FYI.

This story is over 5 years old.

keuangan keluarga

Keluarga Asia Terbukti Paling Jago Mengurus Keuangan Rumah Tangga

Sebagian besar anak-anak diajarkan cara naik sepeda sama orang tua mereka, tapi sebagai orang Pakistan, orang tuaku mengajariku seni berbelanja grosir bulanan.
Bawang bombay
Foto von der Autorin

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US

Apa yang kualami semasa kecil beda sekali dengan apa yang teman-temanku lalui. Kesibukan anak kecil biasanya apa sih? Paling main sama tetangga atau coba-coba naik sepeda sambil diawasin orang tua. Tapi orang tuaku yang berasal dari Pakistan tak mengajari aku cara naik sepeda. Mereka lebih tertarik mengajariku cara belanja grosiran—bakat Asia banget yang diwariskan dari generasi ke generasi dan dikembangkan seiring dengan populernya konsep cash and carry .

Iklan

Di lemari dapurku kamu bisa lihat tumpukan tomat kalengan, kacang garbanzo, dan saag, serta karung-karung beras 10 kilogram dan botol minyak 5 liter. Aku penimbun makanan dan kerap memburu produk-produk awet yang aku bisa simpan di gudang dapurku kalau-kalau terjadi perang, atau hal-hal yang enggak terduga—misalnya kedatangan seratus tamu lapar yang akan menginap di rumahmu. Kita harus selalu siap untuk menjamu.

Rasanya nyaman bahwa aku tidak perlu jauh-jauh keluar untuk bisa menikmati makanan yang tinggi energi.

Pas aku tumbuh besar, teman-temanku menceritakan bahwa orang tua mereka menimbun dus-dus ghee dan karung-karung beras di bawah ranjang mereka karena enggak ada tempat lagi buat menyimpan harta karun diskonan tersebut. Pasti mereka makan nasi basmati mentega setiap malam.

gheefreshco

Semua foto oleh penulis

Tanteku dulu mempunyai rubanah penuh barang-barang cash and carry yang dibeli suaminya tanpa izin. Pas aku masih kecil, aku ingat dulu aku suka ke bawah melihat barang-barang yang terletak di antara jus mangga Rubicon, tumpukan tisu toilet, dan kaleng-kaleng kacang hitam. Omku pernah diomelin karena membeli lima dus sabun laundri yang salah, meskipun dia berhasil memasukkan 15 kilogram bawang merah ke mobil. Itu baru namanya prioritas.

Kenapa kami seperti ini? Alasan utamanya adalah untuk menghemat uang—entah karena sensasi memuaskan pas dapat diskon (walaupun cuman beras, aku tetap merasa puas), atau karena memang keperluan.

Iklan

Ketika suamiku masih kuliah di Liverpool, dia mempunyai banyak teman Asia yang meninggalkan keluarga mereka untuk dididik di Inggris. Mereka mengumpulkan uang untuk membeli kaleng-kaleng tomat dan kacang untuk memasak kari murahan. Tapi saking banyak makanan kalengan yang mereka beli, supermarket terpaksa membatasi pembelian grosiran pada “satu dus per orang” karena pembelanja lain enggak kebagian. Setidaknya harus bangga lah, kalau kamu berhasil menghabiskan stok tomat kalengan di supermarket terdekat.

Onionscashandcarry

Kamu butuh masker oksigen untuk memotong ini semua

Tipe-tipe mahasiswa yang menjadi teman suamiku sudah rela mengorbankan jumlah uang besar demi membiayai pendidikan internasional mereka, jadi belanja grosiran benar-benar menyelamatkan mereka. Mereka rajin menabung dan enggak pernah makan di luar karena harga satu hidangan di restoran sama dengan setengah anggaran makanan mingguan. Kayaknya sampe sekarang biaya makan masih mirip-mirip deh.

Kalau ada mahasiswa yang ingin tahu cara cerdas berbelanja makanan, mereka tinggal mencari kelompok mahasiswa Asia—pasti dia bakal diajarin. Enggak ada alasan lagi buat makan mi instan dan roti tawar terus menerus.

