FYI.

This story is over 5 years old.

Distopia dan Utopia

Utopia Versiku: Bertahan Hidup Tanpa Gawai Modern di Pulau Kosong Dekat Markas Abu Sayyaf

Banyak orang menuntut millenials berani meninggalkan zona nyaman. Cuma, jangan senekat aku juga yang datang ke pulau kosong dekat zona merah rawan penculikan orang asing.
Alice .
oleh Alice .
Semua foto oleh Dennis Wu.

VICE Indonesia merilis rangkaian cerita mengenai gagasan distopia maupun utopia di negara ini, bersamaan dengan tayangnya VICE Magazine Edisi Dystopia and Utopia. Kali ini kami menyoroti utopia versi generasi millenials: meninggalkan hiruk pikuk kota, lalu menyepi ke pulau kosong tanpa bergantung piranti modern macam ponsel. Mampukah kita bertahan? Kontributor kami memberi jawabannya.

Dalam liputan lainnya, VICE mengangkat cerita tentang mereka yang percaya utopia Kerajaan Nabi Sulaiman di Tanah Air, hadirnya kota buatan sebagai antitesis Jakarta, serta profil Komunitas Eden yang berusaha memperjuangkan kebebasan beragama jelang kiamat,

Iklan

Pulau terpencil sekilas terasa membosankan di era modern ini. Saat mendengar istilah “terpencil”, mungkin kamu membayangkan lokasi kapal karam, pulau kosong tempat pelaut terdampar, atau malah persembunyian bajak laut. Semua hal yang menyeramkan lah pokoknya.

Setidaknya kamu pasti pernah barang satu atau dua kali berkhayal terdampar di pulau tak berpenghuni. Kayaknya asyik ya, andai bisa terbebas dari kerjaan kantor yang menumpuk. Itulah kenapa biro perjalanan wisata menawarkan paket menginap di pulau-pulau resor yang mahal, atau paket tur pribadi—ditawarkan contohnya sama DoCastaway—yang memungkinkanmu tinggal di pulau tak berpenghuni selama beberapa minggu. Kamu hanya perlu merogohkocek lumayan banyak, kalau ingin merasakan langsung bertahan hidup di pulau antah-berantah.

Padahal, kukasih tahu nih, kamu tidak perlu bayar terlalu mahal kalau ingin merasakan jadi penghuni pulau kosong. Kamu bisa kok menghidupkan adegan mirip film Cast Away dengan biaya terjangkau asal tahu lokasi yang pas. Jakarta saja punya 100 pulau terpencil di Kepulauan Seribu. Atau pilih saja ribuan pulau lainnya yang tersebar di Indonesia maupun Filipina. Aku mengambil keputusan ekstrem mendatangi salah satu pulau terpencil Laut Sulu, sisi selatan Filipina.

Sebelum berangkat, aku tentunya harus mengasah kemampuan survivalku. Aku besar di Indonesia—negara tropis dengan kepulauan yang tak terhitung jumlahnya—tapi aku tidak tahu sama sekali cara bertahan hidup di alam bebas. Aku sudah terbiasa hidup enak dan nyaman. Bagiku, tinggal di Amerika jauh lebih berat secara fisik, apalagi saat musim dingin.

Iklan

Tidak peduli seberapa minim wawasanku, aku bersikeras untuk pergi ke pulau terpencil dan hidup bebas layaknya Tom Hanks dan Wilson. Aku yakin bisa bertahan hidup di sana dengan mengandalkan akal dan peralatan yang kubawa.

Memang, aku sempat ragu. Apa yang harus kulakukan kalau cuaca sedang buruk? Bagaimana kalau aku diserang kera iseng, disengat ubur-ubur, atau bertemu hiu buas? Apa ada makanan dan minuman di pulau itu? Apa saja yang harus kubawa agar bisa bertahan hidup?

“Kamu tidak perlu bawa apa-apa,” kata Tom McElroy, petualang sekaligus pakar bertahan hidup yang muncul di Discovery Channel untuk mengupas tuntas cara bertahan hidup dalam kondisi sulit. “Kamu bisa menemukan semua yang dibutuhkan di alam bebas. Itu prinsip utama ilmu kami.”

Gitu doang? Masa sih? Aku masih belum puas.

“Kamu bisa bawa pisau buat jaga-jaga,” imbuhnya. “Kemampuan tali-temali juga sangat berguna. Misalnya buat berlindung dari cuaca buruk, kamu boleh bawa benda yang anti air. Korek juga penting.”

Nah, gitu dong. Instruksinya jauh lebih jelas sekarang. Aku nonton lagi Cast Away dan The Blue Lagoon demi membulatkan tekad. Aku tekun menonton tiap adegan sambil mengingat segala sesuatu yang kubutuhkan. Kayaknya bola voli bisa sangat berguna. Atau, batok kelapa cocok jadi benda penting cadangan. Kedua, kalau tidak ada baju yang bisa dipakai, kamu bisa menutup dada pakai yang kita gerai sekumal mungkin agar tetap sopan.

Iklan

Aku jorok dan suka mengoleksi benda-benda enggak penting, mirip banget sama karakter Tom Hanks di film Cast Away. Alah, bisa deh. Tekadku makin bulat!

Aku yakin nanti butuh kelapa untuk bertahan hidup di pulau tak berpenghuni. Artinya aku mesti belajar panjat pohon kelapa berarti. Untungnya temanku di Singapura ada yang mau melatihku cara memanjat pohon kelapa dan mencabut buahnya. Setelah beberapa kali latihan, akhirnya aku sukses juga. Trik terpentingnya yaitu cobalah memeluk batang pohon dan bergerak ke atas secara perlahan. Benar-benar menguras tenaga. Pahaku sampai lecet-lecet. Kabar baiknya, aku sudah berhasil mencabut buah kelapa langsung dari pohonnya.

Panjat pohonnya sudah bisa. Sekarang aku perlu belajar membelah buahnya. Saat aku pulang ke Jakarta, aku mengunjungi salah satu penjual es kelapa muda di dekat kantor VICE Indonesia. Aku meminta si abang penjual mengajarkanku cara mengupasnya. Dia pun membelah kelapa dengan golok. Oke, berarti aku harus bawa golok nanti. Ada untungnya juga kalau bawa golok. Selain bisa buat membelah kelapa, aku juga bisa menggunakannya untuk melawan kera-kera yang berusaha mencuri barang bawaanku.

Kurasa sudah cukup persiapannya. Sekarang tinggal pilih lokasi. Pulau Seribu terlalu dekat. Mana seru kalau masih di sekitaran Jakarta juga. Agar lebih menantang, pilihanku jatuh pada pulau tak berpenghuni di Palawan, provinsi di Filipina selatan dekat Laut Sulu. Ketika menceritakan pilihan pulau ini ke editor, mata mereka berdua membelalak. "Seriusan mau ke sana?"

Iklan

Aku membalas cepat. Polos dan naif. "Emangnya kenapa?"

Pulau pilihanku itu ternyata masih tetanggaan sama pulau Basilan—markas besar komplotan teroris Abu Sayyaf, organisasi terafiliasi sama Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang rajin melakukan aksi penculikan orang asing. Palawan jarang dijadikan destinasi utama oleh para turis asing di Filipina, padahal alamnya indah banget.

Kenapa? Ya karena komplotan Abu Sayyaf seringkali mengincar turis asing di pantai-pantainya untuk jadi sandera. Dua tahun lalu ada sandera asal Kanada yang dipenggal para militan, karena pihak Abu Sayyaf tak dapat tebusan. Ya ampun, makanya ongkos ke sana murah. Nyawa taruhannya. Duh, tapi terlanjur kubayar, aku hanya bisa pasrah (selain memang aku terlalu sayang uangnya, hahahaha).

Tibalah hari ketika aku bersiap menuju El Nido, julukan pulau indah dan pusat wisata di Palawan, sekaligus titik peradaban terakhir sebelum naik kapal ke pulau terpencil itu. Di kapal, aku sedikit cemas (mikirin lokasinya yang dekat markas Abu Sayyaf), tetapi juga girang sekaligus takut. Ada banyak hal yang bisa berjalan di luar rencana. Aku berusaha mebesarkan hati. Kemungkinannya kecil kali sampai diculik oleh bajak laut teroris. Tapi, makin menghibur diri, makin bertambah aja rasa cemas itu. Bodo amat. Aku memantabkan niat di atas kapal.

