Artikel ini pertama kali tayang di i-D
Istilah Sindrom Paris mengacu pada kondisi wisatawan — cenderung dari kawasan Asia Timur — yang mengalami syok berat sesampainya di Paris. Terbiasa dengan budaya sopan santun, para pelancong kaget begitu menyaksikan sendiri kota dambaan ternyata tak seramah dan seromantis di film-film. Sifat temperamental warganya mengguncang mental mereka, yang pada akhirnya bisa membuat mereka histeris dan delusional.
Walaupun begitu, Paris tetap menjadi destinasi favorit wisatawan mancanegara. Bahkan banyak yang mencoba menghidupkan Paris kecil di negaranya. Bandung, misalnya, sering dijuluki ‘Paris van Java’ karena merupakan pusat mode layaknya kota Paris. Tapi tampaknya, ibu kota Jawa Barat takkan bisa mengalahkan Tianducheng dalam hal meniru Paris. Komplek perumahan di pinggiran kota Hangzhou, Provinsi Zhejiang disulap hingga mirip “City of Light”.
Dibangun pada 2017, kota itu kini ditinggali sekitar 30.000 penduduk. Tianducheng benar-benar kayak Paris, seandainya kota itu dibangun dalam Disneyland.
Fotografer dan desainer grafis François Prost terkesima melihat betapa banyak kesamaan yang dimiliki kedua kota tersebut. Jalanan neoklasik Tianducheng menyerupai Champs Élysées. Bahkan ada replika Istana Versailles dan Menara Eiffel juga di kota ini. François menemukan Tianducheng dari internet, sehingga dia memutuskan untuk membuktikannya langsung pada 2017. Terpana dengan segala kemiripannya, dia memotret setiap sudut kota dan menyusunnya menjadi sebuah buku fotografi berjudul Paris, China. Bukunya lalu diterbitkan oleh Hoxton Mini Press. Dalam bukunya, sang fotografer membandingkan arsitektur kedua kota yang identik meski beda benua.
“Rasanya ganjil melihat Menara Eiffel di sana, apalagi saya masih lelah dan jetlag setelah perjalanan panjang,” kenangnya. “Saya menghabiskan kurang lebih seminggu di sana.”
Karya François kental dengan bangunan simetris dan replika kota. Sebelum mengerjakan seri ini, dia menempuh ribuan kilometer melintasi Amerika untuk memfoto setiap papan plang klub malam yang ditemuinya.
Sebelum menyambangi Tianducheng, dia membandingkan foto-foto dari internet dengan Paris sungguhan. “Saya memotret [Paris] sebanyak mungkin sebelum pergi, lalu menghabiskan empat hari penuh [di Tianducheng] buat foto-foto. Tak ada yang bisa berbahasa Inggris. Interpreter juga tidak banyak jumlahnya.”
Sepulangnya ke Paris, dia mencari referensi sungguhan arsitektur Tianducheng selama dua bulan. François memiliki indeks visual setebal 50 halaman untuk mempelajari kemiripannya. Hasil akhirnya bisa kalian lihat sendiri dalam bukunya.
Sekarang dia sibuk mengumpulkan foto replika Menara Eiffel di seluruh dunia. Ada yang berdiri di tengah bundaran kota, ada pula yang berbentuk miniatur. Tiruan Menara Eiffel di Tianducheng tetap menjadi juaranya, yang tingginya hampir setengah versi aslinya. Kota ini mungkin hasil jiplakan, tapi orang-orang yang tinggal di sana meniupkan kehidupan baru bagi arsitektur Paris. “Mereka membentuk lingkungannya sendiri,” tutup François.
Paris, China karya François Prost diterbitkan oleh Hoxton Mini Press