Selain menghemat uang, kita orang Asia suka menghidangkan cukup makanan untuk meledakkan perut tamu—inilah alasan penting memiliki lemari yang stok makanannya lengkap. Pasti malu kan, kalau ada tamu yang tiba di rumahmu dan enggak ada makanan yang cukup buat mereka? Pas aku mengunjungi keluarga di Peshawar, aku dipaksa makan terus-terusan karena itu memang hal yang sopan. Aku seperti musuhnya ricecooker, mengkonsumsi cemilan-cemilan tanpa henti selama aku berada di situ.

Iklan

Demi jurnalisme investigatif, aku bertanya-tanya di sekitar Bradford, salah satu kota yang secara etnis paling beragam di Inggris, demi mencari tahu kenapa belanja grosiran begitu populer dengan komunitas lokal.

Beberapa sesama pembelanja bersemangat berkata mereka membeli karung tepung besar (yang bahkan tersedia di pom bensin lokal) karena mereka membuat chapatti sendiri setiap malam demi menghemat uang. Tetapi bagi pemilik restoran lokal, membeli kuantitas besar bahan pokok adalah keperluan. “Kami menggunakan jumlah bawang, tomat, dan beras yang luar biasa ketika memasak makanan tradisional,” ucap mantan pemilik restoran Kalim Mir, yang dulu mengoperasi restoran Darbar di Curry Mile Manchester yang terkenal. “Hampir setiap jenis kari mengandung bawang dan tomat. Berarti kalau kamu memasak dua kali sehari, kamu perlu 5 buah bawang. Seminggu udah 35 buah.”

Freshco 3

Makanan di era modern. Tinggal masukkan duit, bawa pulang, lalu makan

Shara Hasan, juru layanan konsumen di pasar swalayan Bradford Freshco Foods memberitahuku bahwa kekurangan transportasi mempengaruhi cara komunitas Asia berbelanja. Sebagian besar perempuan-perempuan Asia tua tidak menyetir mobil, dan mereka enggak mampu mengangkat semua belanjaan mereka. Beberapa bulan sekali, mereka mengajak anak-anak mereka berbelanja, membeli produk-produk besar, dan menyuruh mereka mengangkat barang-barang berat. Ibu-ibu tersebut nanti bisa kembali minggu berikutnya untuk membeli barang-barang ringan seperti sayuran dan daging. Sistem yang bagus banget.

Iklan

Namun, direktur toko, Rohail Tariq, mengatakan belanja grosiran sudah enggak sepopuler dulunya, “terutama dengan generasi muda.” Karena ini dia memutuskan untuk memodernisasikan tokonya dengan memperoleh inspirasi dari toko-toko virtual Tesco di Korea dan Jepang, di mana pembelanja tinggal nge-scan kode produk dan mengambilnya di tempat pembayaran.

Tariq memindahkan karung-karung tepung dan beras yang merusak pemandangan dari lantai toko—sebuah kenangan yang menonjol dari masa kecilku—dan menciptakan tembok berisi foto produk yang memajang semua merek tepung chapatti yang tersedia. Kini pelanggan hanya perlu mengambil tiket dari bawah setiap gambar, membawanya ke kasir, dan menunggu staf untuk membawa produk tersebut ke mobil mereka.

Mungkin cara ini lebih modern, tapi aku kangen loh mengangkat karung beras dari lantai cash and carry setiap dua minggu, yang menjadi tempat olahraga pribadiku.

Generasi muda Asia masa kini mungkin sudah meninggalkan konsep cash and carry dan lebih nyaman berbelanja di supermarket. Aku, sebaliknya, sepertinya akan terus belanja grosiran seperti yang diajarkan ibuku. Sebagai seorang ibu dari enam anak, ibuku adalah pengatur keuangan keluarga paling jempolan sekaligus koki jagoan. Bayangkan, dia cuma butuh 30 menit dari bahan-bahan kalengan, sayur mayur dan nasi. Lebih tepatnya lagi sih, ibu adalah pesulap kuliner dengan kemampuan berhitung ekonomis sekelas direktur perusahaan holding multi nasional.

Dan ibu tak cuma menimbun makanan. Beliau juga mengoleksi segala macam panci, jambu kalengan dan buncis asin. Semua koleksinya itu dijejerkan seperti rel baja Giant’s Causeway di gudang bahan makanan di rumah kami.