Sains

Ilmuwan Bikin Simulasi Big Bang di Italia, Buat Memahami Permulaan Alam Semesta

Tim ilmuwan membuat ledakan terkontrol, menembakkan proton ke inti deuterium dari dasar pegunungan Italia. Harapannya pemahaman manusia soal komposisi awal bisa bertambah.
Foto: Mondadori Portfolio, Kontributor via Getty (kiri). Carlo Passaseo / EyeEm via Getty (kanan)
Foto: Mondadori Portfolio, Kontributor via Getty (left). Carlo Passaseo / EyeEm via Getty (right)

Konon manusia terbuat dari “debu bintang”. Bukankah menakjubkan bahwa tubuh kita ini mengandung unsur-unsur inti bintang yang sudah lama mati? Namun, yang mungkin belum kalian ketahui adalah sebagian kecil dari dirimu—dan alam semesta—tercipta sekitar 13,7 miliar tahun lalu, jauh sebelum bintang-bintang pertama muncul.

Hal itu dikenal dengan nama deuterium, isotop hidrogen yang terbentuk beberapa menit setelah alam semesta tercipta. Para ilmuwan telah berhasil mencatat laju “pembakaran” deuterium dengan menirukan reaksi fusi nuklir yang terjadi pada awal pembentukan alam semesta. Hasil eksperimennya diuraikan dalam studi yang diterbitkan Rabu pekan lalu di jurnal Nature.

Iklan

“Pengukuran kami menetapkan unsur paling tidak pasti dari Nukleosintesis Ledakan Dahsyat,” fisikawan nuklir Carlo Gustavino dan Sandra Zavatarelli dari Institut Nasional Italia untuk Fisika Nuklir memberi tahu lewat email.

“Hasil eksperimen kami tentunya akan menarik bagi komunitas fisikawan partikel dan nuklir,” mereka menambahkan.

Penelitian menjelaskan deuterium adalah “indikator yang bagus untuk menentukan parameter kosmologis di awal alam semesta” karena kelimpahannya terkait dengan kepadatan materi atom normal. Jumlah deuterium yang dibentuk oleh Nukleosintesis Ledakan Dahsyat—dan laju perubahan bentuknya menjadi atom lain—sangat penting bagi asal-usul penciptaan alam semesta. 

Mustahil bagi ilmuwan untuk mengamati langsung proses pembentukan alam semesta, sehingga mereka membutuhkan jenis indikator ini. Cahaya tertua alam semesta yang disebut latar belakang gelombang mikro kosmik (CMB) terbentuk sekitar 400.000 tahun setelah Big Bang. Itu berarti ilmuwan harus menciptakan kondisi alam semesta awal di laboratorium untuk memecahkan misterinya.

Ahli fisika telah melakukan segala macam cara untuk mengukur kelimpahan dan perilaku deuterium beberapa menit setelah terjadinya Big Bang. Inti dari persamaan ini adalah proses pembakaran atau fusi deuterium, di mana inti deuterium dan proton membentuk inti helium-3.

Penelitian terdahulu telah mengukur laju ini, tetapi reaksinya sulit ditangkap secara akurat karena ada gangguan dari muon sinar kosmik, yang merupakan partikel bermuatan yang berasal dari proses energi tinggi seperti bintang, supernova, atau interaksi pasang surut materi normal dengan lubang hitam. Sinar kosmik bergerak dengan kecepatan cahaya, dan dapat menghasilkan positif palsu fusi deuterium ketika melewati laboratorium.

Iklan

Ilmuwan harus melakukan pengukuran di dasar permukaan jika tidak mau mendapat gangguan selama eksperimen. Itulah sebabnya tim Gustavino dan Zavatarelli mendatangi Laboratory for Underground Nuclear Astrophysics (LUNA) yang terletak di dasar gunung Gran Sasso, Italia. Letaknya yang tersembunyi memungkinkan peneliti untuk “menyelidiki alam semesta awal”.



“Tidaklah mudah melakukan pengukuran berpresisi tinggi dari laboratorium karena reaksinya jarang muncul dan sinar kosmik yang mencapai permukaan Bumi menghalangi deteksi sinyal yang diinginkan,” tutur Gustavino dan Zavatarelli. “Laboratorium LUNA terletak di dasar gunung Gran Sasso, sehingga gangguan latar belakang kosmiknya jadi berkurang.”

Peneliti LUNA menembakkan triliunan proton per detik ke inti deuterium menggunakan akselerator partikel di dasar gunung. Pada kesempatan langka, deuterium akan menyerap proton dan mengubahnya jadi helium-3.

“Kami sempat merasa putus asa karena hanya pengukuran yang sangat tepat yang relevan untuk kosmologi; kami berulang kali memeriksa setiap detail dari pengaturan eksperimental dan kalibrasi instrumen kami,” mereka mengenang. “Proses pengambilan data berlangsung bertahun-tahun; kami menghabiskan minggu-minggu yang melelahkan di laboratorium bawah tanah. Kami tetap kerja di akhir pekan.”

Kerja keras mereka akhirnya terbayar juga. Hasil penelitian mereka melaporkan laju reaksi dalam kisaran yang sama dengan perkiraan eksperimental lainnya tentang pembakaran deuterium setelah Big Bang.

Mereka “bangga dan senang” melihat hasilnya, yang mendukung model kosmologis standar alam semesta. Namun, masih ada banyak teka-teki lain yang belum terpecahkan tentang kondisi awal alam semesta. Peneliti LUNA tertarik melanjutkan studi mereka di laboratorium bawah tanah.

“Penelitian kami telah menjawab misteri kelimpahan deuterium, tapi masih banyak teka-teki [seputar Nukleosintesis Big Bang] yang menunggu untuk diselesaikan,” lanjutnya. “Misalnya, kenapa pengamatan astronomi melaporkan kelimpahan lithium primordial tiga kali lipat lebih besar dari perhitungan?”

“Sejauh ini, studi reaksi nuklir tampak mengecualikan solusi berdasarkan peningkatan laju reaksi nuklir. Perhitungan [Nukleosintesis Big Bang] sepertinya bisa diandalkan untuk menyelesaikan masalah ini,” peneliti menambahkan. “Jawabannya mungkin bisa ditemukan melalui ilmu fisika baru atau pemahaman yang lebih baik tentang proses astrofisika.”