FYI.

This story is over 5 years old.

Cegah Bullying

Jadi Korban Bullying Sewaktu Kecil Memengaruhi Kepribadian Seseorang Selamanya

Dirundung memang bisa mengganggu mental kita, tetapi ada juga keuntungannya kalau kita bisa menanganinya dengan positif.
Andrew Neel/Unsplash

Katakanlah kamu punya saudara kembar identik dan selalu satu sekolah. Sialnya, nasibmu tidak seberuntung kembaran. Kamu jadi sasaran perundungan, dan saudaramu tidak. Dua tahun kemudian, kehidupanmu jauh berbeda dari kembaran. Skenario ini berdasarkan penelitian dari JAMA Psychiatry.

Dari 11.000 sampel anak kembar, mereka yang dirundung saat masih 11 tahun kemungkinan akan mengalami berbagai masalah ketika beranjak 13 tahun jika dibandingkan dengan kembarannya yang tidak menjadi korban. Mereka cenderung mudah cemas, mengalami depresi, parnoan, dan menunjukkan tanda-tanda awal gangguan mental seperti skizofrenia. Meskipun efeknya akan berkurang seiring berjalannya waktu, peneliti menemukan beberapa anak yang masih trauma ketika memeriksa keadaannya saat sudah 16 tahun.

Iklan

Hasilnya tidak mengejutkan bagi mereka yang pernah menjadi korban, menurut pakar kesehatan mental yang mendalami dan menangani dampak perisakan. “Dampaknya bisa sangat parah dan sulit dihilangkan. Kami sudah lama mengetahuinya,” kata Mark Reinecke, kepala jurusan psikologi di Northwestern University Feinberg School of Medicine di Chicago. “Hasil penelitian ini membuktikan kebenarannya.”

Penelitian terdahulu telah mengamati bagaimana perundungan bisa merusak hidup seseorang ketika mereka dewasa. Dalam penelitian yang diterbitkan dua tahun lalu, mahasiswa yang dirundung selama masa kanak-kanak memiliki tingkat depresi, kecemasan dan PTSD yang lebih tinggi. Penelitian yang diterbitkan pada 2015 dalam BMJ memiliki temuan serupa yang menunjukkan bahwa 30 persen orang dewasa yang mengalami depresi pernah menjadi korban perisakan ketika remaja.

Beberapa peneliti bahkan mengungkapkan bahwa korban bully memiliki hubungan yang bermasalah, dan kesehatan fisik yang buruk. Selain itu, mereka juga kesulitan mempertahankan pekerjaan dan mencukupi kehidupan sehari-hari ketika mereka sudah 20 tahun ke atas. Sebagaimana dijelaskan perawat psikiatri forensik dan kriminolog Mary Muscari dari Binghamton University, pelaku juga menunjukkan gangguan mental dan fisik, dan lebih berisiko terlibat dalam tindak kriminal di kemudian hari.

Korban seringkali berakhir menjadi perundung, dan merasakan dampak yang dua kali lipat lebih parah. Penelitian lain dari JAMA Psychiatry menemukan bahwa 31 persen orang yang menjadi perundung dan korban perundungan pada usia 8 menerima diagnosis gangguan mental pada usia 29, jika dibandingkan dengan 23 persen korban dan 11 persen orang yang tidak pernah mengalaminya.

Iklan

Dalam buku Bullying Scars: The Impact on Adult Life and Relationships yang diterbitkan pada 2016, peneliti Ellen deLara dari Syracuse University mewawancarai 800 orang dewasa soal perundungan dan menciptakan istilah “adult post-bullying syndrome” untuk menggambarkan dampaknya.


Tonton dokumenter VICE mengenai tim patroli di Korsel yang berusaha menolong orang agar tidak bunuh diri:


Ilmuwan masih mencoba memahami mekanisme terjadinya dampak perundungan. Apabila kamu berulang kali mengalami perundungan, reaksi tubuh akan berubah saat menanggapi stres. Reinecke mengutarakan bahwa ini bisa meningkatkan hormon stres seperti kortisol. Penelitian dari Duke University dan King’s College London menemukan bahwa segala jenis perundungan dan kekerasan bisa mengubah DNA seseorang, yaitu dengan memperpendek telomer yang berkaitan dengan penuaan.

