Diskriminasi

TNI AL Kembali Ancam Keluarkan Tentara LGBTQ, Padahal Tak Dilarang Hukum

TNI terus melancarkan ancaman persekusi terhadap tentara LGBT. Kali ini menggunakan KUHP Militer pasal kepatuhan pada perintah.
​Personel TNI AL saat latihan bersama Angkatan Udara di Jakarta pada 21 April 2008.
Personel TNI AL saat latihan bersama Angkatan Udara di Jakarta pada 21 April 2008. Foto ilustrasi oleh BAY ISMOYO / AFP 

TNI masih gigih mempersekusi kelompok LGBTQ+ di kalangan anggotanya meski hukum positif Indonesia tidak melarang orientasi seksual ini. Kampanye tersebut kembali diutarakan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono di acara pembekalan 101 Taruna dan Taruni Akademi Angkatan Laut Angkatan ke-66 di Indoor Sport Kesatrian Akademi AL, Surabaya, Rabu kemarin (23/6). Di hadapan para prajurit, Yudo menegaskan TNI AL tak segan memecat tentara LGBTQ+ dari kedinasan.

Iklan

“Pelanggaran moral LGBT dan mental kejuangan yang tidak sesuai ideologi negara, Sapta Marga, Sumpah Prajurit, 8 Wajib TNI, Trisila TNI Angkatan Laut, dan Hree Dharma Shanty, ancamannya adalah pemecatan dari kedinasan,” kata Yudo, dikutip Kompas. “Adanya gerakan kaum LGBT sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama dan ideologi negara. Hal ini merupakan ancaman moral yang belakangan harus dihadapi.”

Kami pun penasaran mengecek isi Sapta Marga dan kawan-kawannya yang disebutkan Yudo. Tak satu pun melarang prajurit memiliki orientasi seksual tertentu. Tapi memang sih, semboyan-semboyan juga berisi kata-kata indah yang punya tafsir luas. Misalnya semboyan “Hree Dharma Shanty” yang berarti ‘Malu Berbuat Cela’. Kata cela ini, kan, bisa diartikan macam-macam oleh institusi.

Pernyataan Yudo kembali membuka ingatan dari Oktober 2020, saat Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung (MA) Mayjen Burhan Dahlan secara terang-terangan meminta para hakim militer se-Indonesia membantu menumpas anggota LGBTQ+ di tubuh TNI. Kegeramannya muncul usai pemimpin TNI AD protes kepadanya karena ada 20 kasus prajurit gay dibebaskan pengadilan militer. 

Iklan

“Ada 20 berkas, ada yang dari Makassar, Bali, Medan, Jakarta. Makassar banyak, Bali ada, Medan banyak, Jakarta banyak sekali, dan diputus bebas oleh pengadilan militer. Ini sumber kemarahan Bapak Pimpinan AD [yang bilang], ‘Saya limpahkan ke pengadilan militer supaya [prajurit LGBTQ+] dipecat, dihukum, supaya yang lain tidak ikut, malah dibebaskan. Apa semuanya mau jadi LGBT tentara AD, Pak Burhan?’,” ujar Burhan saat “menegur” para hakim militer.

Bebasnya ke-20 kasus tentara homoseksual itu berdasar, karena pasal yang dikenakan kepada mereka salah, yakni menggunakan KUHP Pasal 292 tentang perbuatan cabul dari laki-laki dewasa kepada anak laki-laki. Sadar bahwa hukum positif Indonesia tak mengkriminalisasi hubungan sesama jenis antara orang dewasa yang suka sama suka, Burhan memberi tips agar para hakim memakai KUHP Militer Pasal 103 yang melarang prajurit membangkang perintah dinas.

Imbauan homofobik ini langsung dilaksanakan. Dua hari setelah teguran Burhan, Pengadilan Militer II-10 Semarang memecat dan memenjara seorang prajurit menggunakan pasal KUHP Militer tersebut. Sepanjang 2020, Mahkamah Agung mencatat setidaknya 15 anggota TNI dipecat dan dipenjara karena “berperilaku homoseksual”.

Iklan

Keputusan homofobik lain menyusul. Dalam waktu berdekatan, Kepala Bidang Penerangan Umum Puspen TNI Kolonel Sus Aidil menyatakan TNI sudah memecat prajuritnya yang gay dan menegaskan tak akan merekrut calon prajurit dari kalangan LGBTQ+.

“TNI tidak akan merekrut calon yang terlibat LGBT. Melalui seleksi yang ada maka akan diketahui mereka terkait atau terlibat LGBT. Kalau terbukti LGBT tentu mereka tidak lulus seleksi dan tidak akan diterima,” jelas Aidil kepada Detik, 30 Oktober tahun lalu.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu mengatakan, KUHP Militer Pasal 103 telah menjadi biang keladi persekusi terhadap kelompok LGBTQ+ di tubuh TNI.

“MA itu bilang bahwa menjadi LGBT itu melanggar perintah dinas karena ada Telegram Panglima TNI tahun 2009 yang intinya mengatur tentang kesusilaan, salah satunya larangan homoseksual dan lesbian. Putusan kamar pidana militer ini bahaya karena yang dimaksud ‘perintah dinas’ jadi terserah tafsir pimpinan,” ujar Erasmus kepada VICE. “Apakah Pasal 103 itu pasal karet? Bukan, karena sifat kemiliteran itu hierarkis, komando. Yang menjadikannya pasal karet karena ditafsirkan bahwa semua perintah atasan dianggap perintah dinas.”

“Bagi kami itu jelas diskriminasi dan pelanggaran hak. Baik privasi dan hak atas kerja. Kenapa homoseksual enggak bisa jadi militer? Padahal mereka diambil sumpah untuk melindungi negara dan enggak ada urusannya sama orientasi seksual,” tutup Erasmus.