FYI.

This story is over 5 years old.

Pengaruh K-Pop

Pengakuan Perempuan Indonesia yang Tergila-Gila Perawatan Kulit ala Korea

Kamarnya mirip apotek, penuh skincare. Emangnya lebay membelanjakan jutaan Rupiah untuk sleeping mask, hydrating lotion, sampai eye serum mirip bintang K-Pop? Inilah obrolan Si penggila skincare tadi bersama dokter kulit.
Konsumen menjajal perawatan kulit ala korea di sebuah mal kawasan Quezon City, Filipina. Foto oleh Cheryl Ravelo/Reuters.

Apakah kamu termasuk orang yang mendadak defensif ketika membelanjakan uang hingga jutaan Rupiah demi produk perawatan kulit gara-gara terpengaruh drama korea atau bintang K-Pop? Mungkin ada dari kalian yang punya cerita seperti teman saya berikut.

Saya janjian bertemu kawan semasa kuliah itu di mal kawasan Senayan. Sobat saya itu, seorang PNS Kementerian, datang lebih dulu. Bilangnya sih ingin lihat-lihat gerai Innisfree—salah satu merek kosmetik asal Korea Selatan. Ketika akhirnya bertemu di kafe sesuai janji, ternyata kawan saya menenteng satu tas belanjaan besar. Isinya bisa ditebak: bermacam jenis produk perawatan kulit dari gerai kosmetik Korsel tadi. "Jangan salahin gue ya. Gue khilaf tadi pas main ke Innisfree terus beli mud muskernya, serumnya, tau-tau udah ngeborong,” ujarnya, yang rikuh dan nampak tak nyaman cerita baru saja membelanjakan banyak uang buat kosmetik doang. Padahal saya belum dan tidak tanya apa-apa soal belanjaannya.

Iklan

Omong-omong, kenapa dia harus merasa bersalah dan di-judge karena belanja produk skincare Korsel?

Saya sih tidak bisa menyalahkannya. Kenapa? Sebab saya juga sama sepertinya. "Woles,” kata saya, “Gue juga suka kok pake skincare Korea, hehe.”

Saya penggila skincare a la Korea, dan saya sepenuhnya sadar kalau kebiasaan ini memang harus disebut "gila." Kegilaan saya akan perawatan wajah ini dimulai sejak 2013. Bermula dari insiden break out besar-besaran di wajah saya saat itu, memerah, jerawatan, beruntusan, sampai saya malu keluar rumah.

Facial dan obat-obatan tidak mempan, akhirnya saya browsing di internet dan mencari tips perawatan wajah jerawatan di blog-blog (waktu itu belum tren Youtube dan selebgram). Dari blog itulah, saya tahu soal perawatan wajah multilapis a la Korea. Awalnya dari double cleansing, proses pembersihan make up yang terdiri dari dua tahap. Jadi tidak langsung dicuci sabun muka, tapi dibersihkan dulu pakai cleansing oil atau krim.

Teknik multilapis ini kemudian menggila, tapi waktu itu belum saya ikuti semua. Dari 10 step, yang saya ikuti adalah 5 atau 6 step.

Seiring bertambahnya usia, perawatan 5-6 langkah ini saya anggap kurang karena kulit mulai mengendur dan sensitif, akhirnya saya tambah deh prosedurnya. Berikut tahapan yang saya lakukan, setiap malam, setiap hari:

1. Cleansing Oil/Tissue. Buat membersihkan wajah dari kosmetik/kotoran sepulang kerja. Teknik double cleansing yang saya pegang teguh
2. Facial Foam
3. Toner
4. Essence
5. Hydrating lotion
6. Serum
7. Eye serum
8. Moisturizer/pelembab
9. Lipmask
10. Sleeping mask (overnight mask)

Iklan

Semua tahapan itu belum termasuk langkah peeling (chemical/scrub) dan pemakaian obat jerawat, serta serum dengan fungsi beda, kalau saya sedang “ingin pakai."

