FYI.

This story is over 5 years old.

kehidupan para bintang

Telaah Sejarah Budaya Sang Diva

Dari Barbara Streisand yang mengkloning anjing peliharaannya sampai Mariah Carey menyanyikan lagunya sendiri saat melahirkan, kami menyelidiki bagaimana dunia membenci dan mencintai para diva.
Foto (kiri ke kanan) oleh lifescript, Steve Gawley, Liam Mendes, chrisweger via Wikimedia Commons. latar belakang via Flickr/Michelle Grewe

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly

“Saya perempuan pekerja. Saya enggak mau ngerepotin orang, dan saya enggak suka orang-orang yang bikin repot. Saya jelas bukan seorang diva,” ujar Dolly Parton pada seorang reporter

Kata ‘diva’ langsung memunculkan gambar khusus seorang perempuan, dan hampir selalu digunakan untuk mengejek. Dolly, seringkali disebut sebagai diva musik country, menolak label tersebut untuk alasan-alasan yang sangat jelas: reputasi buruk. Diva seringkali dipandang manja dan banyak mau.

Iklan

Mulanya, diva adalah sebutan untuk penyanyi opera perempuan, dan etimologinya datang dari kata Latin yang berarti ‘dewi.’ Perempuan pertama yang disebut sebagai ‘diva’ adalah aktris film bisu Lyda Borelly, anak terlantar yang penampilannya dijiplak habis-habisan oleh remaja Italia di 1910-an.

Label ini kini berubah makna menjadi seorang selebritas perempuan; terkadang aktris, tapi biasanya penyanyi yang memiliki tempramen tertentu. Menjadi seorang diva menyiratkan arogansi tertentu. Dan istilah ini tidak digunakan untuk menyebut laki-laki, sebagaimana label “slut.”

Parton mungkin tidak melihat perilakunya sebagai diva, tapi itu tidak penting karena sebutan diva bergantung pada bagaimana dunia emmandangnya. Tidak penting jika dia tumbuh dewasa di area Tennesse atau dia menjadi bagian dari budaya populer selama lima dekade, tapi dia dipandang sebagai perempuan pirang yang jenaka.

Kerja keras atau lingkungan masa kecil seorang perempuan tidak menghindarinya dari sebutan diva. Seperti Parton, kamu bisa membangun kerajaanmu dari nol dan namamu dijadikan nama taman wisata, atau seperti Barbra Streisand, menjadi perempuan Yahudi kelas pekerja dari Bronx dan menjadi salah satu penyanyi paling rilis sepanjang masa. Tapi kalau kamu seorang diva, hal-hal seperti itu akan cepat dilupakan. Rihanna—imigran dari Barbados yang bapaknya pecandu narkoba—jarang diapresiasi sebagaimana seleb-seleb laki-laki.

Iklan

Beyonce mencoba merenggut kembali istilah tersebut saat dia menyanyikan “diva is a female version of a hustker” pada albumnya I Am… Sasha Fierce, rilis pada 2008. Editor-in-chief majalah FACT, Al Horner, memandang hal ini sebagai perubahan persepsi diva. “Ini bukan momen mengkritik diri, ini adalah momen untuk merayakan diri sendiri,” ujarnya. “Ini semua merangkum perubahannya dengan baik.”

Ini lebih seperti persepsi dan realita, dan jadi saat kita mempertimbangkan perempuan-perempuan seperti Streisand atau Rihanna, ini bukan soal perilaku mereka melainkan soal persona mereka. Apakah Babs benar-benar mengkloning anjingnya dua kali? Apakah Rih meminta lantai dansa privat ke manapun dia pergi? Apakah Mariah Carey memutar “Fantasy” saat dia melahirkan, supaya kedua anaknya bisa mendengar suaranya? Ya, mungkin saja. Kami pernah mendengar daftar riders seperti potret diri seukuran mural, tisu toilet berwarna peach, sampai kucing-kucing putih. Seru banget mengamati perempuan-perempuan yang telah bekerja keras untuk mendapatkan kekuasaan dan uang, bertingkah konyol dengan kekuasaannya itu.

“Bagi para pendukung Mariah Carey, menjadi diva adalah bagian besar dari mitologinya—suatu hal yang patut dirayakan,” ujar Horner. “Dalam dunia entertainment yang didominasi oleh laki-laki, kamu ada perempuan dengan ras campuran antara Afro-Venezuela dan Irlandia yang banyak mau karena talentanya begitu besar sehingga keinginannya dituruti. Saya rasa bagi sebagian besar penggemarnya, ini adalah manifestasi dari kekuatan; dari penolakan untuk diam dan tahu diri, atau untuk senyum dan menjadi cantik.”

