Mantan Ekstremis Direkrut Dalam Kampanye Online Mencegah Perempuan Muda Masuk ISIS
Ilustrasi oleh Katherine Killeffer.

FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

Mantan Ekstremis Direkrut Dalam Kampanye Online Mencegah Perempuan Muda Masuk ISIS

Setelah pelan-pelan ISIS kehilangan banyak wilayah penting di Mosul akibat serangan militer koalisi AS, kampanye anti-ekstremisme lain menyerang militan khilafah di titik paling vital: rekrutmen anggota melalui internet.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Amira* direkrut sebuah kelompok teroris Islam ketika usianya hendak menginjak 20 tahun. "Saya diradikalisasi saat kuliah. Lebih dari satu dekade lalu. Harapan saya akan dunia yang lebih baik nyatanya dimanfaatkan mereka," ujarnya.

Sejak ISIS mendeklarasikan "kekalifahannya" pada 2014, ratusan wanita dan gadis remaja dirayu agar bersedia hijrah ke Suriah dan Irak. ISIS memang punya sebuah divisi perempuan. Brigade Al-Khanssa—begitu nama divisi itu—menggunakan platform media sosial seperti Twitter dan Facebook merekrut wanita muda dari seluruh penjuru dunia. Yang kini dilakukan Amira adalah mencegah hal yang sama terus terjadi dengan menjadi sukarelawan program One to One, sebuah gerakan merangkul kembali lelaki atau perempuan yang tengah dalam proses radikalisasi.

Iklan

"Perekrut ISIS mahir mengobral ide-ide utopis," ujar Amira. "Saya kena bujukan mereka ketika masih berumur belasan. Saya ingin mewanti-wanti orang lain agar tak mengambil jalan serupa: buang-buang waktu saja. Ada pilihan lain yang lebih baik. Toh agama atau Tuhanmu tidak memintamu melakukan hal ini."

Progam One to One menelusuri remaja target ISIS di Inggris atau AS yang rentan mengalami indoktrinasi paham-paham ekstremis, lalu menugaskan mantan ekstremis seperti Amira mendekati mereka. Bersama sembilan orang lainnya yang direkrut oleh jaringan Against Violent Extremism, kelompok berisi 309 mantan ekstremis dari seluruh penjuru Bumi, Amira mengirim pesan Facebook tanpa nama pada seorang perempuan yang tampak mendukung ISIS, mencoba membujuknya kembali "ke jalan yang benar."

"Kaum ekstremis makin melek teknologi. Mereka kini menggunakan internet dan sayangnya kita tak berusaha menangkal pergerakan mereka di internet. Ruang kosong ini yang berusaha kami isi," kata Moli Dow, koordinator proyek Institute for Strategic Dialogue, lembaga think tank dari London yang berada di belakang program One to One. Kelompoknya sejauh ini berhasil mengidentifikasi 154 laki-laki dan perempuan yang mempunyai hubungan dengan kaum sayap kanan ekstrem di AS atau ekstremis Islam di Inggris. Beberapa mantan ektremis telah ditugaskan untuk mendekati mereka.

One to One memilih individu yang akan mereka dekati berdasarkan informasi yang dibagikan para 'target' di jejaring sosial. Orang yang sering menyambangi page berisi materi propaganda ekstremisme atau masuk grup ekstremis di media sosial akan jadi target mereka. "Kami menghabiskan banyak waktu mengidentifikasi calon target kami," urai Dow. "Bagi One to One, intervensi jelas dibutuhkan oleh mereka yang tengah terjerat narasi ekstremis. Para kandidat yang kami amati tidak malu-malu menunjukkan dukungan mereka pada ekstremisme yang brutal. Kami selalu menghadapi orang-orang yang hampir tergelincir."

Iklan

ISIS beberapa bulan terakhir menghadapi gelombang serangan militer oleh koalisi yang dipimpin Amerika Serikat di Kota Mosul. Di tengah penyempitan wilayah kekuasaan, toh ISIS berhasil merekrut sekitar 30.000 warga asing ke Irak dan Suriah sejak 2014. Menurut Martin Reardon, mantan Kepala Terrorist Screening Operations Center FBI, "setidaknya 10 persen dari mereka yang hijrah ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan ISIS adalah wanita."

