FYI.

This story is over 5 years old.

Kecelakaan Alutsista

Insiden Alutsista Terlalu Sering Tewaskan Anggota TNI 10 Tahun Terakhir

Dua tahun terakhir 38 prajurit tewas saat pesawatnya jatuh atau tank mereka tenggelam, lebih tinggi dari tentara tewas di akhir operasi Aceh 2004. Padahal peremajaan alutsista dilakukan Kemenhan. TNI diminta membuka hasil investigasi pada publik.
Personel TNI AD membersihkan unit tank Scorpion sebelum perayaan kemerdekaan. Foto oleh Beawiharta/Reuters

Personel Tentara Nasional Indonesia kembali tewas sia-sia akibat kecelakaan terkait Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) yang mereka miliki. Insiden terbaru adalah tenggelamnya tank M113A1 milik Batalyon Infanteri Mekanis 412 TNI Angkatan Darat di Sungai Bogowonto, Purworejo pada Sabtu (10/3). Insiden terjadi ketika prajurit mengangkut siswa-siswi PAUD. Selang dua hari kemudian, kapal motor cepat KMC AD-16-05 milik Kodam Jaya tenggelam di perairan Kepulauan Seribu. Penyebab dua kecelakaan tersebut berbeda. Insiden tank tenggelam yang menyebabkan dua korban tewas, termasuk satu sipil, diduga akibat dasar sungai ambles tidak kuat menahan beban tank. Sementara KMC AD-16-05 tenggelam akibat kerusakan mesin. Insiden kapal ini tidak menimbulkan korban jiwa.

Iklan

Bagaimanapun, asumsi rentetan insiden ini akibat umur alutsista yang tua kembali mencuat di media sosial. Banyaknya alutsista usia uzur yang masih beroperasi di tiga matra TNI menjadi polemik dan sekaligus kritikan dari berbagai pihak.

Lebih menyedihkan lagi, berdasarkan data yang dikumpulkan VICE Indonesia, sebanyak 38 anggota TNI tewas hanya di kurun 2016-2017 akibat kecelakaan terkait alutsista. Paling tidak ada enam insiden yang terjadi dalam kurun waktu tersebut. Sementara sejak berakhirnya konflik Aceh pada 2004, terjadi 12 insiden kecelakaan helikopter maupun pesawat angkut TNI yang menewaskan minimal 137 personel militer. Total selama satu dekade terakhir insiden kecelakaan menewaskan 175 prajurit.

Kebanyakan personel TNI tersebut tewas dalam kecelakaan udara yang melibatkan alutsista usia tua seperti pesawat angkut Hercules dan helikopter Bell 412. Angka kombinasi dari 2016-2017 ditambah korban insiden satu dekade belakangan melebihi jumlah anggota TNI yang tewas setelah terakhir kali operasi militer berlangsung, yakni di Aceh pada 2003-2004. Di 12 bulan ujung perang Aceh, korban tewas TNI berjumlah 43 orang.

Menanggapi kasus tenggelamnya tank M113A1, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal M.S. Fadhilah mengatakan TNI AD sudah membentuk tim menginvestigasi insiden tersebut. Ia melanjutkan bahwa proses investigasi masih berjalan, hingga pihaknya belum bisa berkomentar mengenai kesimpulan penyebabnya.

Iklan

“Tim investigasi sudah dibentuk dan sedang bekerja untuk itu. Nanti TNI AD yang akan merilis detilnya,” ujar Fadhilah kepada VICE Indonesia. Juru bicara TNI AD belum merespon ketika dihubungi VICE Indonesia.

Tank M113 harus diakui tergolong uzur. Pertama kali diproduksi pada 1962 untuk perang Vietnam, tank berjuluk “Naga Hijau” tersebut pada dasarnya masih digunakan di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat. Tank tersebut merupakan favorit mengangkut personel tempur karena tergolong ringan dan bisa menampung hingga 11 orang. Karena bahannya aluminum ringan, tank M113 bisa diangkut dari udara serta difungsikan sebagai kendaraan semi-amfibi.

Tank M113 pertama kali dibeli oleh TNI pada 2014, hasil produksi pabrikan Belgia. Selain M113, TNI AD masih memiliki sederet tank tua seperti AMX-10, Stuart, Leopard 2A4, AMX-13 yang belakangan dimodifikasi, dan deretan tank Scorpion.

