Politik

Survei Sebut Kepuasan Masyarakat Pada Jokowi Terendah Dalam 5 Tahun Terakhir

Responden Indikator Politik yang tak puas pada Jokowi 35,6 persen, salah satu pemicunya UU ITE. Di sisi lain, Jokowi baru saja meminta masyarakat aktif memberi kritik pada pemerintah.
Survei Indikator Politik Februari 2021 Sebut Ketidakpuasan Masyarakat Pada Jokowi Terendah Sejak 2016
Presiden Jokowi dalam lawatan ke Australia. Foto oleh Tracey Nearmy/via AFP

Rasa tidak puas publik terhadap kinerja Presiden Joko Widodo mengalami peningkatan satu tahun terakhir. Menurut hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dipublikasikan pada Senin (8/2), responden yang menganggap kinerja Jokowi kurang atau tidak maksimal sebagai presiden bertambah dari 28 persen sepanjang tahun lalu, menjadi 35,6 persen. 

Iklan

Menurut Direktur Indikator Burhanuddin Muhtadi, penilaian publik terhadap kinerja Jokowi ditentukan oleh apakah mereka merupakan pendukung presiden. 

“Ini berkaitan dengan sikap partisan. Jadi, salah satunya, orang puas [atau] tidak puas ditentukan oleh pilihan [pada] 2019. Pendukung Pak Jokowi cenderung puas dengan kinerja presiden. Pendukung Pak Prabowo cenderung tidak puas, meski Pak Prabowo sudah jadi bagian dari pemerintah,” tuturnya dalam jumpa pers virtual.

Meski sebanyak 62,9 persen menjawab puas dengan apa yang sudah dilakukan oleh Jokowi, tetapi Indikator menggaris bawahi poin bahwa ini merupakan persentase terendah sejak Juni 2016. Saat itu, tingkat kepuasan publik mencapai 67,1 persen. Burhanuddin melihat penurunan ini cukup signifikan mengingat saat survei terakhir dirilis pada September 2020, ada 68,3 persen responden yang mengaku puas.

“Tren ini kalau tidak diantisipasi oleh Presiden itu bisa alarming karena sebagian dari pendukung loyalnya sudah mulai bergeser,” imbuhnya. Kepuasan terhadap Jokowi pernah sangat anjlok pada 2015 lalu, ketika hanya 40,7 persen responden mengaku kinerja presiden baik-baik saja. Burhanuddin melihat waktu itu masyarakat sangat kecewa dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak.

Peningkatan jumlah orang yang mengaku tidak puas, salah satunya dipengaruhi kualitas demokrasi. Survei Indikator menunjukkan mayoritas publik, yaitu 71,9 persen, menganggap sistem tersebut tidak sempurna tapi paling pas untuk Indonesia. Namun, pada kenyataannya hanya 53 persen yang mengaku puas dengan demokrasi di negara ini. 

Iklan

Sebenarnya angka ini lebih baik dibandingkan pada survei Juni 2020 saat tingkat kepuasan terhadap jalannya demokrasi anjlok hingga 49,5 persen. Bahkan, waktu itu, Burhanuddin menekankan perolehan tersebut adalah yang terendah dalam 16 tahun terakhir. Apalagi survei serupa pada Februari 2020 menunjukkan tingkat kepuasaan mencapai 75,6 persen. 

Publik beranggapan pemerintah memakai momen penanganan pandemi Covid-19 sebagai dalih menekan kebebasan berpendapat baik di jalanan maupun media sosial. Berdasarkan analisis Lokataru Foundation pada pertengahan tahun lalu, negara melakukan sejumlah cara untuk “mengerdilkan ruang sipil”. 

Salah satu contohnya adalah penerbitan Surat Telegram Kepolisian Republik Indonesia 1100 yang isinya menginstruksikan kepada polisi untuk memantau media sosial. “Surat Telegram 1100 memerintahkan kepolisian untuk meningkatkan patroli siber dengan sasaran tak hanya hoaks terkait pandemi Covid-19, tetapi juga penghinaan terhadap penguasa, presiden dan pejabat pemerintah, serta kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran wabah tersebut,” tulis Lokataru.

Munculnya surat itu diikuti perintah Gubernur Gorontalo agar ada razia terhadap lembaga swadaya masyarakat yang berani mengkritik cara pemerintah provinsi menangani pandemi. Ini termasuk di antaranya dengan menyisir akun-akun di media sosial di mana publik semestinya bisa mengungkapkan pendapat maupun kritik terhadap pemerintah. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengklaim menemukan lebih dari 1.000 konten hoaks tentang Covid-19.

Iklan

Pandemi juga membuat pemerintah dan kepolisian mengetatkan aturan soal berkumpul, tetapi tidak konsisten. Ketika masyarakat ramai menolak pengesahan Undang-undang Cipta Kerja, muncul pelarangan untuk melakukan aksi demonstrasi dengan alasan bisa menyebarkan virus. Karena massa tidak terbendung, polisi memilih melakukan penangkapan dengan kekerasan. 

Amnesty International Indonesia mengatakan ada setidaknya 402 korban kekerasan polisi, 6.658 orang ditangkap, dan sebanyak 301 di antaranya ditahan dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Tak hanya yang turun ke jalan, mereka yang mengemukakan pendapat di ruang siber pun jadi sasaran. Sejak 7 hingga 20 Oktober 2020, ada 18 orang yang menjadi tersangka dengan tuduhan melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Pemerintah berkali-kali membuat narasi bahwa publik telah menyebarkan hoaks tentang UU Cipta Kerja ketika pada saat bersamaan peraturan itu masih dalam pembahasan di DPR RI. Bahkan, ada sejumlah draf dengan jumlah halaman dan konten berbeda yang beredar dalam jangka waktu berdekatan sehingga membuat masyarakat bingung.

Cara negara menyikapi situasi ini menuai kritik dari LBH Pers yang menilai pemerintah melarang publik untuk bersikap kritis. Menkominfo Johnny G. Plate menjadi salah satu yang disorot karena sering menuduh masyarakat menyebarluaskan informasi bohong mengenai UU Cipta Kerja lewat media sosial. “Kalau pemerintah bilang itu hoaks versi pemerintah, ya berarti hoaks. Kenapa membantah lagi?” kata Johnny di tayangan Mata Najwa. 

“Kalau pernyataan Menkominfo itu menggeneralisir semua hal, maka ini sudah masuk pada era di mana kebenaran hanya milik pemerintah, dan itu bukanlah ciri-ciri negara demokrasi,” tutur Direktur LBH Pers Ade Wahyudi. 

Dalam kesempatan terpisah, Jokowi baru saja mengeluarkan pernyataan agar masyarakat terlibat dalam peningkatan kualitas pelayanan publik dengan aktif memberikan kritik kepada pemerintah. Tak hanya itu, dia pun meminta pelayan publik agar siap menerimanya.

“Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan atau potensi maladministrasi, dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan,” kata Jokowi.

Pernyataan itu menimbulkan reaksi negatif dari netizen, mengingat penerapan UU ITE selama ini sering menjerat orang yang mengkritik pemerintah. Penyanyi Fierza Besari menilai Jokowi sedang bergurau. “Presiden kita memang humoris sekali,” cuitnya.

Aktivis Lini Zurlia juga menilai pernyataan Jokowi soal kritik menggelikan. Ia menyindir pelaporan yang dialami arsitek Marco Kusumawijaya oleh PT Agung Sedayu dengan memakai UU ITE, usai Marco mengkritik pengambilan pasir putih dari Pulau Bangka untuk salah satu properti. “Punya presiden becandaan mulu deh,” tulis Lini.