Warga Irak mengenakkan niqab hitam, pakaian wajib di daerah kekuasan ISIS. Foto oleh Feriq Ferec/Anadolu Agency/Getty Images

Meski jumlah pejuang asing yang pergi ke Suriah jauh menurun tahun lalu, jumlah perempuan meninggalkan negaranya untuk bergabung ISI malah meningkat. "Dalam 24 tahun terakhir, jumlah perempuan yang bergabung dengan organisasi teror melonjak," kata Dr. Erin Saltman, seorang peneliti gender dan terorisme dari Institute for Strategic Dialogue. Saltman mengumpulkan dan mengurut data yang sangat besar terkait imigran perempuan dalam tubuh ISIS. "Jadi ketika jumlah pejuang pria yang bergabung ke ISIS melewati puncaknya, ternyata ada gelombang kedua pejuang wanita—bahkan negara seperti perancis memperkirakan 40 pejuang bergabung dengan ISIS adalah wanita."

Wanita tak hanya dijadiikan target oleh perekrut ISIS—mereka sekaligus memainkan peranan penting bagi mesin propaganda daulah Islamiyah. Analisis terhadap 40.000 akun media sosial pendukung ISIS yang dilakukan tim di bawah pimpinan Dr. Neil Johnson dari University of Miami menunjukkan 16.000 akun di antaranya milik pengguna perempuan. Merujuk informasi dari VKontakte, jaringan sosial dari Rusia yang jadi sarang beragam kegiatan jihad, Johnson bisa menunjukkan bahwa wanita dalam ISIS tak sekadar menjadi pendukung Jihadis yang pasif. Lebih dari itu, mereka memiliki posisi penting mengelola jaringan online ISIS.

Iklan

"Kami menemukan data 40 persen dari anggota grup ini adalah perempuan dan posisi yang mereka pegang adalah posisi yang krusial dalam jaringan,"ujar Johnson. "Mereka berfungsi seperti lem. Tanpa mereka, jaringan ISIS akan berantakan."

"Kami berharap mendapat ancaman pembunuhan dan respon negatif," ungkap Johnson.

Temuan tim Johnson juga mengungkap bahwa perempuan cenderung lebih bisa menghindari deteksi online. Ini jelas menguntungkan seiring usaha-usaha yang gencar dilancarkan oleh perusahaan media sosial untuk menghapus konten bernada ekstremis yang makin menjamur. Jihadis perempuan lebih leluasa mengunggah sesuatu di media sosial atau memulai perbincangan personal dengan siapapun yang online dengan satu tujuan: merayu mereka agar pergi ke Suriah.

"Datangnya orang dari seluruh penjuru Bumi adalah bahan propaganda yang bagus, penting untuk proses perekrutan," urai Reardon. "Selain itu, peran perempuan sangat krusial dan strategis karena ISIS butuh orang untuk mendirikan negara—ada yang harus mengurus sekolah, mereka juga butuh dokter dan perawar perempuan serta berbagai profesi lainnya."

Menurut Reardon, lelaki yang hijrah ke Suriah makin menurun jumlahnya. Penyebabnya: misi bunuh diri tak lagi menarik jihadis pria. Masalahnya, kampanye radikalisasi yang mendorong perempuan untuk pergi ke Suriah masih efektif. Menurut penelitian Johnson, perempuan memainkan peranan yang jauh lebih penting dalam proses perekrutan lebih dari yang kita duga. Mereka juga menjadi ancaman bagi perempuan lainnya—sekelompok perempuan yang berencana pergi ke Suriah biasanya akan makin erat dan mereka akhirnya terlibat lebih jauh dalam ekstremisme.

Iklan

Gadis belia paling rentan terhadap proses rekrutmen seperti ini. Pada 2014, tiga gadis belia dari Denver, masing-masing berumur 15, 16, 17 tahun, berhasil mencapai Frankfurt dalam perjalanan mereka bergabung dengan ISIS. Analisa terhadap media sosial ketiganya menunjukkan mereka sudah sering berkomunikasi dengan beberapa perekrut kelas atas.