Pada akhirnya, inilah yang kubawa untuk bertahan hidup: satu pisau sekaligus pemantik api, satu tempat tidur hammock, tali sepanjang 40 meter, satu terpal biru (buat dipakai kalau hujan), dan satu buku new-age membahas cara mengatasi kebosanan berjudul The Power of Now. Eh kelupaan, sama satu botol air bersih.

Iklan

Berbekal itu semua, aku berangkat akhirnya berangkat ke Palawan. Di malam pertama sampai lokasi resor wisata, aku menginap di Outpost Beach Hostel, El Nido. Di situ staf hotel membantuku bertemu seorang nelayan lokal. Pak nelayan tadi bersedia membawaku ke pulau tak berpenghuni deka El Nido. Sip. Makin enggak bisa tidur mengingat kemungkinan diculik Abu Sayyaf.

Pagi harinya, aku bangun subuh-subuh, membawa enam barang tadi, mengenakan pakaian lengan panjang, celana panjang, dan kain yang kubalut di kepala seperti hijab. Selain itu, aku sekalian pakai kacamata renang. Kain itu fungsinya melindungi wajahku dari sinar matahari, tapi yang terpenting, biar aku kayak pakai hijab. Siapa tahu bisa mengelabui teroris, jadi mereka mengira aku perempuan konservatif baik-baik dan sebaiknya tidak diculik (Yakali!). Aku memutuskan enggak bawa pakaian dalam, cuma bawa satu bikini, dan sepasang sepatu kets.

Aku jadi terlihat mirip mahluk asing yang suka mencuri droid di seri Star Wars, tapi ya bodo amat lah, toh gak ada yang lihat. Ya ada sih yang lihat, temanku bernama Dennis Wu, yang menemaniku sambil bawa ponsel (kalau-kalau terjadi keadaan gawat darurat) dan kamera (untuk mendokumentasikan perjalanan selama membuat artikel ini). Tapi yaudahlah ya, dia gak akan peduli.

Ombaknya kecil saat kami pergi dan kami harus menggeret perahu nelayan ke laut sebelum menyalakan mesinnya. Langitnya abu-abu dan gerimis. Aku pengin bilang ke semua orang kalau perjalanannya seru ya. Padahal dalam hati aku takut setengah mati. Aku meninggalkan tempat tidur yang nyaman di Jakarta, sobat-sobat, bir-bir kesayanganku, semua demi apa coba? Gantinya aku ke pulau yang enggak punya penjual makanan, tanpa atap, dan tanpa kejelasan jalan pulang. Kok bisa sih aku berpikir ini ide bagus?

Iklan

Perahu ini melaju di atas air biru yang indah sebelum kapten akhirnya menunjuk ke arah sebuah pulau kecil di depan kami. “Tuh,” katanya. “Namanya pulau Cadlao.”

Pulau ini adalah tebing-tebing yang dipenuhi tanaman hijau. Aku memandanginya beberapa saat sambil mencoba memahami apa yang kulihat. Pulau ini mah bukan sekedar tak berpenghuni. Pulau ini menyeramkan, dan berbeda sepenuhnya dari bayangan awalku.

“Loh pantainya mana?” tanyaku blo'on. “Mana pohon-pohon kelapa?”

“Itu,” kata kaptennya, menunjuk ke arah area kecil berpasir putih. “Pantai Pasandingan.”

Aku menjadi lebih lega saat melihat pantai dan beberapa pohon kelapa. Lagi-lagi, dengan naifnya, aku bertanya pada sang kapten kapal. “Hewan liar gitu banyak enggak di sini?”

“Oh, banyak dong,” kata kaptennya sembari menurunkan jangkar. “Monyet-monyet, kadal-kadal, ular besar…”

“Ular besar?!”

“Iya, ularnya segede pohon,” kata si kapten sambil tersenyum. Menunjukkan gigi yang penuh noda bekas nikotin dan kafein. “Banyak warga sini yang kadang kamping di pulau itu untuk memanen kelapa dan menjualnya ke turis-turis. Tapi baru-baru ini mereka bilang ada ular besar yang bisa menghabisi anjing sekali lahap. Temannya sepupu adik saya diserang saat dia tidur. Itulah kenapa pulaunya sekarang kosong.”

