FYI.

This story is over 5 years old.

Begituan

Berikut Cara Mengetahui Apakah Kalian Terlalu sering Masturbasi

Standar 'keseringan' tentu berbeda-beda setiap zaman. Kami meminta sejarawan, dokter, serta psikolog duduk bersama membahas persoalan onani yang selalu menarik.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.

Dalam episode kelima serial My Struggle, penulis Norwegia Karl Ove Knausgaard menulis pengalaman pertamanya onani. Karl waktu itu sedang sendirian di kamar mandi, memelototi perempuan sintal berdada montok yang bersantai di pantai, tentu saja dengan pakaian minim. "Aku genggamkan jariku di penis lantas mengocoknya tanpa henti." Itu baru awal kesaksiannya tentang masturbasi. Akhirnya penggambaran pengalaman pertama masturbasi itu diakhiri oleh Knausgaard dengan sebuah kesimpulan. "Ngocok itu gampang banget ternyata."

Iklan

Di satu sisi, kesaksian Knausgaard tentang pengalaman pertama merancap baru muncul di halaman-halaman terakhir buku My Struggle—sebuah otobiografi yang sangat mendetail—cukup mengherankan. Yang sama mengherankan adalah cuplikan pengakuan ini muncul di edisi pertama majalah Playboy yang bebas konten bugil. Kendati demikian—jika dipikir-pikir—harusnya tak ada yang aneh dari keduanya. Stigma kegiatan "memainkan kelamin sendiri" masih sangat jelek di masyarakat manapun.

Meski berbagai pihak, dari forum Internet Reddit hingga University of Indiana berusaha menentukan batas masturbasi yang tergolong 'normal' sesungguhnya susah menentukan batas masturbasi yang wajar," ujar Professor Thomas Laquer dari Univesity of California, Berkeley. "Dulu pernah ada yang bikin survey, dan jawaban yang sukar didapatkan oleh para peneliti adalah jawaban menyangkut masturbasi dan penghasilan responden."

"Seumur hidup, saya sering menemui sosok yang bisa digolongkan sebagai "pakar masturbasi," kata Laquer saat saya menghubunginya. Sebenarnya, tak ada yang bisa menyangkal kepakaran Laquer terkait kebiasan merancap dibanding peneliti lain di seluruh dunia. Tahun 2003, Laquer menulis buku babon masturbasi, judulnya Solitary Sex: A Cultural History of Masturbation. Kami bercakap-cakap via telepon. Percakapan dimulai tak lama setelah Laquer membawa anjingnya jalan-jalan dan menyeruput latte. Rupanya, mata Laquer masih berat lantaran begadang nonton opera semalam sebelumnya.

Iklan

"Memainkan kelamin sendiri masih punya stigma jelek," ujar Laquer. "Orang sering merancap bukan karena mereka tak punya pasangan untuk berhubungan seks. Sebaliknya mereka masturbasi ketika tidak mereka tak bisa menulis, tak bisa tidur, dan sebagainya. Pokoknya ada yang engga beres." Laquer bahkan menyatakan, "masturbasi sebelum menulis bukan hal yang aneh dalam dunia sastra."

Saya lantas melontarkan pertanyaan pada Laquer tentang kapan kita terhitung "sudah berlebihan" masturbasi. "Nah, itu pertanyaan yang susah dijawab," kata Laquer. "Jawabannya menyinggung akar dari birahi manusia serta perbedaan antara kita dan hewan."

Menurut Laqueur, "keseringan masturbasi" adalah konsep yang baru muncul kemarin sore. Buktinya para pemikir besar kuno tak sedikit pun membahas efek buruk onani. "Bukan berarti Plato engga pernah mikirin seks," ungkapnya. "Untungnya dia tak pernah memikirkan cara memuaskan hasrat birahi yang satu itu." Alhasil, seni ngeseks swadaya ini tak terdokumentasi sampai Abad Pencerahan.

Perubahan cara pandang tentang masturbasi memiliki akar pada sebuah traktat yang ditulis seorang dokter misterius di Eropa. Masturbasi oleh sang dokter dinggap sebagai sebuah penyakit. Sang dokter sampai bikin nama untuk penyakit tersebut: Onanism.

Nama penyakit itu diambil dari sebuah cerita dalam alkitab tentang sosok Onan yang memilih menumpahan sperma ke bumi alih-alih mengawini istri mendiang kakaknya dan membesar anak mereka. Tentu saja, lantaran kisah ini terekam dalam Kitab Perjanjian Lama, Onan langsung memperoleh hukuman dari Tuhan.

Iklan

Sebelum munculnya traktat misterius itu, kisah ini cuma dimaknai sebagai parabel tentang anjuran agar tak lari dari tanggung jawab. Namun sang dokter misterius penulis traktat itu ternyata punya otak encer. Di tangannya, kisah itu diulik jadi sebentuk peringatan bahwa jika kamu masturbasi, Tuhan akan menghukum kalian. "Isi traktat itu cara pandang yang sinis," tutur Laquer. "Bayangkan saja, di masa itu ada dokter yang mikir 'gimana caranya aku dapat duit ya? Ah gini saja: aku tulis kalau masturbasi bikin manusia sakit."

