FYI.

This story is over 5 years old.

kultur medsos

Budaya Memotret Segala Hal Pakai Ponsel Membuat Daya Ingat Manusia Makin Tak Relevan

Pasalnya, daripada repot-repot mengingat apa saja yang kita kerjakan selama liburan, kita malah lebih sering melongok foto yang kita pacak di Facebook. Konsekuensi kebiasaan ini enggak enteng loh sob.
mengambil foto donat
Callie Morgan/Unsplash

Baru-baru ini saya mengunjungi Hermitage di St. Petersburg, Rusia—salah satu museum seni terbaik di kolong jagat. Sebelum sampai ke sana, saya membayangkan bisa menikmati karya seni dalam hening. Sayangnya, harapan cuma tinggal harapan. Kekhusyukan yang saya dambakan lenyap, diberangus puluhan ponsel pintar yang tak berhenti mengambil foto-foto lukisan legendaris yang tergantung di dinding museum. Celakanya, di tiap ruang kosong yang saya temukan, saya menjumpai orang yang tengah mengambil selfie sebagai kenang-kenangan kunjungan mereka ke Hermitage.

Iklan

Bagi banyak orang, mengambil segepok foto adalah bagian penting yang tak terpisahkan dari liburan. Kecenderungan ini dibarengi semacam kewajiban memajang foto-foto itu di media sosial. Tentu saja, pergeseran cara kita memaknai kegiatan wajib saat berlibur ini pasti punya efek. Pertanyaannya, seperti apa efeknya dan sebesar apa pengaruhnya pada cara kita memandang diri sendiri?

Sebagai pakar ingatan manusia, pertanyaan-pertanyaan di atas jelas bikin saya penasaran.

Sampai artikel ini ditulis, riset psikologi terkait hal ini masih sangat jarang ditemui. Tapi kami—para psikolog—tahu beberapa hal mendasar tentang tren baru ini. Kita umumnya memanfaatkan ponsel pintar dan teknologi baru sebagai penyimpan kenangan. Ini bukan kebiasaan baru sama sekali. Dari dulu kala, manusia selalu menggunakan alat bantu eksternal untuk memeroleh/memelajari pengetahuan baru dan mengingatnya,

Contoh paling gamblang adalah menulis. Catatan sejarah adalah kumpulan memori eksternal kolektif. Rekam jejak mengenai migrasi, keputusan mendiami suatu wilayah atau peperangan membantu manusia menyusuri garis keturunan sampai ke nenek moyangnya terdahulu. Lewat catatan yang sama, manusia memetakan masa lalu dan asal muasal identitas mereka. Dalam kehidupan individu modern, fungsi ini dipenuhi oleh kehadiran buku harian.

Belakangan, kita tak begitu memanfaatkan kemampuan kita untuk mengingat. Ihwal ingat mengingat ini sudah perlahan-lahan kita oper tanggung jawabnya pada komputasi awan (cloud computing). Imbasnya, selain kita menyaksikan punahnya kebiasaan yang dibangun dengan memori manusia—resital puisi salah satunya, kita makin terbiasa menaruh kepercayaan pada gawai untuk merekam apapun, termasuk kejadian paling personal dalam hidup kita sekalipun. Jadi, daripada repot-repot mengingat apa yang kita santap dalam pesta pernikahan yang kita datangi minggu lalu, kita lebih memilih melihat satu persatu gambar makanan yang kita pacak di medsos.

Iklan

Perubahan kebiasaan ini punya konsekuensi yang tak bisa dianggap enteng. Kemampuan mengingat kita menurun drastis akibat lebih sering mengambil selfie daripada menikmati setiap detik liburan kita. Alasannya? Pikiran kita teralihkan selama liburan.

Mengandalkan foto demi mengingat sesuatu mempunyai efek serupa. Ingatan perlu dilatih secara terus menerus agar dapat berfungsi dengan baik. Berbagai penelitian mendokumentasi pentingnya latihan pemulihan ingatan– misalnya dengan mahasiswa. Ingatan adalah dan akan selalu menjadi bagian penting dari pembelajaran. Ada bukti yang menunjukkan bahwa menaruh semua kenangan dan pengetahuan kita di ponsel mungkin bisa menghalangi kemampuan kita untuk mengingat.

Tapi masih ada harapan, kok. Meski beberapa penelitian mengklaim bahwa ini semua membuat kita lebih bodoh, sebenarnya apa yang terjadi adalah pengalihan bakat dari kemampuan mengingat ke kemampuan untuk mengatur secara lebih efisien cara kita mengingat. Ini namanya metakognisi, yang merupakan bakat yang juga penting bagi mahasiswa–misalnya saat merencanakan apa dan bagaimana mereka akan belajar. Ada pula bukti kuat bahwa daya ingatan eksternal, termasuk selfie, dapat membantu orang yang punya masalah ingatan.

