Budaya

Berkenalan dengan Para Muslimah yang Melawan Rasisme Lewat TikTok

Mereka terdorong membuat video satir yang menceritakan pengalaman berhadapan dengan Islamofobia.
AN
Diterjemahkan oleh Annisa Nurul Aziza
Jakarta, ID
muslim tiktok

“Aku kira enggak akan ada yang memedulikanku.” Sebelum viral, Aaliyah Aaden meremehkan TikTok. Perempuan 20 tahun tersebut sama sekali enggak tertarik dengan platform ini karena isinya cuma joget-joget dan lipsync enggak jelas.

“Aku dulu benci TikTok,” tegasnya. “Videonya cringe abis.” Seperti yang kita ketahui dewasa ini, TikTok sudah jauh berubah. Isinya tak lagi sebatas video garing. Buktinya dalam setahun terakhir, konten TikTok bertransformasi menjadi lebih matang.

Iklan

Ada yang menggunakan aplikasi untuk menceritakan proses come out mereka, ada pula yang memanfaatkannya untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu penting—seperti penahanan massal Muslim Uighur di Tiongkok. Sementara itu, pengguna lainnya mengorganisir aksi mogok sebagai bentuk solidaritas dengan staf pengajar yang mendapat upah rendah, mengecam aksi penembakan di sekolah, dan menyindir para politikus munafik.

Meski kedengarannya terlalu serius, konten semacam itu selalu dibumbui humor. Aaliyah (@aaliyahthe1st) enggak melupakan hal ini saat dia pertama kali bikin video TikTok. “Aku sadar mayoritas video TikTok cukup lucu,” katanya. Dia mengaku terkejut ketika mengetahui demografi penggunanya. “Aku melihat banyak sekali perempuan berhijab di sana. Mereka sama sepertiku.”

Aaliyah viral tak lama setelah dia menggambarkan pengalamannya sebagai orang Islam di video. “Aku tinggal di daerah yang penduduk Muslimnya enggak seberapa,” terangnya. “Kotanya sangat kecil dan semua orang kenal satu sama lain. Mereka keheranan saat [keluargaku] pindah ke sana.” Dia pertama kali viral berkat video kejadian nyata yang sudah dilebih-lebihkan. “Satu waktu, para penumpang bus enggak berhenti melihat ke arahku saat merapikan jilbab,” ungkapnya. “Mereka kayaknya takut denganku.”

Di satu sisi, TikTok menciptakan ruang edukasi bagi para anak muda yang sebelumnya enggak tahu apa-apa. Di sisi lain, aplikasi ini menjadi tempat berkeluh kesah bagi mereka yang tak berdaya. Sebagaimana diutarakan Rebecca Jennings dalam rubrik The Goods Vox, TikTok memudahkan mereka yang ingin menyampaikan pesan politik tapi enggak memiliki platform atau audiens yang mapan untuk menyebarkannya ke banyak orang dalam waktu singkat.

Iklan

“[TikTok] menggabungkan keunggulan Twitter (format video singkat dengan durasi maksimal 60 detik) dan YouTube (bisa ditonton oleh siapapun), lalu menambahkan kemampuan menjadi viral tanpa memiliki pengikut, sama sekali” tulis Rebecca. Kombo hebat ini menciptakan keintiman dengan penonton dalam waktu cepat. Ini jelas cara yang efektif untuk menyampaikan pentingnya menghormati sesama, bahkan jika kontennya dilapisi sarkasme.

Areess (@rere.lahx), 16, tergerak membahas Islamofobia di tempat tinggalnya setelah mengalaminya dalam pertandingan Taekwondo. “Anggota tim Jerman bilang aku enggak akan menang,” tuturnya muram, “‘Kamu enggak pantas di sini’ dan ‘Agamamu enggak mengajarkan ini’. Salah satu dari mereka bahkan mengejek, ‘Kamu cocoknya di dapur.’”

Areess membuat video TikTok untuk memerangi persepsi negatif mengenai Islam. “Aku ingin menunjukkan orang Muslim sama positifnya seperti mereka. Kami juga suka bersenang-senang dan bercanda, kok.”

Akan tetapi, menjadi viral enggak selamanya bagus. “Ada saja troll yang berkomentar, ‘Balik ke negaramu sana’ dan sebagainya. Seorang pengguna bahkan memanggilku Shamima Begum,” ujar Aaliyah. “Aku enggak kaget membacanya. Akan selalu ada orang yang membencimu, dan menyerang dari apa yang mereka lihat. Aku enggak peduli. Masih banyak yang meninggalkan komentar positif. Mereka bilang videonya lucu, suka dengan cara berpikirku, dan memuji aku cantik.”

Bukannya menanggapi komentar jahat, Areess justru menjawab pertanyaan-pertanyaan polos di DM-nya. Dia mengajarkan pengikut non-Muslim tentang agamanya. “Ada orang-orang yang ignoran, tapi sebenarnya mereka penasaran. Seorang perempuan mengirimiku pesan untuk bertanya, ‘Islam itu apa sih?’ dan ‘Kenapa kamu salat di pojok ruangan?’ Dia benar-benar tertarik ingin tahu.”

Dari sini, sudah jelas bahwa TikTok telah berevolusi menjadi alat politik yang benar-benar di luar prediksi kita. Tentu memprihatinkan jika kekuatannya berpotensi diambil alih mereka-mereka yang butuh meme, terutama dengan kenyataan bahwa TikTok secara aktif membatasi jangkauan konten pengguna difabel, queer dan orang gemuk. Tapi untuk saat ini, di sudut kecil internet ini, Islamofobia bisa disingkirkan.

Artikel ini pertama kali tayang di i-D