Pawai “Pink Dot” yang digelar di Singapura untuk mendukung hak-hak komunitas LGBTQ
Pawai “Pink Dot” yang digelar di Hong Lim Park, Singapura, pada 1 Juli 2017. Acara ini digelar setiap tahun sebagai bentuk solidaritas kepada komunitas LGBTQ+. Foto: Roslan Rahman / AFP
LGBTQ

Singapura Hapus Sanksi Pidana Hubungan Gay, Tapi Tak Izinkan Pernikahan Sejenis

Komunitas LGBTQ+ di Singapura tak terlalu gembira atas pencabutan larangan hubungan homoseksual. Kebijakan anyar ini justru mempertegas sikap Singapura hanya mengakui pernikahan lawan jenis.
Koh Ewe
oleh Koh Ewe
SG

Tempat hiburan malam di berbagai penjuru Singapura diwarnai kebahagiaan yang langka pada akhir pekan lalu. Gemuruh sorak-sorai terdengar menyambut pengumuman perdana menteri yang akan mencabut larangan homoseksualitas, sebuah kebijakan peninggalan era kolonial yang telah puluhan tahun mengkriminalisasi hubungan gay. 

Beberapa tampak berpelukan dengan linang air mata haru. Mereka optimis keputusan ini bisa menjadi awal berakhirnya diskriminasi terhadap warga LGBTQ+ di Singapura.

Iklan

“Saya hanya bisa berseru, ‘Ya Tuhan, ini benar-benar terjadi,’” tutur Teo Yu Sheng, pendiri merek queer lokal Heckin’ Unicorn, menceritakan reaksinya saat menonton berita dari rumah saudara laki-lakinya. Namun, di saat bersamaan, Teo ragu apakah ini pantas untuk dirayakan, mengingat Perdana Menteri Lee Hsien Loong juga menegaskan negara hanya mengakui pernikahan heteroseksual—yang itu artinya akan mempersulit pasangan homoseksual hidup berkeluarga.

“Agak bingung juga sebenarnya. Haruskah saya bahagia dengan keputusan ini? Pantaskah saya merayakannya?” Teo memberi tahu VICE World News.

Menurut pasal 377A Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) Singapura, yang diperkenalkan selama masa kolonial Inggris pada 1938, hubungan sesama jenis, baik di ranah publik maupun privat, termasuk perbuatan zina yang memiliki ancaman hukuman maksimal dua tahun penjara. Dalam satu dekade terakhir, pemerintah Singapura telah berupaya meredam suara yang menuntut dihapusnya pasal tersebut. Namun, negara baru merealisasikannya sekarang.

Benjamin Xue, co-founder organisasi Young OUT Here yang mewadahi komunitas queer muda di Singapura, menyebut pencabutan larangan sebagai “kemenangan yang diraih dengan susah payah”.

Pasalnya, sepanjang 1990-an, banyak bisnis yang melayani konsumen gay di Singapura menjadi target operasi penggerebekan. Polisi menyamar sebagai pelanggan untuk menciduk laki-laki yang menjalin hubungan homoseksual. Mereka didakwa berbagai jenis pelanggaran, termasuk pasal 377A, hanya karena orientasi seksualnya. Aksi razia “anti-gay” terjadi pada frekuensi yang berbeda-beda, yang terbaru pada 2010.

Iklan

“Banyak orang yang mengalami masa-masa ini masih hidup sekarang, tapi beberapa sudah tak lagi bersama kami [...] dan mereka takkan bisa menyaksikan pencabutan larangan,” terang Xue dengan nada pahit terdengar dalam suaranya. “Kami berharap pengumuman ini dapat merekatkan kembali ikatan keluarga. Ini juga momen yang tepat bagi komunitas untuk menyembuhkan segala luka.”

Akan tetapi, setelah mengumumkan penghapusan pasal, PM Lee menyatakan pemerintah akan mengamendemen konstitusi negara guna mempertegas definisi pernikahan. Langkah tersebut bertujuan mempertahankan arti hubungan pernikahan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan—keputusan yang didukung penuh oleh kelompok agama dan konservatif. Dengan demikian, begitu selesai direvisi, konstitusi tidak akan dapat ditentang di pengadilan. Menanggapi kebingungan yang disebabkan oleh pengumuman PM Lee, menteri hukum K Shanmugam membuat klarifikasi pada Senin. Ia mengatakan, amandemen bukan untuk mengabadikan pernikahan heteroseksual dalam konstitusi, melainkan untuk mempermudah parlemen Singapura mengubah definisi pernikahan melalui kehendak mayoritas. Namun, tujuannya tetap untuk mencegah potensi munculnya suara yang menantang definisi pernikahan.

“Hanya pernikahan antara lelaki dan perempuan yang diakui hukum Singapura,” tandas PM Lee.

“Banyak kebijakan nasional yang bergantung pada definisi pernikahan ini—baik itu di sektor perumahan, pendidikan, peraturan adopsi, standar periklanan maupun klasifikasi film,” lanjutnya. “Pemerintah tidak berniat mengubah definisi pernikahan atau kebijakan-kebijakan ini.”

Iklan

Menurut kebijakan yang berlaku di Singapura saat ini, hanya pasangan heteroseksual yang memenuhi syarat untuk tinggal di rumah susun. Edukasi seks pun masih mengedepankan hubungan antara laki-laki dan perempuan, sedangkan aturan penyiaran publik tidak mengizinkan penggambaran positif untuk karakter LGBTQ+.