Meski foto memang terkadang bisa membantu ingatan orang, kualitas ingatan tersebut mungkin terbatas. Mungkin kita akan mengingat penampilan suatu objek dengan jelas, tapi mungkin ini mengorbankan pengetahuan lain. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa meskipun foto dapat membantu orang mengingat apa yang mereka lihat di sebuah acara, ingatan mereka mengenai apa yang mereka bicarakan di acara itu berkurang.

Iklan

Ada berbagai risiko berat mengenai ingatan personal. Identitas kita merupakan produk dari pengalaman hidup kita, yang dapat diakses dengan mudah melalui kenangan masa lalu kita. Lantas, apakah dokumentasi fotografik konstan dari pengalaman hidup kita mempengaruhi cara kita melihat diri kita? Belum ada bukti empiris mengenai hal ini, tapi menurutku pengaruhnya tentu ada.

Terlalu banyak foto kemungkinan akan membuat kita mengingat masa lalu secara sesuatu yang tetap–sekaligus memblokir kenangan lain. Kenangan masa kecil kita memang sering berdasarkan foto dan bukan kejadian nyata, tetapi kenangan-kenangan macam itu tidak selalu akurat.

Isu lainnya adalah fakta bahwa penelitian telah mengungkapkan kurangnya spontanitas dalam selfie dan foto-foto lain. Selfie itu direncanakan, pose-nya tidak alami, dan terkadang imej orang yang mengambil selfie menjadi terdistorsi. Selfie juga mencerminkan kecenderungan narsis yang membentuk wajah dengan tiruan yang tidak alami–senyuman besar, mencibir menggoda, menyeringai, atau melakukan kial menghina.

Pentingnya, selfie dan foto-foto lain merupakan tampilan publik dari sikap, tujuan, dan pendapat tertentu. Artinya, foto-foto itu tidak mewakili kita apa adanya, melainkan apa yang kita ingin perlihatkan kepada orang lain tentang diri kita pada saat itu. Jika kita terlalu banyak mengandalkan foto ketika mengingat masa lalu, ada kemungkinan kita akan menciptakan identitas diri terdistorsi berdasarkan foto yang kita lihat, yang kita ingin pamerkan ke orang lain.

Iklan

Meskipun begitu, ingatan alami kita sebenarnya tidak sepenuhnya akurat. Menurut penelitian, kita seringkali membuat kenangan palsu tentang masa lalu. Kita melakukan ini demi mempertahankan identitas yang kita ingin punya seiring waktu–dan menghindari narasi-narasi yang saling bertentangan mengenai diri kita. Jadi jika kamu dari dulu orangnya lembut dan baik hati–tapi karena sebuah pengalaman hidup signifikan, kamu memutuskan bahwa kamu ingin jadi orang yang tangguh–mungkin kamu akan menggali kenangan yang membuktikan bahwa kamu memang tangguh, atau bahkan menciptakan kenangan baru.

Mempunyai kenangan harian di ponsel mengenai diri kita di masa lalu membuat ingatan kita terlalu kaku dan sulit beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di hidup–yang akan membuat identitas kita lebih stabil dan tetap.

Tapi ini bisa menimbulkan masalah jika identitas kita sekarang ini menjadi berbeda dengan identitas tetap kita, atau identitas dari masa lalu. Pengalaman ini tidak nyaman dan sebetulnya inilah yang dihindari “memori normal”–ingatan kita harus bisa dibentuk agar kita mampu memiliki narasi diri yang tidak kontradiktif. Kita ingin merasa bahwa kita punya “inti jati diri” yang tidak pernah berubah. Kalau kita tidak bisa mengubah cara kita melihat diri kita seiring waktu, ini dapat mempengaruhi rasa kendali dan kesehatan mental secara negatif.

Jadi, obsesi kita mengambil foto mungkin menimbulkan hilangnya memori dan ketidaksesuaian identitas yang tentunya membawa rasa tidak nyaman.

Iklan

Lumayan menarik bagaimana teknologi mengubah cara kita bertingkah dan berfungsi. Selama kita sadar akan risikonya, kemungkinan kita bisa membatasi efek-efek berbahayanya. Sejujurnya, yang benar-benar membuatku merinding adalah kemungkinan kita akan kehilangan semua foto-foto tersayang di ponsel akibat malfungsi massal.

Jadi, lain kali kalau kamu pergi ke museum, berhenti sejenak untuk menikmati pengalaman itu sepenuh-penuhnya. Siapa tahu, nanti foto-fotonya hilang.


Giuliana Mazzoni adalah profesor psikologi di Universitas Hull di Florence, Italia, di mana dia meneliti ingatan manusia. Artikel ini ditayang ulang dari The Conversation dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini .

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.