Militer Korea Utara pada Selasa (16/6), meledakkan kantor penghubung dengan Korea Selatan di Kaesong, kota perbatasan kedua negara. Penghancuran bangunan ini merupakan lanjutan dari ancaman sebelumnya, ketika Pyongyang memastikan kantor yang "tidak berguna" itu "rata dengan tanah."
Kemeterian Unifikasi Korsel membenarkan insiden tersebut. Peledakan bangunan itu dilakukan pada pukul 02.49 dini hari waktu setempat.
Keputusan esktrem memutus hubungan dengan Korsel sepenuhnya, setelah dua tahun terakhir kedua negara menjajaki kemungkinan rujuk, diambil oleh Kim Yo-jong, adik kandung sang diktator Korut Kim Jong-un. Perempuan 32 tahun itu pekan lalu menggelar jumpa pers, menyatakan negaranya tetap tidak terima melihat minimnya tindakan nyata Korsel terhadap aktivis di perbatasan yang menyebar propaganda agar warga Korut membelot dan pindah negara saja.
Kantor Penghubung Korut-Korsel didirikan dan resmi beroperasi pada September 2018, seiring keputusan pemimpin kedua negara untuk meredakan ketegangan. Fungsinya menjadi kantor untuk negosiasi, pertemuan intensif, dan rapat-rapat pejabat kedua negara terkait kemungkinan unifikasi.
Korut dan Korsel, sejatinya, masih dalam status perang sejak era 1950-an. Berkat Deklarasi Panmunjom, antara Kim Jong-un dan Presiden Korsel Moon Jae-in pada April 2018, sempat muncul harapan dua negara beda ideologi itu benar-benar berdamai, bahkan bersatu kembali. Kaesong dipilih sebagai lokasi simbolis untuk kantor penghubung, mengingat statusnya sebagai kota industri Korut yang diharap akan bisa lebih rutin bekerja sama dengan negara tetangganya.
Namun, sejak Januari lalu bangunan itu kosong, karena semua pegawainya diminta bekerja dari rumah akibat pandemi corona. Ketika Pyongyang ngambek pada Korsel sejak akhir bulan lalu, tidak ada kegiatan sama sekali. Operasional gedung sehari-hari memang dikelola oleh pejabat Korut.
Foto diambil pada 14 September 2018, ketika pejabat Korut dan Korsel menghadiri peresmpian kantor penghubung kedua negara. Akibat ketegangan diplomatik pada pertengahan Juni 2020, bangunan itu diledakkan sepihak oleh Korut. Foto via AFP
Beberapa jam setelah peledakkan bangunan itu, jubir pemerintah Korsel "menyesalkan" tindakan ekstrem negara tetangganya. "Keputusan itu memupus harapan rakyat kedua negara yang menginginkan perdamaian abadi di Semenanjung Korea."
Sejauh ini, Korsel berusaha tetap tenang dan tidak terprovokasi. Personel militer di perbatasan belum nampak ditambah. Namun, berdasarkan keterangan tertulis dari Istana Biru, sebutan untuk kantor kepresidenan Korsel, bila Pyongyang bertindak lebih nekat dari sekadar menghancurkan gedung, maka "kami pun akan merespons dengan tak kalah seriusnya."
Pemicu kemarahan Korut adalah meningkatnya jumlah pembelot dari negara mereka yang menyeberangi perbatasan lalu hidup di Korsel. Orang-orang ini—yang kebanyakan bekas pejabat, tentara, atau buruh berpendidikan—rupanya sering mendekat lagi ke perbatasan untuk menyebar propaganda anti-Korut. Para pembelot, dibantu jaringan aktivis, biasanya menerbangkan balon helium dilengkapi kotak berisi DVD film dan serial Korsel, pamflet menjelekkan rezim Kim Jong-un, serta ajakan agar warga Korut lainnya pindah negara saja.
Tindakan para pembelot makin agresif sejak akhir 2019. Dari catatan Pyongyang, lebih dari 10 ribu pamflet propaganda dikirim ke wilayah mereka selama beberapa bulan terakhir. Karenanya, rezim Kim Jong-un menilai Korsel tidak serius mengamankan perbatasan mereka, atau malah membiarkan pembelot dan jaringan aktivis memprovokasi warga Korut supaya pindah negara. Korut merasa negara tetangganya melanggar poin perjanjian damai yang diteken pada 2018 lalu.
Eskalasi konflik yang diambil oleh Korut, menurut Ahn Chan-il, tidak mengejutkan. Ahn adalah warga Korut yang membelot ke selatan, dan kini menjadi kepala lembaga
World Institute For North Korea Studies.
"Provokasi macam ini sudah pasti terjadi, terutama setelah kami sempat memantau awal bulan ini Korut menurunkan benderanya dari pos jaga di zona demilitarisasi," kata Ahn pada VICE News. Penurunan bendera, buat pemerintah Korut, adalah simbol negara sedang dalam situasi darurat atau semi berperang.
Foto diambil pada 9 Juni 2020, menunjukkan aktivitas pos jaga militer Korut di perbatasan masih tampak normal. Foto via Yonhap / AFP
"Bagi orang luar mungkin keputusan petinggi Korut ini berlebihan dan nekat. Tapi Kim Yo-jong ingin membuktikan kalau ancamannya bukan pepesan kosong," imbuh Ahn. Selain itu, yang harus diperhatikan, Korut sudah punya kemampuan mengangkut hulu ledak nuklir dengan keapal selam. Maka, Ahn bilang Korsel perlu memantau pergerakan mencurigakan di perairan kedua negara. Provokasi ini akan makin menjadi hingga 25 Juni 2020, momen perayaan 70 tahun Perang Korea.
Aktivis sendiri ogah menuruti imbauan Korsel, yang sempat meminta mereka mengurangi aktivitas menyebar propaganda. Park Sang-hak, pemimpim organisasi Fighters for a Free North Korea (FFNK), ketika dihubungi media berikrar akan tetap mengirim pesan ke rakyat Korut. Targetnya, pada 25 Juni mendatang, ada satu juta pamflet yang disebar.
Pengamat Korut lainnya, Go Myong-hyun dari Asan Institute for Policy Studies, menilai reaksi ekstrem Korut sampai meledakkan gedung adalah buah dari kondisi politik para elit di Pyoyngyang. Kim Yo-jong, yang digadang-gadang bisa menjadi penerus abangnya Kim Jong-un, ingin membuktikan diri sebagai pemimpin kompeten, berani berkonflik, dan tegas.
"Bisa dibilang, ini adalah manuver Kim Yo-jong untuk menjadi orang nomor dua paling berpengaruh di negara itu, atau bahkan ntuk menggantikan posisi diktator, " kata Go pada VICE News. Satu-satunya kekurangan Yo-jong, selain karena dia perempuan sehingga kerap dipandang sebelah mata di budaya Korut, adalah dia minim pengalaman di militer.
"Konflik semacam ini akan menghubungkan Yo-jong dengan banyak pejabat militer dan menjamin koneksinya aman hingga bertahun-tahun ke depan," tandas Go.
Follow Junhyup Kwon di Twitter.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE News