Intoleransi

Peliknya Merayakan Natal Bersama di Dharmasraya Berakar dari Perjanjian 54 Tahun Silam

Di Indonesia, jalinan aturan adat dan agama membuat umat minoritas tak semudah itu beribadah saat hari raya. Kasus di Sumatra Barat ini jadi salah satu contohnya.
Larangan Merayakan Natal Dharmasraya Sumbar Berakar dari Perjanjian 54 Tahun Silam
Ilustrasi perayaan Natal di Indonesia. Foto oleh Azqa Harun/AFP

Puluhan keluarga di Jurong (Dusun) Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, menjadi korban kebijakan intoleran. Kesepakatan pada 2017 antara pemerintah, tetua adat, dan pemuda setempat membuat umat kristiani di Kampung Baru harus mendekam di rumahnya sendiri-sendiri saat beribadah Natal hingga tahun ini. Mereka dilarang berkumpul bersama merayakan hari besar agamanya di kampung tersebut karena tidak memiliki gereja sebagai tempat ibadah resmi.

Iklan

Menurut penuturan Program Manager Pusaka Foundation Sudarto, gereja terdekat di Sawahlunto yang berjarak 135 km membuat umat kristiani setempat meminta izin pemerintah untuk menggelar perayaan Natal 2019 bersama di rumah milik salah seorang warga yang biasa mereka sebut Rumah Singgah. Namun, izin tidak didapat.

Pemerintah mengatakan, sesuai kesepakatan dua tahun lalu, perayaan Natal hanya bisa dilakukan di tempat ibadah resmi. Karena enggak ada gereja di Kampung Baru, perayaan bisa dilakukan gereja terdekat dengan bantuan transportasi dari Pemerintah Kota Sawahlunto. Kalau enggak mau ke gereja terdekat, warga dipersilakan Natal di rumah masing-masing tanpa boleh bikin keramaian.

Kasus ini menjadi sorotan nasional sepekan lalu. Pada akhirnya, warga Kristen di Kampung Baru memilih merayakan Natal di rumah.

“Kami sampaikan perasaan sedih karena setelah kami berjuang, teman-teman di Jurong Kampung Baru, Nagari Sikabau (bagian dari Dharmasraya) menyerah. Kami tunduk pada aturan tetapi hati kami menangis. Jadi, tidak apa-apa tahun ini kami tidak merayakan Natal lagi,” ujar Sudarto dilansir CNN Indonesia. Pusaka Foundation adalah lembaga advokasi kebebasan beragama di Sumatera Barat.

Pelarangan perayaan Natal bersama di Dharmasraya memang sudah terjadi sejak 2017. Saat itu, terjadi kesepakatan antara Wali Nagari Sikabau (pemerintah setempat), Ninik Mamak (lembaga adat berbagai suku di Minangkabau), dan pemuda Nagari Sikabau yang menetapkan kebijakan ini. Alasannya, untuk menghindari dampak sosial pada masyarakat mayoritas muslim setempat atas keberadaan rumah yang dijadikan tempat ibadah.

Iklan

Kepala Jorong Kampung Baru M. Jumain, keberatan atas perayaan Natal Bersama di dusun tersebut datang dari tetua adat. “Yang keberatan tu Ninik Mamak karena ada kesepakatan Ninik Mamak pada 2017 tentang pelarangan, itu yang belum dicabut,” katanya kepada BBC Indonesia. Menurut Jumain, meski ada polemik ini sehari-hari warga beda agama di Kampung Baru hidup berdampingan tanpa masalah.

Ketika masalah ini mengemuka, akun Twitter @Arj_Nusantara yang mendaku sebagai warga Dharmasraya mencoba memberi konteks historis atas kesepakatan 2017 tersebut. Menurut keterangannya, Kampung Baru adalah wilayah sasaran transmigrasi yang terjadi pada 1965.

Ada kesepakatan antara pemerintah dan tetua adat setempat bahwa transmigran Jawa yang datang harus beragama Islam. Proses itu berjalan lancar, sampai sejumlah transmigran kembali ke Jawa dan menjual aset mereka kepada pendatang lain beragama nonmuslim.

Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Nagari Sikabau Jamhur Datuk Jati mengatakan, para pendatang ini berasal dari Sumatera Utara. Para pendatang ini kemudian memanfaatkan sebuah rumah untuk dijadikan tempat ibadah bersama dan aktivitas ini langsung menimbulkan gesekan.

Sekretaris Daerah Kabupaten Dharmasraya Adlisman mengonfirmasi bahwa masalah Kampung Baru rumit karena ada satu perjanjian yang dibuat lebih dari setengah abad lalu. “Kampung Baru itu suasananya berbeda. Pada 1965, katanya ada perjanjian sebelumnya. Orang yang datang ke sana tentu mereka harus mengikuti adat istiadat di situ,” ujarnya kepada BBC Indonesia.

Peraturan adat di Kampung Baru ini terbukti begitu kuat sampai-sampai permintaan Komisioner Komnas HAM Beka Ulung kepada Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno untuk menindaklanjuti praktik diskriminasi tersebut gagal. Jabatan setinggi Irwan nyatanya tidak bisa melawan kekuatan konsensus adat saat Irwan mengatakan permasalahan ini dianggapnya sudah selesai di level pemerintah kabupaten karena sudah ada “kesepakatan bersama”.

Awal Desember 2019 survei indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) dari Kementerian Agama (Kemenag) mencatat Sumatera Barat berada di peringkat kedua terbawah sebagai provinsi yang paling rukun, sementara posisi terakhir dipegang oleh Nanggroe Aceh Darussalam.