Politik

Begini Rasanya Terpilih Jadi Wali Kota di Usia 23 Tahun

"Warga cenderung tidak menyadari apa saja yang sudah dikerjakan pemkot, jadi saya cuma bisa bersabar ketika dikritik makan gaji buta," kata Andrea Fiori, wali kota termuda Italia.
Alessandro Pilo
Budapest, HU
Andrea Fiori terpilih jadi wali kota termuda Italia berusia 23 tahun
Andrea Fiori saat berkampanye unu pada 2019. Foto dari arsip pribadi

Andrea Fiori adalah wali kota termuda di Montopoli, Provinsi Sabina, sebuah kota kecil berpenduduk 4.000 jiwa, berjarak 50 kilometer dari Ibu Kota Roma, Italia. Fiori menceritakan segala rintangan dan kesulitan yang dihadapinya selama membenahi satu kota pada usia 23.


Keluarga saya sejak lama aktif di dunia politik. Paman pernah menjabat sebagai wali kota 40 tahun lalu, ketika dia baru berusia 20. Kakek juga bergabung dengan cabang lokal Partai Komunis Italia. Saya sendiri sering mengikuti gerakan pemuda dan organisasi lokal lainnya.

Iklan

Saya awalnya ragu-ragu ketika diminta mencalonkan diri menjadi Wali Kota Montopoli di Sabina. Tanggung jawabnya besar sekali. Akan tetapi, saya merasa berutang budi pada tujuh partisan muda [pejuang kemerdekaan anti-fasis] yang tewas dibunuh Nazi dalam Perang Arcucciola di wilayah ini, jadi saya menerima tawaran partai pengusung. Pemilu yang diadakan pada Mei 2019 resmi memilih saya menjadi wali kota termuda di Italia.

Hari pertama saya menjabat terasa sangat canggung. Saya terjun langsung ke lapangan untuk mempelajari tugas dan peran wali kota. Butuh satu tahun bagi saya untuk mendapat gambaran lengkapnya. Saya masih terlalu polos; terkadang saya mengurus hal-hal yang di luar tanggung jawab. Saya berusaha menjadi lebih pragmatis. Kalian takkan sempat membuat keputusan jika sebagian besar waktumu dihabiskan untuk mendengarkan masukan dan keluhan orang.

Saya juga menurunkan ekspektasi. Berhubung saya memimpin kota kecil, saya harus melayani rakyat seperti halnya di kota besar. Banyak sekali yang perlu ditangani. Hal-hal mendesak seperti banjir, kebakaran atau lockdown wajib diprioritaskan. Ada juga tugas harian seperti memperbaiki jalanan rusak dan membersihkan jalan. Itulah hal pertama yang saya perhatikan ketika mengunjungi kota-kota terdekat. Tanpa perencanaan yang baik, kalian takkan mampu menangani masalah yang lebih rumit. Memprediksi dan menjalankan layanan yang akan dibutuhkan warga juga tidak mudah.

Iklan

Saya berurusan dengan pandemi setelah enam bulan menjabat jadi wali kota. Suatu kehormatan bagi saya untuk membimbing rakyat melewati masa-masa sulit, tapi rasanya susah sekali memenuhi harapan warga. Saya tidak bisa tidur nyenyak di malam hari — khawatir ada warga yang terinfeksi, terjadi kepanikan, atau tidak siap membuat keputusan sulit. [Pada awal-awal lockdown] saya harus mengimbau warga untuk tidak menghadiri pemakaman ketika ada yang meninggal. Sulit rasanya memberi tahu seperti itu ke anggota keluarga.

Saya juga tak luput dari kesalahan, seperti ketika merilis pernyataan yang kemudian saya sesali. Hidupku berubah drastis. Balai kota seakan sudah menjadi rumah saya, dan kesibukan tak pernah ada habisnya. Saya bimbang harus mengungkapkan gaji yang diterima atau tidak. Banyak yang mengira saya digaji 3.000 Euro (Rp50 juta) per bulan, padahal kenyataannya mendekati 1.400 Euro (Rp23 juta).

Saya tidak bermaksud mengeluh, hanya saja saya merasa itu tidak sebanding dengan risiko dan tanggung jawab yang saya hadapi. Wali kota di Italia memiliki banyak tugas hukum dan sipil. Kesehatan masyarakat, perlindungan sipil, keamanan dan pelayanan kesehatan anak hanyalah segelintir contohnya.

Orang cenderung tidak menyadari apa yang terjadi di wilayah mereka sendiri. Di Montopoli, kami sedang menjalankan rencana jangka panjang untuk membayar utang pemerintah kota dan beberapa rekening ditarik berlebihan. Ketika kami berusaha menjelaskan kebenarannya, kami dituduh cuma ngeles.

Kritik terburuk yang pernah diterima adalah saya dikira makan gaji buta. Program-program yang saya jalani katanya tidak membawa perubahan sama sekali. Pemimpin sering dikambinghitamkan atas masalah orang lain, tapi saya sadar saya tidak bisa memuaskan semua orang. Saya perlu berlatih lebih keras untuk tidak memasukkannya ke hati.

Saya merasa sangat beruntung bisa seperti sekarang. Saya dulu bercita-cita menjadi wali kota dan arkeolog. Saya baru lulus kuliah arkeologi, jadi bisa dibilang saya berhasil menggapai keduanya pada usia 23. Hidup saya sudah lengkap sekarang.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Italia