Sejak embargo militer Amerika Serikat kepada Indonesia resmi dicabut pada 2005, Indonesia segera membenahi sektor alutsista yang jauh ketinggalan dari negara-negara tetangga.

Pada 2009, Kementerian Pertahanan akhirnya mencanangkan Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force) 2010-2025 yang dibagi dalam tiga periode. Program tersebut juga berarti anggaran belanja untuk Kemenhan juga ditambah. Sejak 2010 hingga 2017, anggaran belanja militer melonjak hingga 270 persen, dari Rp42,4 triliun menjadi Rp114,2 triliun. Anggaran belanja tersebut sedikit turun untuk tahun anggaran 2018 ke angka Rp107,7 triliun.

Iklan

Berkat guyuran dana dari pembayar pajak ke Kementerian Pertahanan, lembaga analisis militer Global Fire Power sempat menempatkan Indonesia ke ranking 14 dalam daftar negara dengan militer terkuat, jauh mengungguli negara tetangga di Asia Tenggara. Hanya saja pemeringkatan tersebut tidak dibuat berdasarkan seberapa modern alutsista suatu negara, melainkan lebih kepada jumlah prajurit, jumlah alutsista, logistik dan anggaran belanja.

Pengamat pertahanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Diandra Mengko mengatakan faktor usia beberapa alutsista TNI bukan faktor utama seringnya terjadi insiden menewaskan prajurit terjadi.

“Alutsista yang usang memang menjadi penyebab,” kata Diandra kepada VICE Indonesia. “Namun itu bukan faktor tunggal. Ada faktor human error, kurang perawatan, atau kesalahan teknis.”

Masalahnya, selama ini penyebab suatu kecelakaan melibatkan alutsista TNI tak pernah benar-benar bisa dipastikan ataupun di disampaikan ke publik kata Diandra. Sehingga publik kerap berasumsi penyebab utama kecelakaan selalu akibat alutsista yang tua.

“Padahal hasil investigasi tersebut bisa menjadi pembelajaran dan evaluasi terhadap apa yang salah,” ujar Diandra. “Contohnya hasil investigasi kecelakaan pesawat Hercules di Medan saja tidak pernah diungkap. Jadi lebih baik TNI terbuka.”

Menurut Diandra, dalam tahap pertama Minimum Essential Force 2010-2014, Kementerian Pertahanan mengklaim sukses mencapai 74,89 persen peremajaan alutsista. Itu berarti peremajaan dan pengadaan alutsista modern telah cukup bagus dan melebihi target pemerintah yang 42 persen.

Iklan

Penyebab lain menurut Diandra, adalah minimnya anggaran perawatan. Diandra mengatakan ongkos perawatan alutsista usia 5 tahun ke atas memang mahal dan menuntut perhatian ekstra. Sementara manajemen evaluasi alutsista TNI belum sanggup menangani itu semua.

“Perlu ada mekanisme evaluasi, mulai dari pertama kali alutsista dibeli sampai bagaimana nanti merawatnya. Jadi setiap proses harus dievaluasi,” ujar Diandra.

Lembaga anti-korupsi Government Defence Anti-Corruption Index menempatkan Indonesia dalam daftar negara high-risk. Data tahun 2015 Indonesia mendapat skor 45 persen dalam soal pengadaan alutsista, karena kurangnya transparansi.

Pengamat militer Susaningtyas Kertopati, yang akrab disapa Nuning, menyoroti kedua insiden kecelakaan alutsista yang baru saja terjadi lebih diakibatkan minimnya pengetahuan teknisi TNI terhadap fungsi alutsista dan kondisi medan. Penguasaan personel terhadap alutsista juga mutlak diperlukan, imbuh Nuning.

“Kita harus tahu untuk apa alutsista tersebut digunakan,” kata Nuning. “Lantas apakah prajurit yang akan mengawakinya betul-betul menguasai alutsista tersebut.”


*Koreksi redaksi: Artikel ini sebelumnya membandingkan jumlah korban TNI tewas akibat insiden alutsista selama 10 tahun dengan satu tahun terakhir konflik Aceh. Alhasil, judul diubah pada pukul 15.46 WIB untuk lebih merefleksikan data yang akurat.