kesehatan

Nestapa Anak Cerebral Palsy: Ganja Medis Dilarang, Sirup Anti-kejang Tak Pasti Aman

Sirup anti-kejang yang biasa diresepkan untuk anak cerebral palsy masuk daftar periksa BPOM terkait ledakan kasus gagal ginjal akut. Ganja medis bisa jadi alternatif, tapi tak legal.
Anak Cerebral Palsy Butuh Ganja Medis karena Sirup Kejang diperiksa BPOM ginjal akut
Foto ilustrasi seorang anak penyandang cerebral palsy di Indonesia. Foto oleh Chaideer Mahyuddin/AFP

Orang tua anak pengidap cerebral palsy (lumpuh otak) di Indonesia dilanda waswas sekaligus geram. Tiga sirup yang biasa diresepkan untuk anak mereka, ternyata masuk daftar 102 sirup obat yang tengah diperiksa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Ketiga sirup itu adalah Sirup Asam Valproat dan Depakene yang merupakan obat anti-kejang, serta sirup Apialys Syrup yang merupakan suplemen tumbuh kembang. 

Iklan

Sebanyak 102 sirup tersebut masuk daftar periksa BPOM usai terekam pernah dikonsumsi para pasien gagal ginjal akut. Lembaga itu kini tengah mengecek keberadaan etilen glikol dan dietilen glikol di semua produk tersebut. Sembari menunggu hasilnya, BPOM mengimbau sirup-sirup itu tidak dijual maupun diresepkan. Hingga Jumat (28/10), baru 23 dari 102 sirup yang sudah dinyatakan aman dikonsumsi

Pemerintah Indonesia saat ini meyakini senyawa etilen glikol dan dietilen glikol adalah biang kerok meledaknya kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak, sejak Oktober. Hingga Rabu (26/10), data resmi Kementerian Kesehatan mencatat ada 269 anak terkena penyakit ini. Sebanyak 157 di antaranya meninggal dunia, membuat tingkat kematian gagal ginjal akut sangat tinggi, mencapai 58,3 persen.

Dalam daftar terkini berisi 198 sirup obat yang sudah dinyatakan BPOM aman dikonsumsi, tidak ditemukan nama sirup anti-kejang dan suplemen yang biasa dikonsumsi penderita cerebral palsy. Situasi ini, menurut Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan, membuat legalisasi ganja medis darurat untuk segera dilaksanakan.

Iklan

Koalisi mengatakan, tiga ibu penggugat UU Narkotika (yang ditolak MK pada Juli lalu) sudah lama mengkhawatirkan efek samping penggunaan obat-obat tersebut untuk anak mereka. Dalam wawancara VICE tahun lalu dengan Dwi Pertiwi, salah satu penggugat UU Narkotika, ia menyebutkan efek obat anti-kejang ini.

“Kalau obat modern itu namanya Depakene [salah satu merek dagang produk asam valproat], sama satu lagi [merek[ Asam Valproat. Tapi, semakin besar anak, semakin besar pula kebutuhannya dan ada efek sampingnya: gusi bengkak, bibir pecah-pecah, pendarahan di mulut,” tutur Dwi kepada VICE saat itu.

“Obat-obat ini pula yang selama ini rutin digunakan oleh Ibu Dwi Pertiwi, Ibu Santi Warastuti, dan Ibu Nafiah Muharyanti, untuk pengobatan anak-anak mereka,” tulis Koalisi dalam rilis yang diterima VICE. “... karena itulah beberapa waktu yang lalu mereka mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang Narkotika di Mahkamah Konstitusi, agar ganja bisa dikeluarkan dari Golongan I, sehingga dapat mereka manfaatkan sebagai alternatif pengobatan yang lebih aman untuk anak-anak mereka.”

Koalisi mengatakan, saat persidangan, ahli dari pemerintah Aris Catur Bintoro menyebut ganja medis tidak diperlukan sebagai obat anti-epilepsi (yang artinya juga anti-kejang) karena masih ada pilihan lain, merujuk pada obat yang diproduksi perusahaan farmasi.

Iklan

Dengan adanya temuan kandungan senyawa berbahaya di sirup anti-kejang saat ini, Koalisi mendesak pemerintah mengacu ke riset ganja medis di negara lain untuk segera menerbitkan perppu yang menurunkan golongan narkotika ganja. Tujuannya, agar secara legal ganja bisa mulai digunakan untuk kepentingan kesehatan.

