FYI.

This story is over 5 years old.

Mistisisme

Menemui Para Pertapa Modern Alas Purwo

Para pertapa bersemedi hingga berbulan-bulan lamanya, di pedalaman Taman Nasional Banyuwangi. Siapa sangka, berbagai mitos angker dan keberadaan para lelono justru melindungi ekosistem hutan tertua Pulau Jawa tersebut.
Kolase foto oleh Dicho Rivan. Sumber foto pertapa via unsplash/Ashes Sitoula/ domain publik.

Hari sudah siang, tapi cahaya tak sanggup menembus pekatnya dedaunan Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur. Dalam suasana remang-remang, perjalananku menembus belantara diramaikan binatang yang bernyanyi. Suara-suara binatang membuat hutan lebih semarak, mengiringi langkahku menuju gua istana di jantung Alas Purwo, yang menjadi lokasi semedi favorit para pertapa modern, atau biasa dijuluki "lelono."

Di salah satu dahan, kulihat kera ekor panjang bergelantungan, mengintai setiap peziarah dan wisatawan dari pucuk-pucuk bambu. Ada merak hijau liar bercericit, bersahutan dengan burung-burung yang bermukim di sekujur hutan. Juga kupu-kupu berkelir mencolok: merah, kuning, hijau, ungu beterbangan rendah membuatnya tergapai oleh tangan. Di samping itu semua, ada suara aliran air yang mengademkan perasaan. Setiap orang harus berjalan kaki sepanjang hampir dua kilometer melewati hutan tadi untuk mencapai Gua Istana. Perjalanan itu semestinya tak terlalu melelahkan, bahkan bagi yang jarang olah raga sekalipun. Karena aku kesulitan melihat ujung jalan, perjalanan jadi terasa jauh, seperti enggak sampai-sampai. Setelah setengah jam menapaki hutan, akhirnya aku berpapasan dengan sebuah plang yang memberi tahu kalau aku sampai Gua Istana. Di mulut gua itu, mataku segera terpaku pada sosok laki-laki yang sedang duduk bersila. Tak berapa lama, aku memberanikan diri mengajaknya berkenalan. Rupanya betul dia termasuk pertapa Alas Purwo. Namanya Hardi.

Iklan

Hardi mengaku telah menghabiskan tiga bulan bertapa di Gua Istana. Sepengetahuannya, gua itu sudah dipakai bertapa sejak zaman Kerajaan Majapahit. Lelaki 56 tahun yang mirip paranormal itu mengenakan kalung bulat-bulat besar berbentuk tasbih yang terbuat dari kayu melingkari leher. Jam tangan hitam menghiasi tangan kirinya. Tongkat kayu menemaninya ke manapun ia melangkah.

Hardi datang dari Tulungagung, 350 kilometer jauhnya dari Alas Purwo. Ia datang setelah merasa memperoleh bisikan gaib. Ada semacam suara batin atau ruh yang menyambanginya. Ia tak membawa apa-apa selain satu stel baju cadangan ketika berangkat dari Tulungagung. Uang pun ditinggalkannya di rumah. “Saya datang ke sini menumpang kendaraan orang. Untung saja ada orang baik yang mau ditumpangi,” katanya.

Pengetahuan Hardi soal tempat semedinya ini bisa dibilang sama dengan pengetahuan umum yang luas beredar. Banyak yang bilang Alas Purwo adalah singgah roh raja-raja Jawa. Roh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta pun konon kabarnya suka mampir ke sini. “Aku melihat roh Pak Sukarno dan Pak Hatta memakai seragam putih ketika bersemedi di dalam gua,” kata Hardi. Sukarno memang terkenal percaya dengan kejawen, tapi tak ada bukti yang gamblang menyatakan dia suka mampir ke Alas Purwo. Kendati demikian cerita itu sudah terlanjur hidup sampai-sampai ada umbul-umbul putih bergambar Presiden Sukarno lengkap dengan kopiah dan seragam kenegaraannya menyambut setiap orang yang hendak naik ke Gua Istana.

Iklan

Hardi kemudian mengajakku masuk ke dalam gua, tempat ia semalam suntuk bersemedi. Berbekal senter ponsel, aku masuk bersama Hardi melihat apa yang ada di dalam. Sambil melongok petak yang ia jadikan tempat bertapa, ia menceritakan padaku alasannya menyepi. “Di sini aku hanya ingin mendapatkan ketenangan batin,” katanya.