“Perundungan atau peristiwa menegangkan lainnya dapat memengaruhi perkembangan otak, fungsi kognitif, keyakinan, perilaku dan strategi coping anak,” kata Reinecke. Pandangannya terhadap dunia akan berubah, meskipun sudah pindah sekolah atau tidak lagi bertemu dengan sang perundung.

Peneliti Johanna Jarcho dari Stony Brook University melakukan penelitian yang melibatkan pemeriksaan otak. Ketika dia memindai otak anak 11 tahun yang pemalu (sering jadi sasaran perundungan) dengan fMRI seraya mengalami model virtual perundungan—menirukan aksi merisak dalam tabung fMRI—dia menemukan bahwa otak mereka punya reaksi berbeda terhadap tanggapan positif yang tak terduga.

Iklan

Mereka secara khusus melihat reaksi yang berbeda dalam amigdala anak pemalu. Amigdala adalah bagian otak yang memproses reaksi terhadap ancaman dan pujian. Semakin besar perbedaannya, semakin besar juga risiko anak mengalami kecemasan sosial.

“Anak-anak korban perundungan tidak mudah percaya dengan sikap positif yang mereka dapat,” katanya. Itu artinya, perundungan bisa mengacaukan sinyal yang dikirim otak dalam menanggapi interaksi sosial. Korban perundungan langsung berpikir macam-macam ketika ada orang yang tulus ingin berteman dengannya.

Penelitiannya juga menyoroti dampak buruk perundungan dalam jangka panjang. “Ada alasan tertentu kenapa anak-anak dan remaja mengalami perundungan,” kata Reinecke. Pelaku biasanya suka menindas temannya yang berbeda dari orang lain. Perbedaan itu juga bisa memengaruhi kehidupan mereka saat dewasa. Sebagaimana disoroti dalam penelitian Jarcho, gabungan kedua faktor ini bisa berdampak buruk pada fungsi dan kesehatan mental.

Walaupun begitu, penelitian dari JAMA Psychiatry meyakinkan bahwa dampak buruknya akan hilang setelah lima tahun. “Kami optimis melihat hasilnya. Itu artinya anak korban perundungan bisa hidup seperti semula seiring berjalannya waktu,” kata Taeba Schoeler, penulis dan peneliti dari University College London. Pendekatan penanganan korban perundungan di masa mendatang bisa dilakukan dengan meningkatkan ketahanan mental korban untuk menghindari perundungan lainnya.

Iklan

Jarcho sependapat dengan gagasan ini. “Pada dasarnya, perundungan bisa berdampak buruk bagi jiwa korban. Ini memang benar adanya, tapi kenyataannya jauh lebih beragam,” katanya. Penelitian-penelitian yang sudah ada berharap bisa menyoroti perbedaan tersebut untuk memahami cara melindungi korban dan sasaran perundungan, serta meningkatkan kemampuan bertahan mereka.

Menurut Reinecke, yang bisa mereka lakukan saat ini yaitu meminta dukungan dari teman baik, berolahraga, bergabung dengan support group, atau mencoba strategi coping yang lain untuk mengurangi dampak buruknya dalam jangka pendek dan panjang.

Dalam Bullying Scars, deLara menuliskan bahwa hampir separuh dari respondennya mengatakan kalau mereka menjadikan pengalaman dirundung sebagai motivasi untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik dan mencapai cita-citanya. Mereka juga belajar untuk lebih percaya diri dan berani menghadapi segala rintangan yang mereka alami.

Apabila dampak positifnya bisa digabungkan dengan perubahan sistem sekolah, Jarcho yakin kalau kita mampu memerangi perundungan dan memberikan hidup yang lebih indah dan positif bagi generasi mendatang.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic