FYI.

This story is over 5 years old.

Filsafat

Manusia Tak Punya Kehendak Bebas

Setidaknya itulah pendapat Robert Sapolsky, pakar neurobiologi yang menyatakan setiap perbuatan manusia dipengaruhi sistem kerja tubuh.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.

Kehendak bebas (free will) adalah sebuah konsep bila manusia diberi berkah (kemungkinan oleh Tuhan) berupa kekuatan memilih jalan hidup masing-masing. Baik menuju kesuksesan atau kehancuran, serta kebebasan menanggung sendiri semua konsekuensinya. Gagasan ini mendasari pelaku kriminal "dihukum", termasuk di negara-negara demokrasi. Lucunya, pemikiran ini sudah diterima oleh masyarakat (nyaris seluruh dunia) dan tidak pernah dipertanyakan. Apa benar tidak ada alternatifnya?

Iklan

Pakar neurobiologi Robert Sapolsky memiliki pemikiran yang berbeda. Dia menentang konsep "kehendak bebas." Dia meyakini bahwa kebiasaan manusia merupakan gabungan dari berbagai faktor yang rumit dan tidak bisa dibilang hasil kehendak bebas individu semata. Teorinya ini dijelaskan lewat buku terbarunya, Behave: The Biology of Humans at Our Best and Worst. Buku tersebut berisikan penjelasan-penjelasan dari sisi neurologi, filosofi, politik, sains evolusi, antropologi, sejarah dan genetik. Kadang, variabel yang digunakan ketika menjelaskan perilaku manusia kelewat banyak, tapi justru inilah inti teori Sapolsky: keputusan yang dibuat manusia merupakan hasil "keadaan pralahir, genetik, hormon, cara didik orang tua, keadaan masa kecil, dan sebagainya…"

Sama seperti buku Incognito: The Secret Lives of the Brain karya David Eagleman atau Blink: The Power of Thinking Without Thinking karya Malcolm Gladwell, buku Sapolsky menjelaskan mekanisme di balik kesadaran manusia. Saya ngobrol bersama pengajar dari Universitas Stanford ini, membicarakan buku barunya. Kami membahas konsep kehendak bebas, eksistensi manusia, dan bagaimana akhirnya umat manusia diyakini bakal semakin bertambah pintar.

VICE: Bisa diceritakan inti buku terbaru anda?
Robert Sapolsky: Tema dasarnya adalah semua manusia merupakan makhluk biologis. Semua perilaku kita merupakan produk sistem biologi. Hal ini mestinya tidak mengherankan. Kalau kita ingin mengerti perilaku manusia—yang baik, buruk dan lainnya—kita tidak akan mendapat hasil apabila kita hanya memperhitungkan satu aspek, entah satu bagian otak, satu pengalaman masa kecil, satu hormon, satu gen, dan lain sebagainya. Sejatinya, perilaku manusia merupakan hasil banyak elemen, dari proses neurobiologi yang terjadi satu detik sebelum tindakan hingga evolusi manusia dari jutaan tahun yang lalu.

Iklan

Buku anda menjelaskan beberapa ide baru tentang kehendak bebas dan sistem pengadilan kriminal di masa kini.
Saya tidak percaya pada konsep kehendak bebas, tapi sulit sekali memang untuk mengadopsi konsep ini di dunia yang menganut sistem keadilan kriminal. Sesungguhnya, kata-kata seperti "hukuman," "keadilan," "kehendak bebas," "jahat," "jiwa," tidak relevan dan tidak akurat secara sains ketika berusaha mengerti kelakuan manusia. Banyak orang kesulitan menerima konsep bahwa manusia adalah organisme biologis tanpa kehendak.

Apakah teori ini berlaku dalam semua area kehidupan?
Kalau seseorang memuji gaya rambut anda, dan anda ingin mengklaim pujian tersebut bukannya memperhitungkan faktor evolusi peradaban manusia selama berjuta-juta tahun yang mendorong anda untuk memilih gaya rambut tersebut, itu sah-sah saja. Tapi kita harus menghindari konsep kehendak bebas yang absurd dan kuno tersebut. Kita harus mulai menggunakan biologi sebagai titik analisa kelakuan manusia yang sering diadili secara tidak adil: dalam ruang pengadilan, ketika mengevaluasi murid di kelas, ketika berusaha mengerti kelakuan partner romantis anda…di area-area inilah kita perlu menggunakan pemikiran berbasis biologi.

Buku anda dimulai dengan fantasi untuk memperlakukan Hitler secara adil, biarpun fantasi itu smengkontradiksi sudut pandang anda tentang konsep keadilan terhadap kejahatan. Apakah anda mendorong manusia berempati terhadap penjahat-penjahat paling keji sekalipun biarpun itu melawan naluri kita?
Analogi yang selalu saya gunakan, dan sulit diterima oleh banyak orang, akan saya jelaskan sebagai berikut. Terkait sistem pengadilan kriminal, apabila mobil remnya blong, anda tinggal perbaiki remnya. Kalau remnya rusak parah, anda taruh mobil di bengkel untuk jangka waktu yang lama dan memastikan bahwa mobil dengan rem blong tersebut tidak akan menyebabkan kecelakaan yang bisa merugikan orang lain. Tapi tidak ada yang bilang bahwa anda menghukum si mobil tersebut. Tidak ada yang menuduh bahwa moral mobil anda ngawur. Kita harus bisa mencapai pemikiran seperti ini.

Iklan

Kebanyakan orang tidak akan bisa menerima teori anda, karena ini sangat berbeda dengan pemikiran manusia modern saat ini.
Banyak orang mengira pergeseran pemikiran itu hal yang mustahil, tapi nyatanya manusia sudah pernah melakukan ini. Lima ratus tahun yang lalu, manusia yang pintar, reflektif, dan liberal sekalipun meyakini bahwa orang yang mengalami kejang-kejang itu kerasukan setan, dan harus dibakar hidup-hidup. Manusia membutuhkan waktu 500 tahun untuk mengerti konsep penyakit epilepsi, dan berpikir seperti konsep mobil dengan rem blong yang saya sebutkan tadi. "Oh bukan salah mereka kok, bukan jiwa mereka kotor, bukan mereka kerasukan setan, cuman ada kelainan sedikit di otak." Kalau peradaban negara Barat saja butuh 500 tahun untuk mengevaluasi kejang-kejang secara tepat, siapa yang tahu berapa lama yang akan dibutuhkan untuk mengubah pemikiran kita tentang kelakuan abnormal manusia yang selama ini dijelaskan menggunakan teologi.

Kalau kita tidak bertanggung jawab atas perilaku buruk, berarti kita juga tidak bertanggung jawab atas perilaku baik dong? Berarti semua kesuksesan dalam hidup itu hanya kebetulan? Itu bagian yang sulit. Apabila sulit bagi kita untuk bisa menerima pemikiran bahwa kelakuan buruk itu bukan hasil kehendak pribadi, akan lebih sulit lagi untuk menerapkan konsep yang sama dalam kelakuan baik. Tentu saja ini tidak sepenting isu orang dipenjara karena dipandang "berlaku buruk," tapi memang benar bahwa kita harus mengakui banyak faktor keberuntungan biologi yang menghadiahi kita dengan berbagai kelebihan dibanding orang lain.

Iklan

Dengan menghapus konsep kehendak bebas, berarti ini juga menghapus hubungan Tuhan dengan manusia, dan mungkin bahkan eksistensi Sang Maha Kuasa? Secara tidak langsung begitu. Sebagai seorang ateis, saya tidak keberatan apabila faktanya seperti ini. Namun lebih dari itu, teori ini juga akan menentang hal lain: Ide bahwa manusia itu lebih dari sekedar otak, bahwa kita memiliki jiwa, bagian tubuh yang lebih dari sekedar biologi. Ide tentang manusia yang didasarkan atas alkimia atau astrologi. Bahkan di luar ranah agama sekalipun, kebanyakan orang percaya bahwa manusia itu bukan sekedar hasil proses kimia atau biologi.

Berarti teori anda bukan sekedar menyanggah agama atau jiwa manusia. Anda menyerang pengertian dasar kita tentang eksistensi manusia. Setiap tahun, saya mengajar kelas berisikan 500 atau 600 orang tentang teori ini. Jadi secara statistik, dijamin akan ada lima atau enam murid yang akan mengalami krisis iman setelah mengikuti kelas, dan tiga atau empat orang mengalami krisis eksistensial. Ini memang proses yang berat. Kita semua menyukai konsep individualitas, misteri manusia, esensi manusia, dan akan sangat menggelisahkan mengetahui bahwa kita semua hanya diatur oleh proses biologi.

Apakah teori anda bisa memprediksi perilaku manusia? Tidak ada ilmu sains yang bisa membantu anda melihat segerombolan orang dengan korteks prefrontal yang cacat di otak dan mengkalim "oh yang ini bakal jadi pembunuh serial nih, yang itu bakal bersendawa di upacara pemakaman dan tidak mengerti kenapa itu bukan tindakan yang sopan." Tapi ketika anda melihat seberapa cepat kita mempelajari asal muasal tindakan manusia, lama-kelamaan narasi bahwa kita memiliki kehendak bebas akan semakin pudar.

Anda meyakini satu-satunya faktor nonbiologis yang mempengaruhi perilaku manusia adalah budaya. Apakah budaya mempengaruhi proses biologis otak manusia juga?
Sangat berpengaruh. Apabila anda dibesarkan dalam budaya individualistik di AS, maka kepribadian anda akan sangat berbeda dibanding dengan mereka yangd dibesarkan dalam kultur Asia Timur yang lebih kolektif. Anda akan memiliki pemahaman yang berbeda tentang kerja sama dan interaksi sosial. Bandingkan seseorang yang dilahirkan dalam lingkungan urban perkotaan berpopulasi tinggi dengan seseorang yang dibesarkan di pedesaan. Rata-rata, mereka yang dilahirkan di daerah urban memiliki amygdala yang lebih besar [bagian dari otak yang mengurusi rasa takut dan cemas]. Jadi memang kultur bisa mempengaruhi otak.

Jika seseorang mempelajari berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku, apakah ada kemungkinan mereka memperoleh kehendak bebas?
Apabila anda dibesarkan dalam kultur yang menghargai refleksi, introspeksi, dan pemikiran kritis tentang pandangan hidup anda sendiri, tentang rasionalitas pribadi, maka anda melatih cortex anda untuk bisa lebih tanggap terhadap aktivitas sistem limbik [bagian otak yang mempengaruhi kelakuan]. Bisa saja ketika anda hendak berlaku sesuai intuisi, di tengah jalan anda sadar bahwa intuisi anda destruktif atau tidak masuk akal sama sekali. Lalu anda menghentikan kelakuan tersebut.