Di dalam gua ia mempersilakanku berdoa sesuai keyakinanku. “Ini bebas untuk agama apapun yang penting niatnya baik,” katanya. Aku bukannya tak mencoba, tapi jeroan gua bagiku ternyata jauh dari kesan khusyuk dan kontemplatif. Baru 15 menit berada di sana, rasa mual menyerang karena bau tahi kalong begitu menusuk sampai bikin pusing kepala. Tanpa bermaksud menyinggung, aku menggiring Hardi melanjutkan obrolan di mulut gua.

Bagian dalam gua, lokasi Hardi bersemedi.

Di luar, Hardi bercerita sesungguhnya para pertapa tak melulu semedi saja kerjanya. Mereka juga punya jam-jam istirahat yang bisa dipakai untuk meladeni peziarah atau mengurus keperluan pribadi seperti cuci baju dan cari makan. Untuk bertahan hidup, ia makan buah-buahan yang jatuh dari pepohonan, misalnya buah kedondong. Hardi juga mengandalkan makanan pemberian peziarah yang menggunakan jasanya untuk mengatar masuk gua. “Banyak yang memberikan roti, air minum, dan makanan ringan,” kata Hardi.

Di dekat mulut gua itu ada mata air yang ketika ku datang tengah dipakai Din untuk mencuci baju. Seselesainya ia mencuci, Din menghampiri kami. Ia bertegur sapa dengan Hardi sebelum aku ajak dia berkenalan dan ngobrol-ngobrol. Sudah 71 hari Din semedi di perut hutan Alas Purwo. Berbeda dengan Hardi yang terdorong oleh bisikan gaib, Din datang karena masalah-masalah nyata di kehidupan sehari-hari. Ia ingin menenangkan diri setelah ia berpisah dengan isterinya.

Iklan

Ia juga mengaku gagal di dunia pekerjaan. Ia mencoba peruntungan menjadi pemborong proyek, tapi ujung-ujungnya malah buntung. “Aku habis-habisan, gagal berumah tangga. Di sini aku ingin lebih tenang,” kata Din.

Tempatnya bersemedi adalah Gua Padepokan yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki 10-15 menit dari Gua Istana. Sepanjang malam di dalam gua ia berzikir. Din juga salat lima waktu sesuai dengan ajaran Islam. Di luar itu, Din punya rutinitas dan kegiatan yang serupa dengan kebanyakan orang. Ketika sinar matahari menyorot mulut gua, Din keluar untuk mandi untuk membersihkan tubuhnya di sungai. Dia juga mencuci satu dari dua stel baju yang ia bawa.

Din, salah satu pertapa, berdiri di antara pohon-pohon bambu. Foto oleh penulis.

Untuk urusan perut, Din banyak mengandalkan sedekah dari para peziarah yang sering datang membawa berbagai panganan. Sedekah itu mereka berikan setelah Din mengantar peziarah masuk ke Gua Padepokan. Untuk melepas dahaga, ia meminum air dari mata air yang mengalir ke sungai tak jauh dari gua. Din percaya air bersih dan segar dari sungai itu membawa kebaikan, satu di antaranya membuat awet muda. "Rugi jauh-jauh ke sini tidak merasakan khasiat air. Silakan wudhu atau cuci muka," kata Din. Jika ia tak terlalu sibuk, ia akan menyapu halaman sekitar gua, membersihkannya dari daun-daun kering.

Din memasrahkan diri selama menjalani ritual pertapaannya. Ia berharap hidupnya akan jauh lebih baik selepas menyelesaikan misinya. Ia belum bisa memastikan mengakhiri pertapaannya. "Sesuai panggilan hati saja. Aku berserah diri," kata Din.

Iklan

Tak semua pertapa menghabiskan perlu berbulan-bulan untuk menyepi. Jafar Ali, pertapa asal Banyuwangi mengaku telah 50 kali bertapa di Gua Istana dalam beberapa tahun terakhir. Tidak seperti Hardi dan Din Jafar bertapa cukup satu atau dua hari dalam waktu yang berbeda-beda. Bila dia berniat datang ke gua, ia datang. Bila sedang tidak ingin datang ya dia tidak ke sana.

Setiap kali semedi, ia membawa bekal makanan, misalnya nasi dan lauk, juga minuman dari rumahnya untuk memenuhi kebutuhan selama menjalani ritual di gua. Kadangkala peziarah memberikan makanan untuknya. Air minum yang ia bawa seringkali habis, sehingga Jafar tak ragu mengambil langsung tiap bertemu mata air. "Airnya jernih dan bersih. Selama ini aku tak pernah sakit perut," katanya.