Aku memandangi si kapten beberapa detik, sebelum akhirnya nyeletuh, “terus kenapa bapak bawa saya ke pulau kayak gini sih?”

“Lah, katanya mbak mau ke ‘pulau tak berpenghuni,’” katanya. “Pulau ini kosong.”

Iklan

“Tapi kan jangan yang ada ularnya juga Pak!” ujarku yang mulai mewek ketakutan.

“Tenang,” ujarnya. “Pokoknya nyalakan aja apinya terus sampai pagi. Kamu akan baik-baik saja.” Lalu dia menjatuhkan barang-barangku di pantai dan kembali ke perahunya, meninggalkanku sendirian (ada Dennis sih, tapi dia kan enggak penting di cerita ini) di pulau kosong yang ternyata penuh ular besar.

OK. Tenang dulu, aku pikir dalam hati. Tak boleh panik dulu. Lagian, aku baru di sini beberapa menit. Aku lantas berjalan menyusuri sepanjang bibir pantai. Butuh waktu 15 menit untuk berjalan dari satu sisi pantai ke siisi lainnya. Aku juga sadar kalau satu ombak tinggi sampai ke pantai ini, beres semua nasib barang-barang yang aku bawa. Jadi, aku harus mendirikan tenda lebih jauh ke dalam pulau bila mau tetap kering.

Beruntung, aku menemukan sebatang pohon yang tingginya cukup, tepat di titik pertemuan antara hutan dan pantai. Tak mau buang-buang waktu, aku langsung menggantong hammock antara dua batangnya. Sesudah itu, aku merentang tali di atas hammock dan mendirikan tenda berbentuk huruf A. beberapa detik berselang, aku langsung ambruk dan tidur siang untuk beberapa lama. maklumlah, ini mungkin kegiatan paling melelahkan yang aku lakukan selama beberapa bulan terakhir.

Sore itu, aku bangun dan berniat mencari makan. Kepercayaan diriku jadi lumayan tinggi setelah berhasil mendirikan tenda. Aku tak sabar mencoba keahlian bar memanjat pohon kelapa. Dengan suasana hati yang riang, aku berjalan menunju kerumunan pohon kelapa di sisi dalam pulau. Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di bawah batang-batang pohon kelapa itu. Kepalaku mendongak, mataku terpaku pada batang pohon kelapa yang tinggi dan anggun serta…..tak memiliki satupun buah kelapa.

Iklan

Ok. Tenang dulu, begitu batinku. Enggak usah berlebihan dan lebay. Lagian, aku baru di sini beberapa menit. Setidaknya ada 20 pohon kelapa di pulau itu dan semuanya tak berbuah. Cakep! Persoalannya, kok bisa-bisanya semua pohon ini sepakat tak berbuah? Biar lebih jelas, aku malah naik salah satu pohon. Niatnya sih agar bisa menemukan pohon kelapa yang berbuah. Nihil. Tak ada satupun yang berbuah. Belum mau menyerah, aku melihat beberapa pohon di sekitarku. Salah satu dahan pohon kepala itu bergerak. Ah paling monyet, pikirku. Monyetlah yang menggondol semua kelapaku.

Kalaupun ada yang disisakan sang monyet, buah-buah kelapa itu pasti sudah diambil oleh keponakan sang kapten dan teman-temannya serta dijual pada turis-turis yang kehausan di El Nido. pikiranku melayang pada turis-turis itu, para backpacker manja yang ke mana-mana pakai celana pendek yang nyaman serta punya tempat bermalam yang lebih manusia. Aku keki. Kurang dari 24 jam lalu, aku sebenarnya salah satu dari mereka juga. Sekarang, aku membenci segala jenis backpacker. Hadeh, kesulitan hidup memang cepat sekali mengubah seseorang ya, aku pun demikian.

