FYI.

This story is over 5 years old.

Durhaka

Curhatan Anak Muda yang Selalu Pura-Pura Puasa Selama Ramadan

Keluarga tak tahu saya enggak puasa dan cuma 'Islam KTP'. Selama ini saya berlagak kelaparan saat berbuka puasa, padahal siangnya saya makan sampai kenyang.
Foto via Flickr user Keith Trice

Ramadan telah tiba. Di dapur, Ibuku pasti sibuk menyiapkan makanan untuk buka puasa dari sore sampai menjelang maghrib. Ibu sudah 64 tahun dan mengidap diabetes, tapi dia masih rajin menjalankan ibadah puasa. Beda sama saya yang puasanya cuma di depan keluarga saja. Saya sudah berpura-pura kayak gini sejak lama sekali.

Selama bulan Ramadan, 1,8 miliar Muslim sedunia wajib menahan diri dari perbuatan yang dapat membatalkan puasa. Bagi yang sehat secara fisik, mereka juga tidak boleh makan dan minum dari subuh sampai magrib. Mereka harus menahan nafsu dan menghindari aktivitas seksual dari azan subuh hingga tenggelamnya matahari. Puasa termasuk lima rukun Islam wajib. Siapa saja yang meninggalkan puasa otomatis siap dicerca oleh umat Muslim lainnya (selain pastinya dapat dosa ya). Bahkan di beberapa negara Islam, ada ancaman denda atau bahkan dipenjara kalau nekat tak mau menjalankan puasa. Sebagian besar Muslim tentunya bersemangat menyambut Ramadan karena ini waktu yang tepat untuk menyucikan diri. Sayangnya, bagi yang tidak religius seperti saya (alias Islamnya cuma di KTP), tidak ada rasa antusias saat bulan Ramadan tiba. Masalah terbesarnya ini: artinya orang macam saya harus membohongi keluarga dan teman sesama Muslim.

Iklan

Alasan kami tidak puasa macam-macam lah. Sebagian besar dari mereka beragama secara santai dan merasa tidak perlu menaati seluruh peraturan yang diwajibkan. Ada juga yang sudah tidak menganggap dirinya Muslim—tapi mustahil mengumumkannya ke publik karena bisa berdampak sama putusnya hubungan keluarga. Mirisnya, mereka tidak berani mengakui statusnya karena tidak siap ditekan oleh berbagai pihak. Belum lagi ancaman tidak diakui keluarga kalau nekat “murtad.”

Akibatnya Muslim dari generasi tua dan muda memiliki pandangan berbeda, dan ini dicerminkan pada budaya pop seperti adegan makan daging babi di Master of None karya Aziz Ansari atau The Big Sick Kumail Nanjiani yang menceritakan tokoh laki-laki yang tidak diakui orang tua karena ingin menikahi perempuan Amerika. Ini sering terjadi pada keluarga Muslim ketika ada anggota keluarga yang keyakinannya menentang ajaran Islam yang kaku. Mereka mungkin masih mengaku sebagai Muslim dan mengecam diskriminasi dan prasangka buruk kaum yang Islamofobia. Hanya saja mereka tidak tekun menjalankan ibadah. Berhubung Ramadan sangat penting bagi umat Muslim, mau tidak mau mereka harus berpuasa. Lebih baik berpura-pura daripada dipojokkan. Bahkan ada juga yang menghindari keluarga dan temannya.

Tentu saja bentuk kecurangan praktik ibadah yang paling parah adalah yang saya sebut sebagai “puasa palsu”—maksudnya berpura-pura puasa di siang hari dan “ikutan berbuka” padahal kamu sudah melahap sepotong double cheese burger dan minum coke seharian. Banyak dari kami melakukan ini untuk menyelamatkan muka di teman-teman seiman agar mereka berpikir kamu muslim yang taat. Pilihan melakukan puasa palsu juga diambil guna menghindari penilaian buruk dari sesama muslim. Jelas, puasa palsu jauh dari nilai-nilai yang diajarkan ibadah puasa di bulan Ramadan yang seharusnya menjadi sebuah perjalanan spiritual penuh perjuangan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.

Iklan

Tonton dokumenter VICE, saat host andalan kami Thomas Morton mencoba mengikuti mengenai rangkaian ibadah selama Ramadan:


Awalnya, menyembunyikan fakta bahwa saya tidak puasa dari kawan sesama muslim itu pelik sekali. Kini, setelah terbiasa melakukannya, kemampuan berpura-pura puasa saya meningkat pesat. Mudah atau susahnya berpura-pura puasa tergantung sebesar apa lingkungan tempat kamu hidup dan sebesar apa komunitas islam di sana—makin kecil kota atau komunitas muslimmu, makin susah kita berpura-pura puasa. Pasalnya, kamu pasti berpeluang besar kepergok sedang menyerap caramel latte dari Starbucks oleh seorang teman sesama muslim yang kebetulan lewat. Kalau ini terjadi, mereka akan langsung menudingmu melakukan dosa besar dan langsung menunjukkan kekecewaan, seakan kamu pasti sudah masuk neraka sementara mereka melenggang masuk surga tanpa dihisab. Ada masanya saat saya harus benar-benar waspada, sampai harus benar-benar tengok kanan dan kiri, saat minum air sambil berkendara mengelilingi kawasan tempat keluarga kami tinggal yang luasnya tak seberapa. Tiap kali keluar makan siang, saya selalu memilih restoran muslim yang jauh dari rumah—bar dan Hooters adalah pilihan yang paling aman. Percayalah, tak ada satupun muslim yang rela mengunjungi dua tempat ini lantaran takut pahala puasanya rusak. Pastikan untuk selalu menghindari swalayan halal.

Nah kalau semua ini lancar kamu lalui, ada satu tantangan besar menanti di ujung senja. Katakanlah kamu bisa batal puasa—makan ini dan itu serta minum-minum dengan puas di siang hari, bisakah kamu terlihat lemas dan lapar menjelang azan Magrib? Kamu mungkin bisa berpura-pura lapar. Yang berat adalah rasa bersalah yang terbit menjelang matahari terbenam. Bayangkan, kamu duduk bersama-sama dalam satu meja dengan orang lain yang benar-benar menahan rasa lapar dan dahaga sehari penuh sementara kamu enak-enakan menelan sepotong ayam goreng dan menyeruput es teh manis. Kadang, bila cukup awas, seseorang bisa menebak kalau puasamu bolong cuma dengan melihat wajah. Kemampuan ini memang aneh, sudah mirip indra keenam saja. Kalau kamu bertemu orang macam ini, berharaplah mereka tak membuka rahasiamu di depan orang lain.

Ini yang memojokkan kami—kaum rajin mokel—ke posisi sulit. Kami bingung antara mengaku sudah tak mau menjalankan ibadah puasa, sambil bersiap menghadapi segala macam penghakiman; atau sekalian saja terus hidup selama satu bulan dalam kebohongan dari tahun ke tahun.

Pada kasus saya, dua pilihan di atas tak kunjung saya ambil. Saya terus nakal, makan dan minum di siang bolong selama bulan puasa.

*Abe Love adalah kontributor VICE yang tinggal di Kanada. Dia anak pasangan imigran muslim.