Selain sebagai tempat bertapa, Hutan Alas Purwo juga dikenal sebagai tempat bermukim banyak hewan liar maupun satwa dilindungi. Berjarak 272 kilometer dari Ibu Kota Jawa Timur, Surabaya, hutan seluas 43.420 hektare ini disebut sebagai penyangga biosfer dunia oleh UNESCO. Binatang dilindungi seperti banteng dan harimau berkeliaran liar di sana.

Pintu gua dilihat dari lokasi pertapaan.

Tapi, hewan-hewan itu kata Jafar tak pernah mengganggu pertapa. Ia kerap menjumpai babi hutan, kera ekor panjang, biawak, dan ayam hutan. Hewan-hewan itu justru berlarian ketika berpapasan dengan manusia. Ia tak pernah punya pengalaman buruk dengan hewan di sana oleh sebab itu ia tak pernah berat hati bulak-balik puluhan kali ke Gua Istana. Pertapaan 50 kali itu menurut Jafar membuatnya punya kemampuan melihat persoalan yang dialami orang lain. Ia seringkali diminta bantuan atau semacam konsultasi dari orang yang punya masalah. Misalnya orang yang sakit keras. "Aku sering diminta tolong dan mendoakan orang-orang yang sakit," kata Jafar yang juga ahli obat herbal itu.

Iklan

Semua pertapa menurut Jafar mengerti betul norma-norma yang harus dipatuhi. Misalnya tak boleh mengambil apapun dari hutan dan dilarang menanam tumbuhan apa saja di hutan lindung itu. Mereka juga tidak boleh punya pikiran kotor, misalnya mencuri, mengumpat, dan melakukan hal-hal buruk lainnya.

Mereka percaya bencana datang menemui orang-orang yang melanggar pantangan itu. Misalnya ada cerita pertapa yang hilang tertelan kegelapan hutan. Ada pula kisah seorang pertapa yang gila selama tiga hari sepulang dari Alas Purwo.

Mitos-mitos Alas Purwo hingga kini masih bertahan. Petugas penjaga hutan ikut mengamini mitos-mitos itu. Suwandi, petugas pos Pantai Pancur Taman Nasional Alas Purwo mengatakan Alas Purwo dipercaya penuh kekuatan mistis.

Setiap orang yang berkunjung ke sana dilarang memburu satwa liar, pantang membakar hutan, dan dilarang keras membawa apapun dari hutan. Bila orang melanggar semua aturan itu, maka marabahaya mendera orang itu. “Enggak boleh macam-macam di Alas Purwo. Anda bisa tak selamat,” kata Suwandi. Selalu ada cerita baru tentang mitos-mitos itu ketika ia bertemu penjaga hutan maupun pertapa. Misalnya mitos tentang orang yang tersesat karena datang ke Alas Purwo dengan hati yang kotor. Cerita lainnya adalah orang yang tiba-tiba berada di gua setelah beristirahat di rumah. Mitos-mitos ini sengaja tak sengaja terus direproduksi untuk kepentingan kelestarian alam. Hal ini dibenarkan oleh sejarawan UGM Sri Margana yang pernah menulis tentang sejarah Blambangan, Banyuwangi untuk program doktoralnya di Universitas Leiden, Belanda.

Dari segi keilmuan, para peneliti percaya Alas Purwo banyak menyimpan potensi arkeologis dan etnohistoris karena tempatnya terisolasi sehingga besar kemungkinan ditemukan peninggalan dalam keadaan utuh dan asli. Hutan Alas Purwo diyakini tak banyak mengalami perubahan selama ratusan tahun, dari sudut pandang ekologis diduga tertua dibanding hutan-hutan lain Pulau Jawa. Peninggalan di lokasi ini juga terbilang lengkap, mulai dari peninggalan pra sejarah, era Hindu, Islam, peninggalan pembantaian anggota PKI, juga pembunuhan dukun yang dulu sempat ramai di Jawa Timur sepanjang kurun 1980-1990'an.

Sementara, mitos-mitos yang bertahan hingga sekarang bagian dari mitigasi untuk melindungi hutan. Bahkan, para polisi atau penjaga hutan ikut serta menyebarkan mitos sebagai satu dari sekian cara menjaga kelestarian hutan. “Kepercayaan lokal itu terus direproduksi dan efektif menjaga hutan ketimbang sekadar papan peringatan. Ini mitigasi lingkungan,” kata Margana.