Pada 2018, aktivis menuntut pencabutan pasal 377A dikarenakan tidak sesuai prinsip “equity before the law”, yang menyatakan setiap warga negara berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa terkecuali. Gugatan itu ditolak pengadilan dengan alasan pencabutan dapat menjadi faktor pemecah belah, sehingga harus diputuskan langsung oleh parlemen.

Dengan rencana amendemen tadi, parlemen akan mendapat wewenang untuk mendefinisikan hubungan pernikahan. Apabila definisinya secara spesifik mengatur hubungan lawan jenis, itu berarti perjuangan melegalkan pernikahan sesama jenis akan menghadapi lebih banyak rintangan.

“Kami sangat menyayangkan perubahan Konstitusi yang diusulkan oleh Perdana Menteri guna melindungi pernikahan heteroseksual. Warga [LGBTQ+] nantinya tetap tidak diperlakukan secara setara,” ujar Jean Chong, co-founder LSM Sayoni yang memberi layanan advokasi kepada perempuan queer Singapura, dalam pernyataan resminya.

“Perlindungan yang diskriminatif seperti ini akan terus mengancam harkat dan martabat warga [LGBTQ+], mengirimkan pesan yang kuat bahwa hubungan keluarga mereka tak berharga di mata hukum dan hak-hak mereka bergantung pada kehendak mayoritas.”

Iklan

Beberapa bulan menjelang pidato tahunan PM Lee, pejabat negara berulang kali menyinggung bahwa mereka telah melihat perubahan sikap sosial terhadap homoseksualitas selama 10 tahun terakhir. Menteri K Shanmugam mengungkapkan pada Maret, pemerintah telah melibatkan berbagai kelompok untuk menyeimbangkan sudut pandang yang berbeda terkait pasal 377A. Beberapa di antaranya adalah kelompok agama dan konservatif yang menentang keras hubungan homoseksual.

“Pemerintah merasa telah menjadi ‘perantara yang jujur dan adil’ untuk menengahi kelompok identitas yang berbeda,” kata Rayner Tan, peneliti sociobehavioral di Universitas Nasional Singapura. Dengan kata lain, pemerintah bertindak sebagai penengah atas pandangan yang bertentangan soal pemenuhan hak-hak komunitas LGBTQ+.

Namun, Rayner menilai pendekatan ini justru mempersulit pemerintah untuk benar-benar melayani kepentingan komunitas LGBTQ+, apalagi jika penghapusan pasal dibarengi kebijakan yang terus mengabaikan identitas queer.

Contohnya seperti yang terjadi pada Mei lalu. Negara memperkenalkan aturan adopsi baru untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam peraturan terbaru, hanya pasangan suami istri yang memenuhi syarat untuk menjadi orang tua angkat. Dengan demikian, tak ada harapan bagi pasangan homoseksual di Singapura untuk mengadopsi  anak.

Belum diketahui apakah perubahan sikap pemerintah akan mendorong terjadinya perubahan kebijakan atau tidak, yang diharapkan dapat menjadikan Singapura negara yang lebih inklusif terhadap kelompok orientasi seksual minoritas. Para aktivis menegaskan isu-isu ini takkan selesai begitu saja setelah larangan hubungan homoseksual dicabut, mengingat komunitas LGBTQ+ memayungi orientasi seksual yang lebih beragam.

Iklan

“Perlu diingat bahwa perjuangan ini bukan hanya tentang ‘kebijakan lelaki gay’. Saya tak tahu apakah kebijakannya akan berubah, bukan hanya untuk orang gay, melainkan bagi semua orang di komunitas ini,” tutur Teo, mengutip orang transgender menjadi kelompok yang paling rentan.

Sharvesh Leatchmanan, pelajar berusia 25 tahun yang mengidentifikasi dirinya sebagai nonbiner, menyebut penghapusan pasal menyoroti ketidaksetaraan yang ada dalam komunitas. Sementara hak-hak lelaki gay sudah mulai diakui negara, masih banyak individu lain yang terabaikan—terutama orang-orang queer yang hidup terpinggirkan.

“Sejujurnya ini cukup suram. Mungkin ini kemenangan bagi sekelompok orang dalam komunitas queer, tapi bukan untuk orang-orang seperti saya,” ujarnya.

Meskipun begitu, para aktivis berusaha untuk tetap optimis menyambut momen bersejarah ini, tapi tidak melupakan kesenjangan yang masih ada dalam memperjuangkan hak-hak komunitas queer. 

“Penghapusan Pasal 377A memiliki arti yang berbeda bagi kita semua. Bagi orang-orang yang pernah mengalami perundungan, penolakan dan pelecehan yang terjadi karena adanya hukum ini, pencabutan larangan bisa menjadi awal berdamai dengan masa lalu,” demikian bunyi pernyataan yang dirilis bersama oleh aktivis LGBTQ+ di Singapura pada Minggu.

“Bagi yang mendambakan Singapura yang lebih setara dan inklusif, pencabutan ini menandakan perubahan masih bisa terjadi. Teruntuk teman-teman dan keluarga yang telah mendukung kami, pencabutan ini menjadi bukti dukungan kalian dapat menciptakan perubahan.”

Follow Koh Ewe di Twitter dan Instagram.