Di Inggris, tiga siswi berusia antara 15 sampai 17 tahun juga meninggalkan rumah mereka di kawasan timur London untuk bergabung dengan ISIS pada bulan Februari 2015. Polisi percaya bahwa kepergian mereka dimulai dari komunikasi mereka dengan Asqa Mahmood, seorang perempuan Skotlandia berumur 21 tahun yang melawat Suriah pada tahun 2013, kemudian menjadi perekrut ISIS yang sangat handal.

Sejauh ini, program One to One di luar dugaan lumayan berhasil. Indikatornya sangat sederhana, belum ada ancaman yang diterima tim Johnson. "Kami sudah berharap akan mendapat ancaman pembunuhan dan respon negatif," ungkap Johnson. "Kami menyiapkan banyak tindakan seumpama nantinya anggota kami mendapatkan ancaman. Nyatanya, kami belum pernah menerimanya. Kami juga cuma menerima dua respon negatif."

Dari semua orang yang mereka temui di jagat maya, 60 di antaranya mulai akrab dengan mantan ekstremis dan 60 lainnya memasuki masa yang disebut sebagai "kontak yang berkelanjutan' yaitu kondisi ketika target sudah mengirim lebih dari lima pesan dan "percakapan yang penting untuk deradikalisasi terjadi."

Iklan

Amira adalah salah satu mantan ekstremis paling berhasil menjaga hubungan dengan targetnya. Sebanyak 90 persen dari perempuan yang dia kontak membalas pesanya, tingkat balasan tertinggi dalam jaringan Againts Violent Extremism. Dia mengaku dia merasa dekat dengan beberapa perempuan itu. Namun, Amira merasakan "tanggung jawab yang lebih besar pada mereka" ketika berusaha menyakinkan mereka agar lebih mempercayainya dibanding menuruti bujuk rayu perekrut ISIS. Nada bicaranya santai, tak banyak menilai dan penuh rasa sayang.

"Wanita yang menganut paham Islam kolot merasa tak kerasan di Inggris," ujar Amira. "Bagi para gadis belia, ini adalah bagian dari krisis pencarian jati diri. Bagi mereka, akan sangat menyenangkan bila bisa pergi ke tempat baru dan bisa mempraktekan ajaran agamanya dengan bebas, dan semua orang akan menerima mereka."

Agar target mempercayainya, Amira selalu mengawali dialog dengan membagi pengalaman sebagai perempuan dan mantan anggota grup islamis. Dia mengaku kaget karena biasanya target yang dia ajak bicara "seketika memercayainya." Amira percaya program One to One membongkar kerentanan para gadis belia di dunia maya—namun program ini juga bisa menghentikan aliran perempuan yang datang ke Suriah. Jelas, usaha-usaha menarget perempuan dalam demografi ini mutlak harus diperluas.

"Kita harus meniru apa yang dilakukan ISIS, dan kita harus melakukannya lebih baik," tegas Amira.

"Mantan ekstremis" seperti Amira, kata Dow, menawarkan pada target mereka sebuah alternatif yang menarik dan otoritatif terhadap propaganda ISIS. "Para mantan ekstremis itu pernah menjadi anggota gerakan yang diidam-idamkan oleh calon target. Mereka bisa dengan mudah berkata 'Dulu, saya jauh-jauh pergi untuk bertempur.' Ini yang menarik dan apa yang dicari oleh para target."

Ada rencana agar metode One to One diadopsi oleh kelompok-kelompok di negara lain yang punya tujuan serupa: menahan perempuan pergi ke daerah kekuasan ISIS. Namun, ini adalah rencana yang sangat sensitif dan bergantung pada sekelompok kecil spesialis yang tak mudah ditemukan: mantan ekstremis perempuan yang mau bekerja dalam kampanye anti-radikalisasi.

"Deradikalisasi adalah proses yang makan waktu tahunan. Radikalisi hampir mirip dengan kecanduan," urai Dow. "Kami tak muluk-muluk berharap bisa mengubah cara pandang orang lewat beberapa percakapan saja. Yang kami lakukan adalah menyisipkan benih-benih keraguan. Ini adalah proses yang penting dalam proses panjang ini."

*Amira bukan nama asli narasumber.