah pernah ngeseks.

Tamu pesta menusukkan uang ke payung

Tamu pesta menusukkan uang ke payung.

Anggota keluargaku yang laki-laki tidak terlalu peduli dengan pesta semacam ini, karena mereka tidak pernah ditanyakan masih perjaka atau tidak. Mereka juga tidak pernah dicek alat kelaminnya untuk memastikan belum pernah bersetubuh di luar nikah. Hal terpenting bagi orang tua adalah saya tidak merusak nama baik mereka.

Iklan

Saya meyakinkan orang tua kalau saya tidak pernah berzina karena memang itulah kenyataannya, tapi saya yakin masih ada keraguan dalam benak mereka.

Beberapa bulan sebelum syukuran, ibu menyarankan saya untuk menghadiri Umemulo teman gereja. Ibu bilang saya harus melakukan ini “supaya mereka juga mau datang ke acara kamu”.

Rupanya menghadiri upacara ini tidak semudah kelihatannya. Setiap tamu perempuan harus membuktikan “kesucian” mereka dengan mengikuti tes keperawanan. Orang tuaku berpikir ini waktu yang tepat bagiku untuk dites, guna menyingkirkan keraguan mereka.

Saya mengenakan pakaian adat pada hari H. Di sana, ketika saya sedang mematut diri di depan cermin, seorang perempuan muda menghampiriku dan memberi tahu sudah giliran saya untuk dites. Ibu memintaku untuk menemuinya.

Prosesnya kira-kira begini. Semua perempuan yang dites wajib bertelanjang dada dan hanya ditutupi untaian manik-manik dan rok. Kami mengantre di depan ruangan kecil, yang di dalamnya sudah ada ibu dan empat perempuan lain.

Ibu memberiku isyarat untuk masuk ruangan. Saya lalu disuruh melepas celana dalam dan berbaring di atas tikar oleh seorang perempuan tua yang duduk di pinggir tikar. Istri pendeta dan dua perempuan lain mencondongkan tubuh ke arahku untuk menyaksikan jalannya tes.



Saya sangat deg-degan. Tes ini akan menentukan nasibku, apakah saya berhasil jadi anak berbakti atau tidak berdasarkan persepsi orang asing terhadap vaginaku.

Iklan

Dia menarik kakiku ke arahnya, mengambil tisu, lalu merentangkan kedua kakiku lebar-lebar. Mereka semua membungkuk lebih dekat ketika dia berkata “lihat, itu matanya”. Mata yang dimaksud adalah selaput dara saya. Ketika ibu bertanya tahu dari mana, seorang perempuan menyalakan senter di ponsel dan menyorotkannya langsung ke selangkangan. “Yang itu. Kelihatan, kan?” tanyanya.

Jiwa saya terguncang. Diriku yang sekarang tak lagi sama seperti sebelum saya mengikuti tes keperawanan. Saya memang menyanggupi pesta syukurannya, tapi tak pernah terpikirkan olehku akan menjalani tes semacam ini. Mereka sepakat saya masih perawan, sedangkan saya merasa malu berjalan keluar ruangan sambil menenteng celana dalam.

Tamu menusukkan uang ke payung

Hari besarku akhirnya tiba, dan saya harus menjalani tes lagi. Kali ini dengan mengenakan lemak sapi untuk menutupi dadaku yang bugil. Sesepuh mengklaim pemakainya berbohong jika lemaknya sobek selama acara. Untung saja, lemak sapi yang ada di tubuh saya tetap utuh sampai syukuran selesai.

Pesta keperawanan saya dihadiri kurang lebih 200 orang. Beberapa menusukkan uang ke payung, sementara lainnya datang membawa kado untukku.

Orang tua bahkan membelikanku mobil. Totalnya saya menerima 10.000 Rand Afrika Selatan (Rp9,3 juta) dari para tamu. Sementara itu, ayah ibu membeli sapi seharga 15,200 Rand (Rp14 juta), dan menghabiskan hampir 100.000 Rand (Rp93 juta) untuk pesta.

Perayaan ini mengesankan. Para tamu tampak bahagia dan ingin berfoto dengan si anak perawan. Saya merasa seperti sudah tidak ada beban lagi karena acaranya berjalan lancar untuk keluarga dan tamu.

Iklan
Penulis memegang payung penuh uang

Tidak diragukan lagi bahwa budayaku terlalu sibuk mengatur cara berperilaku perempuan. Selain mengharuskan kita untuk menghormati laki-laki, patriarki juga mengatur kehidupan seks perempuan.

Saya merasa perayaan ini boleh-boleh saja dilangsungkan, tapi saya menyayangkan kenapa standar moralitas yang terlampau tinggi ini hanya ditetapkan untuk perempuan.

Laki-laki seharusnya diperlakukan serupa. Kalau perempuan harus perawan sebelum nikah, itu berarti laki-laki yang menjadi calon suaminya harus perjaka juga dong? Ya, ya… Saya paham pesta ini ada untuk mencegah seks pranikah, kehamilan remaja dan HIV, tapi kan… bukan cuma perempuan yang bertanggung jawab di sini.

Saya sadar penuh tidak dapat membicarakan masalah ini dengan orang tua. Bisa-bisa mereka menyebut sikapku terlalu kebarat-baratan.

Kenyataan lainnya adalah banyak sekali perempuan Zulu yang menikmati perayaan semacam Umemulo. Tradisi ini sebenarnya akan jauh lebih menarik jika kita dibebaskan untuk memilih. Meskipun saya terkesan dengan acara ini, saya tak kuasa membayangkan akan seperti apa jadinya kalau ternyata saya sudah tidak perawan.

Follow Thembela Makhuba di Instagram.