FYI.

This story is over 5 years old.

Percintaan

Bisakah Kita Dianggap Selingkuh Kalau Sering Chatting Sama Selain Pacar?

Mau cowok atau cewek pasti punya teman dekat lawan jenis dong. Masalahnya sehat ga sih bagi hubungan percintaan, kalau kita keseringan ngirim sms/whatsapp/line ke teman itu yang nuansanya intim?
Syarafina  Vidyadhana
Diterjemahkan oleh Syarafina Vidyadhana

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Seperti sering kita saksikan di sinetron atau opera sabun, tindakan yang bobotnya lebih buruk dari berbuat jahat adalah… menyembunyikannya dan pura-pura bego. ("Kalau kamu enggak ngerasa itu salah, kenapa ditutup-tutupin?" "Kalau itu 'bukan apa-apa' kenapa takut aku marah?") Kerahasiaan menyiratkan rasa bersalah. Selingkuh juga begitu. Kalau dilakukan sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan, sudah pasti ini tindakan keliru. Tapi, dengan teknologi masa kini—yang memungkinkan DM, sexting, kirim-kiriman meme, dan curhat ke orang yang bukan pasangan kita dilakukan kapan saja seharian—definisi perselingkuhan jadi buram. Apa benar-benar ada yang namanya kirim-kiriman selfie "iseng", atau pesan platonik "kangen nech" pukul 2 dini hari? Bisakah kita bertukar pesan setiap hari dengan seseorang yang duluuuu banget pernah ngaku naksir, pas lagi makan indomi di warkop berduaan? Bisakah kita berdalih, itu kan dulu, sekarang udah santai kok? Menurutku, sih: Ya. Mungkin aja lho. Dalam situasi-situasi tersebut, kita mesti berpegang teguh pada kejujuran dan komunikasi sama pasangan sebagai prinsip dasar. Jika dan hanya jika, kita menyembunyikan hal-hal seperti itu dari pasangan—atau setidaknya tahu betul bahwa pasangan kita akan gelisah kalau melihat ada foto titit (yang bukan punya dia)—itu sudah bisa masuk kategori selingkuh. Beda urusannya kalau kamu dan pasanganmu cukup santai dan sepik-sepik di sosmed sama orang lain termasuk dalam kesepakatan kalian, ya itu mah asyik banget. Monggo. Waktu dan tempat dipersilakan. Baiklah. Gimana kita menetapkan batasan selingkuh dari perkara chatting ini dong?

Iklan

Seorang perempuan yang memiliki hubungan monogami yang kuhubungi mengaku bakal sakit hati banget kalau tahu pasangannya saling berkirim pesan intim sama orang lain, tanpa sepengetahuannya. Bagian tanpa-sepengetahuan-kita adalah bagian terburuknya. "Saya kayaknya enggak akan langsung menyebut tindakan itu selingkuh, tapi sejujurnya, pengertian selingkuh atau bukan-selingkuh udah enggak jelas buat saya," tulisnya saat menjawab pertanyaanku via surel. "Bakal bagus, sih, kalau kita bisa ngasih tahu pasangan kita bahwa kita punya teman-teman dekat, bahwa mereka penting buat kita, dan pasangan kita sebaiknya menyesuaikan diri dengan keadaan ini. Bayangan bahwa seseorang hanya bisa intim dengan satu orang lain—pasangannya—menurut saya rada gila sih." (Perempuan ini menutup surelnya dengan: "Sending you lots of love! (yang artinya, kalau kamu cowok, ini bisa disebut selingkuh???)")

Narsum perempuan berbeda, yang sudah pacaran lama, mengaku akan "menganggap suatu tindakan itu sebagai upaya selingkuh" kalau pasangannya memiliki hubungan emosional lain dengan perempuan di internet tanpa pernah berusaha ngasih tahu. "Kalau dia ngobrol di sosmed sama cewek yang punya kesamaan hobi dan obrolan mereka non-seksual, lalu ngasih tahu gue… gue bakal merasa terancam, karena gue kadang cemburuan dan insecure, tapi gue enggak akan menganggap hal itu sebagai selingkuh," ujarnya. "Gue bakal ngobrolin ini sama cowok gue, dan berupaya memahaminya dan mikir sebaiknya gimana." "Hubungan romantik di mata gue adalah soal menemukan seseorang untuk berbagi, enggak cuma sekadar tubuh, tapi juga emosi, insecurities, dan kebiasaan-kebiasaan menjengkelkan," lanjutnya. "Kalau gue tiba-tiba tahu dia menjalin hubungan yang sama dengan cewek lain, dan nyembunyiin hal itu dari gue, gue bakal sakit hati sih. Kalau itu bukan perselingkuhan, dan mereka emang akrab aja, harusnya cowok enggak akan keberatan ngenalin supaya kita bisa nongkrong bareng."

Iklan

Sameera Sullivan, konsultan percintaan di lembaga Lasting Connections, tidak bisa menolerir keintiman emosional yang dijalin secara rahasia di luar hubungan inti. "Menjalin hubungan emosional selain sama pasangan kita ya namanya selingkuh," katanya. "Mau itu sexting kek, chatting biasa kek, itu adalah pelanggaran kepercayaan dan kesetiaan. Respek dan kepercayaan adalah prioritas nomor satu untuk hubungan yang sehat. Kalau hal tersebut dirusak, akan sulit untuk memperbaikinya."

