Opini

Presiden Jokowi Minta Kritik Mahasiswa Sesuai Tata Krama, Kami Coba Bikin Contohnya

Jokowi menyebut kritik BEM UI sebagai hal biasa, sekaligus berpesan kritik seharusnya sopan. Padahal menurut aktivis kebebasan berekspresi, ukuran sopan sangat relatif.
Respons BEM UI, Presiden Jokowi Minta Kritik Mahasiswa Sesuai Tata Krama
Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Foto oleh Dimas Ardian/Bloomberg via Getty Images

Postingan infografik BEM Universitas Indonesia tentang Presiden Joko Widodo layak disebut “The King of Lip Service” ditanggapi pemerintah lewat video di YouTube, tiga hari setelahnya. Diunggah kanal Sekretariat Presiden, video itu memberi tahu bahwa mantan gubernur DKI Jakarta tersebut santai saja diberi sebutan macam-macam, mulai dari plonga-plongo sampai bebek lumpuh, karena sudah biasa.

Iklan

Tapi pesan moralnya tetap ada. Meski kebebasan berekspresi adalah konsekuensi Indonesia sebagai negara demokrasi, Jokowi mengingatkan bahwa kita juga punya budaya tata krama dan sopan santun yang harus dipedulikan. 

“Saya kira ini bentuk ekspresi mahasiswa, dan ini negara demokrasi, jadi kritik itu ya boleh-boleh saja. Universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi. Tapi juga ingat, kita ini memiliki budaya tata krama, memiliki budaya kesopansantunan. Saya kira [kritik BEM UI] biasa saja. Mungkin mereka sedang belajar mengekspresikan pendapat,” ucap Jokowi. “Tapi, yang saat ini penting ya kita semuanya bersama-sama fokus untuk penanganan pandemi Covid-19.”

Kalau dulu sempat populer istilah “bebas tapi sopan”, belakangan ini “kritik tapi sopan” sebagai penggantinya lebih sering kita dengar. Pertanyaannya, seperti apa indikator kritik yang sopan dan santun?

Kepada ahlinya kami bertanya. Menurut Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Nenden Sekar Arum, sangat sulit menentukan batasan sebuah kritik sudah berbalut tata krama.

“Jadi, bisa jadi untuk seseorang, sebuah kritik itu akan disebut sopan. Untuk orang lain, bisa jadi tidak sopan juga. Mau sesopan apa pun, kalau dianggap menyerang seseorang, saya pikir tetap punya potensi dilaporkan UU ITE,” kata Nenden kepada VICE. Waduh….

Iklan

Bagaimanapun, Nenden menganggap apa yang diinginkan Jokowi sah-sah saja. “Enggak ada yang salah dalam keinginan bahwa pendapat harus disampaikan dengan sopan karena sebetulnya kita ada etika juga dalam berinternet, seperti menghormati privasi orang lain atau tidak menyebarkan hoax. Tapi, sopan-tidak sopan harusnya tidak menjadi batasan seseorang mengekspresikan dirinya,” tambah Nenden. “Mau sopan atau tidak, semua orang harus tetap dilindungi hak berekspresinya.”

Duh, berarti sopan santun sendiri memang sangat subjektif ya. Daripada pembaca bingung karena Pak Presiden juga tidak menjelaskan lebih rinci bagaimana contoh kritik yang penuh sopan santun dan tata krama, VICE coba kasih contoh-contoh kritik yang sesuai kriteria itu. Semoga dari panduan singakat ini, kita semua bisa terbebas dari pasal karet UU ITE yang hih banget itu.

Kritik diawali dengan “Dear…”

Andai saja BEM UI memulai caption unggahannya dengan kata “Dear The King of Lip Service…”, kami pikir Pak Jokowi akan lebih tersanjung dan siap memberikan sepeda.

Tidak ada yang lebih sopan daripada mengawali kritik dengan kata ini. Bisa dipastikan, isi pendapat akan terasa romantis layaknya nuansa surat-menyurat zaman orang tua kita pacaran dulu. Siapa tahu, dari kritik sopan ini Pak Jokowi jadi teringat betapa bebasnya masa muda tanpa tersandera status petugas partai. Bebaskan Pak Jokowi!

Iklan

Kritik diselingi dengan “Hehe”

Contoh penggunaan, “Katanya perkuat KPK, tapi kok? Hehe.”

Sudah rahasia umum bahwa ketawa “hehe” bisa menyelamatkan banyak insan dari ketersinggungan. Penggunaan kata tersebut membuat penuturnya terkesan cengengesan dan mesam-mesem segan, sangat sesuai dengan budaya ketimuran yang Pak Jokowi sukai. Di poin ini, BEM UI harus mengaku salah karena tidak menyelipkan kata “hehe.” sehingga kebutuhan Pak Presiden akan rasa disegani tidak terpenuhi, sampai membuatnya membalas BEM UI dengan konten edukatif soal tata krama. 

Kritik diakhiri dengan “budum” yang terkesan imut

Contoh penggunaan, “Stop membual, rakyat sudah mual. Budum.”

Anak yang main Harvest Moon: Back to Nature di PlayStation 1 pasti tahu bahwa “budum” selalu dipakai para kurcaci saat mengakhiri kalimat. Nah, kalau kata ini kita gunakan kala melancarkan kritik ke Pak Jokowi, pasti pula terlihat lebih imut-imut seperti kurcaci.

Mana bisa Pak Jokowi maupun die hard-nya marah sama makhluk kecil warna-warni ini. Apalagi mereka cuma modal dikasih telur seminggu penuh, udah mau kerja banting tulang dalam badai salju dan hujan deras demi pemilik modal tersayang. Wuih, ini kan omnibus law banget, beleid kesayangan Pak Jokowi!