Tantangan berikutnya adalah membuat api. Aku keluarkan pisau pembut api baruku dan mulai mengerjakannya. Aku langsung dihadapkan dengan kenyataan pahit: membuat berbekal sebatang logam bukanlan pekerjaan yang enteng. Aku terus mencoba menciptakan percikan api sampai tanganku sakit dan jariku kaku. Lebam? Jangan tanya deh. Akhirnya, satu percikan api muncul tapi nyalanya tak lama sehingga aku kelabakan menjaganya tetap hidup. Aku langsung meletakan kulit kayu. Cuma percuma. Permukaannya terlalu lembab untuk bisa dibakar api kecil yang baru aku buat.

Iklan

Aku mulai lemas karena perutku belum terisi. Aku baru bertualang satu hari. Jadi mungkin ini terkesan cengeng. Tapi nanti dulu, seharian panas-panasan di bawah sengatan matahari, bikin tenda dan memanjat pohon kelapa bisa bikin siapapun tepar. Beruntung, mataku tertumbuk pada sebuah buah kelapa tua yang tergeletak di tanah.

Aku mencoba mengupasnya dengan pisau kecilku. Oh ya, aku tak jadi membeli golok karena tak yakin benda tajam sebesar itu bisa dibawa dalam sebuah penerbangan internasional.

Jelas, aku tak berhasil mengupas atau membela kelapa tua itu. Wong cuma mengandalkan pisau kecil. Tak patah arang, kelapa itu aku hempaskan ke bebatuan di pulau itu. Begitu batoknya pecah, aku susah payah mengambil dagingnya dengan jari-jariku yang sudah kadung kecapaian. Ujung-ujungnya, aku kehabisan tenaga lagi—saking habisnya tenagaku, aku tak sempat mikir apakah daging kelapa itu cukup menggantikan semua tenaga yang aku gunakan untuk membuka batoknya.

Setelah entah beberapa lapa, aku berjalan masuk tenda. Di sana, aku pakai pisauku untuk membuat dua lubang di batok kelapa tua keparat itu. Setelah berhasil, aku tempelkan mulutku dan menarik kepalaku agak ke belakang, mulai meminum air kelapa itu. Tiba-tiba, aku sadar ada yang salah. Kelapa itu sudah busuk! Airnya terasa seperti air rendaman ikan mati, pokoknya tak enak dan menjijikkan. Aku segera lempar buah kelapa tersebut. Aku mulai berusaha memuntahkan air kelapa yang baru saja aku minum. Di tengan usahaku mengeluarkan air kelapa jahanam itu, aku sempat melihat dua belatung keluar dari lubang yang aku buat. Dan, dua binatang kecil itu sudah cukup bikin isi perutku keluar lewat mulut.

Iklan

Dalam keadaan trauma dan badan yang gemetaran, aku membasuh mulutku dengan air dan naik hammockku. Hari pertamaku berlalu bak bencana dan aku tak berniat mengulang kekacauan ini di hari kedua. Makanya, aku pikir lebih baik istirahat dan mereset semuanya, sembari berharap kalau besok keadaan jauh lebih baik.

Matahari sudah mulai terbenam, api yang aku buat semalam menyisakan suara berdesis dan nyalanya sudah hampir habis. Asap masuk ke tenda dan mengakibatkan aku terbatuk. Brengsek. Situasi macam ini seperti tak pernah dialami Brooke Sheield di The Blue Lagoon. Percaya deh. Terdampar di pulau terpencil itu tak melulu tentang berenang bugil dan penumbalan manusia. Hidup di pulau terpencil juga berarti kerja keras, buah kelapa berisi belatung dan api yang sudah dinyalakan. Pokoknya berat dan nyebelin. Sekarang yang aku butuhkan adalah tidur nyenyak dan melupakan semua itu.

Ternyata untuk tidur juga butuh perjuangan. Pulau ini sangat menyeramkan di malam hari. Aku terus mendengar suara aneh dari kegelapan pekat di sekitarku, suara-suara yang bikin aku berpikir bakal ada kadal besar atau ular yang menyelinap masuk tenda. Bahkan satu kali, sesuatu jatuh dan menimpa tende terpalku. Aku bertanya-tanya jangan-jangan itu monyet? Atau lebih parah lagi, ular? Bodo amat. Aku tak mau cari tahu. Aku tetap anteng di hammock, pura-pura mati dan berbaring tanpa bergerak sedikitpun.

