Pelanggaran HAM

Bikin Tim Selidiki Tewasnya 6 Warga Papua, Pemerintah Sengaja Tak Libatkan Komnas HAM

Menurut Mahfud MD, tujuannya demi menjaga independensi Komnas HAM. TGPF insiden Intan Jaya melibatkan TNI vs TNPB itu berisi polisi, intel, akademisi, hingga rohaniwan.
Menkopolhukam Mahfud MD bentuk TGPF Kasus Intan Jaya Tak Libatkan Komnas HAM
Star rumah sakit Intan Jaya memeriksa jenazah warga sipil yang tewas tertembak di jalan. Foto oleh Sevianto Pakiding/AFP

Serangkaian pembunuhan di Kabupaten Intan Jaya, Papua, dua minggu lalu, mulai direspons pemerintah. Sebuah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) baru saja dibentuk demi mencari titik terang. Ketegangan TNI versus Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di Distrik Hitadipa itu menewaskan 6 warga sipil. Termasuk Pendeta Yeremia Zanambani yang kronologi kematiannya menuai kontroversi karena ada dua versi cerita.

Iklan

Tim ini berada di bawah pengawasan Menko Polhukam Mahfud MD, pejabat yang belakangan tersandung kritikan aktivis demokrasi. Dia menyebut surat berisi daftar tahanan politik Papua susunan pengacara HAM Veronica Koman sebagai sampah. Mahfud juga tercatat pernah membuat pernyataan menyesatkan soal penangkapan sepihak tokoh adat Effendi Buhing.

Dalam konferensi pers, Mahfud mengatakan TGPF dibagi jadi dua kelompok: tim pengarah dan tim investigasi lapangan, dengan total 30 anggota. Tim pengarah diketuai oleh Sekretaris Kemenko Polhukam Tri Soewandono. Anggotanya diisi tujuh orang dari Kemenkopolhukam, satu dari Kantor Staf Presiden, satu dari BIN, dan mantan Wali Kota Jayapura Michael Manufandu.

Komposisi tim investigasi lapangan lebih beragam. Sebagai Ketua Harian adalah komisioner Kompolnas Inspektur Jenderal Benny Mamoto. Anggotanya terdiri dari dua staf Kemenko Polhukam, serta beberapa perwakilan tokoh Papua seperti Constant Karma, Thoha Abdul Hamid, Samuel Tabuni, dan Victor Abraham Abaidata.

Kalangan akademisi diwakili oleh Rektor Universitas Cenderawasih Apolo Safanpo, Ketua Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kemah Injil Indonesia Henokh Bagau, Dosen Universitas Udayana I Dewa Gede Palguna, dan Dosen Universitas Gadjah Mada Bambang Purwoko.

Lembaga negara diwakili Kepala Divisi Hukum Mabes Polri Rudy Heriyanto, Anggota BIN Asep Subarkah, dan Komandan Pusat Polisi Militer TNI Eddy Rate Muis. Praktisi hukum diwakili oleh Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejagung Arif. Komposisi dilengkapi oleh keterlibatan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Edwin Partogi Pasaribu.

Iklan

Komnas HAM yang sama sekali tak dilibatkan dalam TGPF ini menjadi sorotan tersendiri. Begitu kabar kekerasan di Intan Jaya mencuat, Komnas HAM langsung mengirim surat kepada Kemenko Polhukam untuk membentuk TGPF.

Dalam desakannya, Komnas HAM meminta pemerintah mengadakan investigasi yang transparan dan menyeluruh demi membongkar dalang di balik kerusuhan. Dilansir Tempo, Komnas HAM sudah mengirim empat penyelidik independennya ke Intan Jaya untuk mengusut penembakan Pendeta Yeremia.

Mengenai tidak terlibatnya Komnas HAM, Mahfud menjelaskan Komnas HAM sudah sempat diajak, namun kemudian diputuskan batal demi menjaga independensi komisi tersebut. Ia lalu mempersilakan Komnas HAM mengadakan penyelidikan sendiri.

“Dia [Komnas HAM] punya wewenang [berdasarkan] undang-undang [untuk melakukan penyelidikan sendiri]. Kalau semuanya berniat baik, maka kesimpulannya akan sama. Di sini [TGPF] sudah banyak tokoh masyarakat, akademisi, [dan] pengamat Papua yang diberi tempat di tim,” ujar Mahfud, dilansir Tirto. Belum jelas, bagaimana respons pemerintah bila nanti kesimpulan Komnas HAM dan TGPF beda.

Sampai saat ini belum ada pihak yang menyatakan bertanggung jawab atas pembunuhan Pendeta Yeremia. TNI menuding TPNPB sebagai pelakunya, dengan dugaan motif mencari perhatian dunia internasional menjelang sidang umum PBB. Sementara kesaksian warga Intan Jaya menyebut Yeremia dibunuh anggota TNI yang sedang mencari kombatan TPNPB di Hitadipa.

Iklan

Peneliti Amnesty International Indonesia (AII) Ari Pramudya mengapresiasi langkah pemerintah membentuk tim independen. Namun, Ari menyorot komposisi masyarakat sipil dalam TGPF Intan Jaya belum terlalu banyak. Perwakilan rekan Papua jumlahnya juga dianggap masih sangat sedikit.

“Kalau kami melihat komposisinya, sebagian besar anggotanya memang masih pihak yang berkepentingan dalam kasus ini, terdiri dari TNI, Polri, dan BIN. Pendapat rekan-rekan Papua yang disampaikan di diskusi publik hari ini (2/10) meragukan, bagaimana bisa terduga pelaku menginvestigasi dirinya sendiri?” ujar Ari kepada VICE.

Ari merujuk data Amnesty sejak 2010 tentang kekerasan aparat di Papua. Dari puluhan kasus, hanya segelintir kasus yang pelakunya sampai dihukum.

“Jangan sampai hasil investigasi tidak memberikan keadilan bagi korban. Saran kami, sebelum dimulai investigasi, harus dilakukan diseminasi informasi dulu yang utuh ke masyarakat Papua [bahwa ada pembentukan TGPF]. Tadi di diskusi publik itu, banyak rekan Papua belum tahu. Lalu, hasil investigasi harus transparan disampaikan kepada publik. Jangan bernasib kayak kasus-kasus di Wamena dan Wasior yang hasilnya tidak diberitahukan,” ujar Ari.

Kekerasan bersenjata di Papua dan Papua Barat turut dibahas dalam sidang umum PBB akhir September 2020. Negara Vanuatu jadi garda terdepan negara penentang pendekatan militeristik Indonesia.

Perwakilan Indonesia kemudian membela diri, meminta Vanuatu enggak ikut campur urusan negara orang. Solidaritas Melanesia itu berbuah bullying online sarat rasisme dari warga Indonesia, di berbagai kanal media sosial promosi wisata Vanuatu.