Opini

Ada Tren Karakter Influencer Jadi Sengsara dalam Cerita Film, Penonton Pun Bahagia

Kenapa belakangan banyak film, seperti buatan A24 dan pemenang Cannes, menggambarkan influencer medsos jadi korban pembunuhan atau hidup susah? Ini alasannya.
kolase dari film Bodies Bodies Bodies, Triangle of Sadness dan Not Okay
kolase dari film Bodies Bodies Bodies, Triangle of Sadness dan Not Okay oleh redaksi i-D

Rumah produksi A24 kembali menyuguhkan tontonan yang seru sekaligus menegangkan. Disutradarai Halina Reijn, film slasher berbalut komedi gelap Bodies Bodies Bodies mengisahkan keseruan remaja yang berujung petaka. 

Cerita dimulai dengan Sophie (Amandla Stenberg) mengajak pacarnya, Bee (Maria Bakalova), datang ke pesta yang diadakan teman-temannya di daerah terpencil. Anggota geng Sophie kebetulan sekumpulan anak orang kaya yang punya banyak pengikut di media sosial. “Wow, mereka semua keren banget,” kata Bee saat nge-stalk akun medsos mereka yang super estetik. “Mereka enggak se-nihilistik kelihatannya, kok,” Sophie menjawab. Oh ya, Sophie dan Bee bersenang-senang di tengah kekhawatiran terjadinya badai.

Iklan

Ada banyak istilah yang lebih tepat menggambarkan geng Sophie — beranggotakan David (Pete Davidson), Jordan (Myha’la Herrold), Emma (Chase Sui-Wonders), Alice (Rachel Sennott) dan pacar baru Alice yang ketemu di Tinder, Greg (Lee Pace) — seperti membosankan, tak berperasaan, sombong dan kelewat tajir. Konflik di antara mereka muncul setelah permainan yang dimaksudkan untuk memeriahkan pesta, justru memakan korban. Mirip game Among Us, pembunuhnya teman mereka sendiri.

Ada kepuasan tersendiri menyaksikan sekelompok influencer muda — macam orang-orang yang asyik liburan ke Bali, sedangkan kita dilarang keluar rumah selama PSBB — kalang kabut melindungi diri. Filmnya menunjukkan betapa mereka tak segan-segan menghabisi satu sama lain dalam keadaan terpojok.

Sejak munculnya Instagram dan acara realitas TV seperti Keeping Up With The Kardashians, budaya influencer telah meresap begitu kuat dalam keseharian kita semua. Mereka ada di mana-mana, dan postingannya selalu mendominasi linimasa. Kehidupan influencer juga menjadi konsumsi publik, terlepas kita menginginkannya atau tidak. Dalam serial Love Island, kita bisa melihat proses perjalanan seseorang menjadi influencer. Meski tontonan ini memiliki konsep ajang pencarian jodoh, para kontestan secara tidak langsung bersaing mengumpulkan penggemar sebanyak mungkin — secuil harapan direkrut menjadi model atau bahkan bikin label fast fashion sendiri (yang merusak planet) tersimpan dalam lubuk hati mereka. Dalam Selling Sunset, kita menonton perjuangan keluarga tajir menjual vila musim panas mereka dengan harga fantastis. Kalaupun ada yang beli, rumah-rumah yang kebanyakan berdekorasi norak pasti akan lebih sering kosong dan hanya dijadikan sebagai tempat penginapan selama liburan.

Iklan

Namun, kita juga punya batas kesabaran memaklumi tingkah laku kalangan berduit yang seenak udel dan tidak tahu tempat, terutama ketika mereka menjadi salah satu penyebab semakin parahnya perubahan iklim, besarnya kesenjangan ekonomi dan terkikisnya hak asasi manusia. Sementara kelas proletar banting tulang menopang hidupnya, kaum borjuis berlomba-lomba memperkaya diri sendiri. Tak sedikit pula influencer menjadi miliarder, dan total kekayaan mereka nyaris mustahil disaingi tanpa memanfaatkan ketimpangan finansial. Meningkatnya ketertarikan masyarakat terhadap platform yang terbebas dari influencer bukan tanpa alasan. Slogan “eat the rich” yang diciptakan seorang revolusioner Prancis, belakangan ini berkembang menjadi sentimen anti-kapitalisme lantaran kita sudah geram melihat orang-orang berkuasa lebih mementingkan profit daripada kesejahteraan yang merata.