Rasa lepar menyerang beberapa kali. Perutku melilit dan memaksaku bernafas pelan-pelan sampai sakitnya hilang. Akhirnya, karena terlampau capek, aku ketiduran juga menjelang subuh.

Iklan

Keesokan harinya aku bangun dengan dengan badan remuk, lapar dan sedikit pusing. Untungnya, aku masih punya tenaga untuk mencari makanan. Di film Castaway, Tom Hanks bisa menombak ikan tak jauh dari bibir pantai. Merasa bisa melakukan hal serupa, aku menajamkan ujung sebuah tongkat kayu dan mulai beranjak ke laut.

Garis pantai pulau itu dipenuhi hamparan terumbu karang warna-wani dan jutaan ikan kecil yang berenang luar biasa cepat. Aku mulai bereng makin jauh dan sadar kalau makin jauh dari pantai, ombaknya makin menyeramkan.

Kakiku terluka karena terumbu karang yang tajam. Tak punya pilihan, aku memilih kembali ke pantai. Aku pun berjalan ke hammockku dalam keadaan lapar, agak pusing dan, kali ini, berdarah. Sepanjang perjalanan menuju tenda, aku tak henti-henti mengutuk Tom Hanks yang sudah bikin aku percaya hidup dari hasil laut itu gampang.

Ujung-ujungnya, aku menyerah juga. Tak ada makanan di pulau ini. Aku ngedumel sendiri karena lebih memilih membaca buku, bukannya protein bar untuk kondisi darurat seperti ini. Tapi, setidaknya aku harus kuat sampai hari ini berakhir. Setelah mengumpulkan sisa-sisa kekuatan dalam diri, aku akhirnya memutuskan untuk menggunakan skill-skill yang lebuh umum: kemampuan melupakan kalau perut kerinconganku minta diiisi. Aku kan perempuan dan perempuan biasanya melakukan ini biar bisa lebih kurus, jadi kenapa aku tak bisa melakukannya di pulau ini?

Tak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu. Lagipula, sebelumnya, aku sudah berpesan pada kapten kapal yang kunaiki untuk menjemput hari itu, cuma agak sorean. Aku bersyukur melakukannya. Barangakali inilah keputusanku yang paling brilian selama perjalanan ini. Guna mengisi waktu, aku mulai membaca The Power of Now. “Makna esoterik dari ‘menunggu’ adalah sebuah kunci menuju pencerahan,” kata buku tersebut.

Menunggu, masih menurut buku itu, konon memungkinkan kita memusatkan perhatian pada apa yang terjadi saat ini dan karenanya memberikan kita wawasan akan realita yang kita hadapi saat ini. Ya kira-kira begitulah. Bercermin dari buku ini, aku sadar kalau realita yang aku hadapi saat ini adalah sekumpulan pilihan bodoh yang bikin aku terdampar di pulau tanpa makanan ini. Mungkin, harusya aku baca dulu buku ini jadi aku bisa mereflesikan betapa bodohnya rencana menjajaki hidup sebagai orang yang terdampar di pulau terpencil.

Aku pun menutup mata dan membiarkan diriku lelap dibuai ketengan pulau ini. Hammockku bergoyang pelan ditiup angin sepoi-sepoi. Suara deburan ombak bikin aku makin santai. Untuk beberapa saat, aku berada tepat di antara kondisi sadar dan tidak—kondisi yang melenakan jika kamu sedang terdampar di sebuah pulau indah.

Akhirnya, begitu matahari hampir tenggelam, perahu yang aku tunggu-tungggu datang juga. Aku langsung naik. Mataku terus terpaku pada pulau yang makin lama makin kelhatan kecil. Aku merasa lebih ringan—mungkin selama di pulau aku cuma bete doang, siapa tahu?—dan lega.

Jadi, apa aku bisa bertahan di pulau itu? Bisa dibilang begitu sih. Tapi, aku tak sanggup kalau harus mengetes kemampuan survivalku lebih dari satu hari.

Apa aku akan mengulangi petualangan semacam ini? Enggak deh.

Eh tunggu dulu. Masih bisa sih kuulangi lagi. Terutama kalau aku ingin menurunkan berat badanku barang beberapa kilogram, petualangan macam ini wajib banget aku coba.