Diskriminasi

Sopir Taksi di Tiongkok Dipaksa Hapus Tato Jika Masih Ingin Bekerja

Kebijakan Pemkot Lanzhou melarang sopir bertato itu memicu kecaman masyarakat. Tato dianggap tak ada kaitannya sama keterampilan mengemudi.
Sopir Taksi di Kota Lanzhou Tiongkok Dipaksa Hapus Tato Jika Masih Ingin Bekerja
Orang dengan tubuh penuh tato dalam pameran seni di Kota Shanghai, Tiongkok. Foto oleh Johannes Eisele / AFP 

Satu dekade terakhir, persepsi publik terhadap orang bertato makin membaik, dan mereka yang memiliki rajah di tubuh bisa bekerja di berbagai sektor tanpa terkena stigma. Namun, berkebalikan dengan tren tersebut, di Tiongkok, satu kota menerbitkan aturan diskriminatif agar tidak ada lagi pengemudi taksi yang memiliki tato di tubuhnya. Alasannya, untuk melindungi perempuan dan anak-anak.

Kebijakan ini diumumkan sejak akhir Agustus 2020 oleh pemerintah kota Lanzhou. Pemkot beralasan mendapat laporan dari beberapa penumpang taksi yang ketakutan saat melihat pengemudinya bertato.

Iklan

“Apalagi bila si pengemudi tatonya banyak, hal itu dapat menakutkan penumpang perempuan dan anak-anak,” seperti dikutip dari salinan resmi aturan Pemkot Lanzhou. “Sopir yang masih ingin memiliki izin mengemudi taksi wajib menghapus semua tato dari tubuhnya tanpa terkecuali.”

Kebijakan kontroversial itu panen kecaman di Internet. Banyak netizen Tiongkok yang menganggap alasan Pemko Lanzhou mengada-ada, serta penuh prasangka terhadap orang bertato.

Seniman tato terkemuka Tiongkok, Swan Chan, turut mengkritik kebijakan pemkot tersebut.

“Kebijakan yang ngawur ini membuat Tiongkok seakan mundur sekian abad dibanding negara lain,” kata Chan kepada VICE News. “Tato itu hal yang biasa, ekspresi seni pribadi. Daripada mengurusi pengemudi bertato, kenapa pemerintah tidak fokus saja memberantas korupsi?”

Beberapa pengemudi taksi di Lanzhou, baik yang bertato maupun tidak, turut mengecam beleid pemkot.

“Bagi saya, kebijakan ini sangat diskriminatif. Tato bukanlah tanda seseorang terlibat organisasi kriminal,” kata salah satu pengemudi kepada The New York Times. Selain itu, pemkot membebankan biaya menghapus tato pada pengemudi, padahal ongkosnya tidak murah.

“Saya bingung mengapa ada kewajiban hapus tato, kalau harapannya penumpang tidak melihat tato tersebut.”

Masyarakat Tiongkok, seperti negara Asia Timur lain macam Jepang dan Korea Selatan, punya persepsi negatif terhadap tato. Pasalnya, orang bertato pada dekade 70’an lekat dengan organisasi kriminal, seperti Triad dan Yakuza.

Di Weibo, situs mikroblogging mirip Twitter khusus Tiongkok, netizen menuntut pemkot Lanzhou membatalkan kebijakan diskriminatif tersebut. “Jika benar ada penumpang yang takut melihat pengemudi bertato, maka dia bisa turun dan naik angkutan umum lain. Tidak adil bila pengemudi yang bekerja jujur dan profesional kena masalah hanya karena tatonya,” tulis salah satu netizen.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News