Dwi Pertiwi meyakini manfaat ganja medis karena pernah menjajal langsung, ketika bermukim di Australia pada 2015-2016. Kejang yang dialami Musa, putranya yang kini telah almarhum, berhenti selama diterapi dengan ganja. Kejang itu kumat kembali ketika mereka kembali ke Indonesia. Di dunia, setidaknya 40 negara telah melegalkan penggunaan minyak cannabidiol (CBD) untuk kepentingan kesehatan.

Perkembangan kasus gagal ginjal akut

Kasus gagal ginjal akut pada anak-anak ditemukan di Indonesia pada Januari lalu, kasusnya baru dilaporkan RS ke Kemenkes ketika meningkat tajam di bulan Agustus. Gejala yang dialami para pasien anak adalah demam, hilang nafsu makan, batuk-pilek, mual-muntah, diare, serta susah bernapas. Anak-anak ini juga kesulitan hingga tak bisa kencing sama sekali.

Iklan

Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan, mulanya Kemenkes mengira kasus ini disebabkan virus, bakteri, atau parasit. Namun, review patologi para pasien menunjukkan sedikit sekali pasien yang sesuai dugaan tersebut. Dugaan penyebab lain baru muncul setelah terbit edaran WHO pada 5 Oktober. Isinya peringatan bahwa sirup obat mengandung etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), dan etilen glikol monobutil eter (EGBE) berkorelasi dengan ledakan kasus gagal ginjal akut di Gambia.

Hampir tiga pekan kemudian, Budi mengumumkan bahwa pemerintah telah menyimpulkan tiga senyawa itu sebagai penyebab kasus gagal ginjal akut di Indonesia. Ketiga senyawa ini tak seharusnya ada di produk farmasi, tapi kadang dipakai diam-diam sebagai pengganti bahan pelarut gliserin karena harganya murah. Bahkan sudah ada riwayat keracunan massal akibat senyawa-senyawa ini sejak 1937.

Penjelasan bagaimana EG dan DEG bisa ada di produk obat-obatan bisa dibaca di sini. Menurut penelusuran Katadata, mengasumsikan semua kematian pasien gagal ginjal akut akibat keracunan DEG, maka angka kematian ini menjadi keracunan DEG terparah kedua di dunia. Keracunan DEG lebih parah terjadi di Panama pada 2006, menewaskan 219 orang.  

Iklan

Sejauh ini BPOM sudah menarik dari pasaran 3 merek obat yang mengandung EG dan DEG melebihi ambang batas, yakni 0,5 mg/kg berat badan per hari. Tiga merek tersebut adalah Unibebi Cough Sirop, Unibebi Demam Sirup, dan Unibebi Demam Drops.

Pertanyaan publik saat ini, mengapa produk dengan EG dan DEG di atas ambang batas bisa beredar dan kini menewaskan ratusan anak? Kepala BPOM Penny K. Lukito mengatakan pihaknya memang tak rutin memeriksa kandungan EG dan DEG di obat sirup, namun itu karena tak ada aturan yang mengharuskan pihaknya melakukan hal itu.

"Itulah kenapa kita tidak pernah menguji, karena memang belum dilakukan di dunia internasional pun. Inilah standar yang harus kita kembangkan sekarang sehingga menjadi bagian dari sampling rutin dari BPOM," ujar Penny dalam konferensi pers, Senin (24/10).

Dengan alasan sudah memenuhi prosedur, Penny menolak jika BPOM dimintai bertanggung jawab atas maraknya gagal ginjal akut saat ini. "Jadi, jangan minta tanggung jawab kepada Badan POM karena Badan POM sudah melakukan tugas sebaik-baiknya," kata Penny pada konferensi pers, Kamis (27/10), dilansir Tempo.

BPOM kini tengah dalam proses memidanakan dua perusahaan farmasi yang memproduksi 3 obat sirup dengan EG dan DEG di atas ambang batas. “Kecurigaan kami, ada unsur kesengajaan, tapi itu perlu ditelusuri lebih jauh lagi,” ujar Peny, Kamis (27/10), dilansir Koran Tempo.

Sementara itu, Kemenkes menghadapi penambahan kasus dengan mengimpor fomepizole, obat penawar (antidotum) keracunan EG. Per 27 Oktober, seharusnya telah tiba 30 vial fomepizole dari Singapura. Sebanyak 270 vial lagi akan menyusul dari Jepang dan Singapura.