Sehari saja, semisal ada dua-tiga langkah yang terlewat, rasanya ada yang kurang di hidup ini. Udah mirip salat. Kalau sampai bolong satu saja, rasanya ada yang mengganjal.

Lantas, berapa uang yang saya habiskan untuk membeli produk-produk ini? Tidak usah ditanya. Kamar saya sudah seperti drugstore di mal, akibat menumpuknya produk perawatan wajah dan kosmetik.

Macam-macam produk kecantikan Korsel, yang terpajang di salah satu salon elit Seoul. Foto oleh Kim Hong-ji/Reuters.

Beli satu, kalau tidak cocok langsung didiamkan. Kalau cocok lanjut terus, sampai ada produk baru yang menggoda. Terakhir saya membeli paket perawatan wajah berupa; facial foam, hydrating lotion, obat jerawat, dan toner habis sekitar Rp1,5 juta. Buat masker saja bisa habis Rp500 ribuan. Dalam sebulan kalau benar-benar tidak dikendalikan saya bisa habis Rp2 juta hanya untuk perawatan wajah.

Rupanya di atas langit masih ada langit. Ketika saya merasa sudah habis uang dan waktu banyak untuk perawatan wajah, kawan lain usahanya tak kalah luar biasa.

Puti, Government Relations di sebuah perusahaan asuransi ternama, bisa melakukan perawatan lebih berlapis dari 10 langkah versi saya. “Gue mah udah enggak ngitung, bisa puluhan kali. Ini tuh semacam ritual, gue bisa udah mulai perawatan dari jam 9 sampai jam 10 malam lebih,” ujarnya.

Tetapi, tidak ada satu menit pun yang terasa menyiksa bagi orang seperti Puti. “Yah justru tiap menitnya dinikmati. Ini candu,” imbuhnya.

Iklan

Soal anggaran tak usah ditanya, Puti ini gajinya lebih tinggi dari saya. Apa yang saya habiskan dalam sebulan, bisa dia lakukan dalam dua pekan. Levelnya sudah jauh, dia bahkan bisa berburu kosmetik kapan saja di situs yang memasang harga paling murah.

Bisa dibilang, orang macam kami memang adalah konsumen yang digerakkan sama viralnya metode perawatan kecantikan ala Korsel. Medium yang bikin kami mengenal kosmetik Korea tentu berkat popularitas serial drama yang menampilkan wajah-wajah ayu Negeri Ginseng itu. Tren sleeping mask (masker wajah yang digunakan semalaman dan bisa dibawa tidur) salah satu yang viral lebih dulu, sampai brand kosmetik macam Laneige sukses besar memasarkannya. Barulah produk-produk barat seperti The Body Shop hingga Kiehls ikut-ikutan.

Innisfree, yang diborong teman kuliah saya, hanya salah satu raksasa kosmetik asal Korea Selatan di bawah naungan Amore Pasific. Beberapa merek lainnya yang familiar bagi konsumen di Indonesia adalah Laneige, Etude House, dan Sulwhasoo.

Lantas apakah kosmetik Korsel tadi ngefek? Mungkin orang lain kalau melihat ritual kami akan bilang kami gila, mubazir, dan lainnya.

Begini. Kulit saya memang sampai sekarang tidak sekinclong Song Hye Kyo Cs. Tapi setidaknya wajah saya tidak lagi jerawatan dan juga lebih kenyal atau lembab. Saya dan Puti bisa saja melakukan pembenaran, bahwa apa yang kami lakukan ini adalah untuk diri kami sendiri. Toh uang yang kami pakai juga uang hasil kerja sebulan. “Bedanya mungkin jika yang lain pilih buang uang untuk jalan-jalan, jajan, beli baju, ya gue beli skincare. Gue gak jalan-jalan kok, jadi duitnya ya buat yang bikin seneng, ya skincare ini,” kata Puti.