Iklan

Dari tahun ke tahun, Ada yang penyanyi perempuan yang dicap sebagai “diva,” termasuk penyanyi perempuan kugiran macam Aretha Franklin dan Patti Lupone. Pun, selama dekade ‘70an, sebutan diva tak hanya disematkan pada artis satu genre tertentu. Alhasil, Donna Summer, Cher, Grace Jones dan Parton sendiri pernah diganjar julukan tersebut. Streisand kerap dianggap sebagai seorang ultra-diva. Dua dari sekian alasanya adalah streisand punya cengkok crooning yang khas dan keukeuh minta-minta difoto dari “sisi yang bagus.” Madonna pun tak pernah ragu menunjukan kepribadiannya yang besar dan wardrobe yang bisa menyamainya. Dia pernah lempeng saja bilang “Aku harusnya diperlakukan seperti seorang bintang.” Ini ungkapan yang serius. Buktinya, bisa kita semua lihat dalam dokumentar Madonna: Truth or Dare.

Dalam bahasa kekinian, mungkin kata “extra” lumayan menggambarkan estetika seorang diva. Bulu mata berukuran raksasa, syal bulu baby pink, turban dengan kaftan tangerin yang serasi, crop-tops bertabur berlian. Semua bukan pakaian yang digunakan dalam Drag Race. sebaliknya, ini adalah sebagian busana yang dikenakan oleh perempuan-perempuan macam Streisand, Madonna, Beyonce, dan Parton.

Barbara Streisand via Flickr/Jonathan Tommy; Maria Carey/David Shankbone via Wikimedia Commons

“Untungnya, aku dilahirkan sebagai seorang perempuan, kalau enggak aku bakal jadi drag queen,” kata Parton dalam satu kesempatan. Ucapan Parton ada benarnya: para diva umumnya ultra feminin hingga mengilhami parodi dan kemunculan drag queen. Streisand terkenal dengan busana-busana bernuansa kulit leopard dan kuku-kuku yang super panjang; Parton dengan baju-baju yang bikin penggemarnya geleng-geleng kepala dan koleksi wig blondenya. Sementara Zsa-Zsa Gabor, biduan sekaligus sosok glamor Hollywood di pertengan abad ini, memamerkan lekuk tubuhnya dengan gaun yang luar biasa panjang dan dihiasi taburan berlian. Saking glamornya dandanan Gabor, penulis Telegraph Bethan Holt menyebut Gabor dalam tulisannya sebagai “Hadiah untuk Zaman Instagram.”

Iklan

Gaun rancangan Adam Selwan—sepenuhnya transparan dan bertatah Swarovski serta dilengkapi sebuah skullcap retro—yang dikenakan Rihanna pada 2014 sesungguhnya menggambarkan jiwa seorang diva sejati. Hanya saja, tendensi chic Rihanna untuk menanggalkan fungsi-fungsi julukan tersebut dan hobinya melarihan diri dengan gelas-gelas wine adalah yang membuatnya jadi diva sungguhan—terutama karena Rihanna punya banyak uang untuk membayar gelas-gelas yang dia bawa lari.

Mengambil kendali atas kata “diva” bisa jadi gampang-gampang susah karena banyak orang mewaknainya sebagai istilah bagi bentuk kejalangan perempuan. Terlebih, publik sepertinya membenci para pesohor yang sengak dan kurang baik hati, apalagi kalau pesojor itu perempuan yang kuat. Cuma, pertanyaannya adalah bukannya keengganan para diva untuk bersikap baik, punya cita rasa yang bagus serta hal-hal baik lainnya adalah tindakan yang radikal?

Jika arti awal dari “diva” adalah “dewi,” maka etimologi kata ini ada benarnya: perempuan-perempuan ini punya marwah yang berbeda dari kita. Mereka dewi-dewi, kita rongsokan peradaban.

“Menurut saya, pada suatu titik, budaya pop berhenti menggunakan cap diva untuk mengejek perempuan dan mulai mengenalinya sebagai istilah bermuatan politik,” terang Horner.

Terlepas dari tantrum, selera norak dan bathtub dari emas yang mereka gunakan, kita tak bisa tidak mencintai diva. Mereka lah perempuan yang menentukan aturan dalam hidup mereka. Mereka perempuan yang tak bisa menerima penolakan begitu saja.