Bodies Bodies Bodies bukan satu-satunya film yang mengungkapkan kekesalan kita terhadap selebgram dan semacamnya. Triangle of Sadness, misalnya, mengikuti kehidupan glamor pasangan seleb-model Carl dan Yaya (diperankan oleh Harris Dickinson dan Charlbi Dean) yang diundang naik kapal pesiar bersama beberapa tamu VIP lainnya. Di tengah perjalanan, bencana datang bertubi-tubi dan menjungkirbalikkan tatanan kekuasaan sosial yang selalu mereka banggakan. Uang dan ketenaran mendadak tak ada artinya lagi, sehingga Yaya dan Carl terpaksa beradaptasi dengan pergeseran dinamika kekuasaan. Film yang digarap Ruben Östlund memenangkan Palme d’Or di Festival Film Cannes tahun ini. Banyak orang menyebut film ini bagaikan campuran antara Below Deck dan Lord of The Flies

Iklan

Runtuhnya budaya influencer juga terungkap di sepanjang film Bodies Bodies Bodies. Karakter Alice sekilas terlihat seperti orang yang tidak punya pendirian. Dia menclak-menclok ke sana kemari tergantung pihak mana yang paling menguntungkan dirinya. Alice bahkan punya podcast, tapi topik pembicaraannya tidak penting sama sekali. Ketika orang pertama terbunuh, para influencer dalam film itu mengorbankan orang-orang yang dicap tidak sepenting dan sekaya mereka demi keselamatan pribadi. Gelembung aman mereka akhirnya pecah seiring banyaknya korban berjatuhan. Ya, ada kepuasan tersendiri melihat orang-orang sok penting diteror rasa takut.

Di sisi lain, film komedi satire berjudul Not Okay (2022) memperlihatkan bagaimana kehadiran influencer di medsos dapat mendatangkan dampak buruk di kehidupan nyata. Dalam film yang tayang di Hulu, Zoey Deutch memerankan Danni, seorang zilenial yang berambisi menjadi perempuan terkenal ala Caroline Calloway — influencer yang dijuluki ratu penipu Instagram. Dia menghalalkan segala cara demi viral di internet. Dia mengarang kisah sedih bahwa dirinya korban serangan teroris yang selama ini tidak berani bersuara. Danni memanipulasi penderitaan dan kesedihan korban sungguhan untuk keuntungan pribadi. Kita sudah sering melihat di dunia maya, bagaimana seleb sok paling peduli setiap ada isu sosial yang ramai dibicarakan publik. Padahal, aktivisme mereka hanyalah pertunjukan belaka. Alih-alih mengesampingkan konsekuensi dari tindakan Danni demi “pengembangan karakter”, Not Okay justru menghadirkan pemandangan Danni menebus kecerobohannya. 

Kita dengan sabar menunggu terjadinya revolusi. Hari di mana artis papan atas seperti Taylor Swift dan Kylie Jenner tidak bisa naik jet pribadi dan harus bersabar saat tertahan di pos pemeriksaan bandara karena dikira membawa senjata, padahal sebenarnya itu cuma pisang. Kita menunggu datangnya hari influencer digantikan sepenuhnya oleh Lil Miquela, dan James Charles tak lagi mampu menjual drama demi konten. Selama hari itu belum tiba, kita hanya bisa dipuaskan oleh film-film yang mengobrak-abrik kehidupan mereka. Lagi pula, bukankah seru menyaksikan si kaya bertindak bak kanibal karena kenyamanan mereka terancam?