Iklan

Ada juga pembelaan lain, kalau konsumen macam kami tidak sembarangan mengikuti tren skincare Korea. Waktu beberapa bulan lalu heboh tren 7 skin, saya memilih tidak mengikutinya. Begitu juga dengan perawatan “Glass Skin” di mana menyasar tampilan kulit berkilau seperti kaca dengan mengoles oil face, buat saya yang punya wajah berminyak metode macam itu justru dihindari.

Tentu saja, dalam hati, tetap ada perasaan bersalah. Jangan-jangan yang saya dan teman-teman sesama pecandu skincare ini sudah berlebihan? Makanya saya meminta pendapat spesialis kulit dan kecantikan dr. Nenden SpKK. Setelah mendengar segala macam keribetan yang saya lakoni tiap malam demi merawat wajah, dia hanya terkekeh.

Dokter yang mengelola N’Clinique ini menjelaskan bahwa tidak ada yang salah dalam melakukan perawatan wajah, mau apapun metodenya, syaratnya cocok di kulit masing-masing. “Asal waspada dengan kandungannya. Bahan-bahan berbahaya seperti paraben, atau yang perlu resep dokter jangan sampai overdosis seperti hidroquinon,” ujarnya.

Namun Nenden mengingatkan sebagian tren merawat kulit a la Korea, tidak berbahaya tapi juga tidak begitu efektif. Mau diberi sepuluh lapis pun, kulit bisa menyerap krim-krim yang di oleskan di wajah. “Buat apa berlapis-lapis, kalau bisa pakai satu produk yang bisa memberi manfaat serupa.”

Menurut Nenden, tren penggunaan perawatan kulit berlapis ini hanyalah gimmick perusahaan kosmetik, misal harus dibedakan antara masker untuk tidur, pelembab, serum untuk mata, serum untuk kulit, dan vitamin dengan produk yang terpisah. “Sementara produk lain, asal Jepang misalnya, dengan satu krim malam sudah bisa mendapat manfaat yang sama ketimbang pakai skincare-skincare tadi.”

Iklan

Soal urusan kosmetik Korea ini, dokter Nenden juga bukannya tidak ada pengalaman. Sudah beberapa perusahaan kosmetik asal negeri ginseng ini mengajaknya kerjasama untuk menjual produk ke pelanggan-pelanggannya. Satu perusahaan, kata dia, menawarkan perawatan kepala seperti shampo, kondisioner, dan lainnya yang intinya terdiri dari 4 rangkaian. “Saya jawab, ngapain banyak banget? Kalau sudah bisa pakai shampo aja kenapa mesti sampai 4 botol?”

Plus, Nenden mengingatkan bila ada perbedaan karakter kulit wanita Korea dan Indonesia. Suhu di negara ini jauh lebih lembab dibanding Korea Selatan. Perawatan kulit di sana ditekankan untuk penambahan kadar air dan menjaga kelembaban kulit, karena suhunya cenderung kering ketika musim dingin.

Sementara Indonesia, baru keluar rumah saja segala krim di wajah bisa luntur. “Jadi ini mesti dipastikan dulu, kalau mau coba produk perawatan pastikan tahu jenis kulit sendiri dulu. Kalau memang cocok silahkan teruskan, tapi kalau lebih singkat bisa dipertimbangkan,” kata Nenden.

Baiklah. Mendengar penjelasan dokter Nenden, saya semakin sadar bahwa saya adalah korban gimmick industri kosmetik belaka. Apa daya, meski jadi korban, bisa dibilang saya adalah korban yang sukarela terjun ke lembah dosa.

Dosa menghamburkan waktu dan uang, demi mulusnya kulit wajah. Meski saya sadari, tetap saya lakoni karena kadung cinta. Karena seperti kata pepatah, "then love is sin and let me sinful be."


*Haemotion adalah nama pena seorang profesional muda, penggila hallyu sekaligus aktif menulis soal K-pop. Dia kini tinggal di Jakarta.