Nah, karena interaksi emosional dan menjurus kayak gitu bisa membuka jalan pada perselingkuhan fisik, logika ini bikin siapapun serba salah. Apa kita harus ngasih ancang-ancang ke pasangan, setiap kali kita memulai obrolan bermakna dengan orang lain? Emangnya salah, ya, mempunyai keinginan untuk menjalin pertemanan—yang seringkali bisa jadi ambigu—yang terpisah dari hubungan monogami jangka panjang kita dengan pasangan? Intinya, sebuah hubungan sehat dan jujur bisa jadi berbeda bagi tiap orang. "Setiap pasangan seharusnya bisa menetapkan dan menyepakati batasan-batasan hubungan monogami mereka sendiri," seorang teman bilang padaku. Aku setuju sih. "Karena kalau suatu hal tidak mengganggu seseorang, itu bukan selingkuh. Kalau mengganggu, dan [pasangan mereka] melakukannya secara sembunyi-sembunyi, maka itu selingkuh." Seorang teman yang mempunyai hubungan longgar sama pasangannya mengamini sentimen ini. "Aku pernah ngeliat foto-foto titit di ponsel pacarku, yang mana aku awalnya enggak peduli… karena dia enggak mencoba menyembunyikannya," ujarnya. "Kami sering saling ngasih tunjuk foto-foto telanjang yang dikirim orang lain. Tapi bisa jadi saya bete kalau foto-foto itu dibuatkan folder khusus dan diberi password. Selama dia jujur, rasanya itu bukan selingkuh. Kalau sembunyi-sembunyi tuh, barulah saya putusin."

Iklan

Jelas-jelas memang ada tujuan ke arah selingkuh di pesan teman cowokku, karena itu dia menyembunyikan arsip pesan kami dari pacarnya, supaya enggak kena masalah.

Sebagai seseorang yang enggak punya hubungan romantis atau eksklusif atau apapun (alias jomblo, sis), persoalan selingkuh ini jarang jadi pikiran. Meski begitu, aku sering terima DM centil dari cowok-cowok yang—jelas-jelas—udah punya pacar, dan bahkan udah tunangan atau menikah. Aku sangsi pasangan-pasangan mereka ngajak tos saat mereka ngirim pesan ke saya, "Kabarin yah kalau kamu pas lagi di Yogya ;)." Aku enggak akan melupakan masa-masa chatting bareng penulis komedi selama seminggu (EMANG YE) yang aku kenal lewat Tinder tiga tahun lalu. Kami akrab banget, sampai bikin janji ketemu beberapa kali, eh tapi terus dia bilang dia punya pacar yang tinggal di kota lain… tapi ya hubungan mereka cukup longgar. Setelah aku sibuk ngorek-ngorek, baru dia ngaku pacarnya enggak tahu dia mainan Tinder—atau bahwa hubungan mereka cukup terbuka. (Aku emang ahlinya ngorek-ngorek cowok, meski ketika aku enggak peduli.) Dia menghapus Tinder-nya, dan aku nangis-nangis di bawah pancuran. Nah, dia selingkuh enggak tuh? Bukannya aku mau sok jadi detektif di Harap-Harap Cemas ya, tapi: yaiyalah dia selingkuh. Masalahnya bukan cuma dia selingkuh lho, tapi dia juga menyembunyikannya dari pacarnya. Karena apa? Ya karena dia tahu dia salah lah. Dia tidak berlaku adil karena enggak jujur sama aku, sama dia, dan itu menyiratkan tanda bersalah.

Mungkin ini perlu diulang: Sepik-sepik di app selagi kita punya pacar enggak sepenuhnya buruk. Boleh lah kali ini kita nyerempet-nyerempet ke filsuf Perancis. Simone de Beauvoir, yang menyebut hubungannya dengan Jean-Paul Sartre selama 51 tahun "satu kesuksesan absolut dalam hidupku." Mungkin hal tersebut dapat membantu kita memahami bahwa perilaku seperti-selingkuh atau nyerempet-selingkuh akan jadi beneran-selingkuh kalau kesepakatan kedua pihak diterobos. Sartre dan de Beauvoir menetapkan parameter yang mengizinkan masing-masing ganjen-ganjen atau sampai 'ena-ena' dengan orang lain. Tapi kalau parameter tersebut berbeda dengan yang kita punya di hubungan kita, dan kita secara sembunyi-sembunyi mencari stimulasi seksual atau romantis, mungkin kita sebaiknya memikirkan ulang hubungan itu: hubungan yang mewajibkanmu berbohong supaya segalanya baik-baik aja. Dalam The Prime of Life, de Beauvoir menceritakan soal kejujuran yang membebaskan—dari "menjadi saksi" bagi pasangannya:

One single aim fired us, the urge to embrace all experience, and to bear witness concerning it. At times this meant that we had to follow diverse paths—though without concealing even the least of our discoveries from one another. When we were together we bent our wills so firmly to the requirements of this common task that even at the moment of parting we still thought as one. That which bound us freed us; and in this freedom we found ourselves bound as closely as possible.

Seorang perempuan yang akan segera menikah bilang, "Gampangnya gini deh, 'Kira-kira pacar gue bakal bilang apa kalau ngeliat ini?' Dan kalau elo enggak nyaman dengan bayangan itu, itu pertanda buruk." Hukum informalnya, aku rasa, adalah kita enggak boleh jadi bajingan tukang boong. Sayangnya prinsip ini tidak bisa berlaku untuk segala hal. Misalnya, kalau kamu secara eksklusif hanya mau masturbasi sambil nontonin akun Instagram-nya Emily Ratajkowski, ya mungkin sebaiknya enggak usah bilang-bilang pasangan. Ada beberapa hal yang memang lebih baik dipendam sendirian.