Poster iklan dari Prancis di abad 19, yang menunjukkan alat agar kalian terhidar dari kebiasaan masturbasi. Semua foto dari arsip Wellcome Library.

Memasuki Abad Pertengahan, masturbasi dianggap sebagai kegiatan terlarang. "Para filsuf menganggap mastubasi adalah akar kebejatan masyarakat. Secara moral, masturbasi dianggap sebagai sebuah penyakit menyeramkan," ungkap Laquer. Immanuel Kant merupakan salah satu filsuf yang memusuhi masturbasi. Di mata Kant, merancap setara mencoba bunuh diri. Bagi Kant, "Kalian tak bisa menggunakan orang lain sebagai sebuah obyek. Jika kalian bunuh diri, kalian otomatis memperlakukan diri kalian sebagai obyek. Tapi tindakan bunuh diri ini agak bisa dimaafkan karena, misalnya, kamu kelewat sedih. Mereka yang kecanduan masturbasi bagi Kant cuma mencari alasan agar bisa memperlakukan dirinya sebagai obyek. "

Anehnya, maraknya usaha mengekang kebiasan masturbasi tak harus ada sangkut pautnya dengan seksualitas. "Abad 18 adalah masa-masa orang lagi seneng-seneng ngeseks di Eropa." Kebiasan mengelus kelamin ini dianggap sebagai kegiatan yang tak pantas dilakukan. Anggap ini sebelas duabelas dengan kecaman yang muncul ketika melihat bocah zaman sekarang sekarang asyik bermain video game atau memandangi gawai mereka. "Intinya, masturbasi disangka menghasilkan tipe orang yang tak pantas ada dalam masyarakat kita."

Iklan

Stigma buruk terus menempel pada mastubasi setelah pergantian abad. Selama Perang Saudara Amerika Serikat, "ada catatan tentang tentara yang dihukum karena apa yang waktu disebut sebagai 'wabah masturbasi,'" jelas Laquer. "Fantasi seks itu datangnya dari wilayah-wilayah gelap dalam nilai-nilai yang berkembang masyarakat kita." Saat ini, kegiatan mengelus-ngelus kelamin dipandang dengan perspektif yang lebih liberal. Ini adalah imbas dari riset penting yang dilakukan oleh seksolog Alfred Kinsey yang melakukan penelitian mendetail tentang seksualitas manusia di University of Indiana. "Hasil penelitian Kinsey membongkar fakta bahwa masturbasi sejatinya kegiatan yang lazim dan bakal selalu ada. Pun, masturbasi tak ada hubunganya dengan gangguan apapun." ujar Dr. Eli Coleman, seorang profesor di Departemen Kesehatan Keluarga dan Masyarakat, University of Minnesota. Coleman pernah mengadakan sebuah konferensi tentang masturbasi. Coleman juga seorang pendukung penggunaan perkakas untuk membantu seseorang mengenali tubuh dan seksualitasnya.

"[Mastubasi] adalah bentuk ekspresi seksual yang sehat," imbuh Coleman.

Meski dianggap lumrah dan sehat, tetap perlu ada semacam batas jumlah merancap. Batasan itu selalu ada hubungannya dengan darah. Alexandra Katehakis, seorang dokter klinis di Center for Healthy Sex, Los Angeles, kenyang mendengar cerita tentang penis yang lecet dan berdarah serta perempuan yang terlalu sering menggunakan vibrator sampai kulit vaginya terluka. Menurut Katehakis, jika seseorang meracap sampai ke level menyakiti diri dan "tak ada hubungannya dengan usaha mencapai orgasme—masturbasi intinya jadi kegiatan obsesif kompulif," maka ini harus jadi penanda gangguan obsesif kompulsif atau bahkan pelecehan seksual terhadap anak.

Iklan

Katehakis juga mewanti-wanti, khusus untuk pria, bahwa keseringan mastubasi sambil nonton film porno bisa berujung gangguan susah ereksi ketika melakukan seks dengan pasangan sesungguhnya. "Kasus semacam itu sering kami jumpai," ujarnya. "Jika ada seorang pria berumur 20 atau 30 tahunan mengalami gangguan ereksi, maka pertanyaan yang pertama muncul adalah 'sesering apa pasien ini menonton film porno?'"

Harap diingat, Katehakis bukanlah aktivis antimastubasi garis keras. Sebaliknya, dia adalah seorang terapis seks berlisensi. "Pornografi dan mastubasi merupakan sumber kepuasan seks sesorang," ungkapnya. Yang penting bagi Katehakis adalah jika memang ingin onani, lakukanlah dengan aman—terlepas dari apapun gender kalian. Artinya, kita harus memastikan bahwa hobi mengelus kelamin ini tak menggangu keseharian kita. Biasakan memainkan kelamin dengan halus serta selalu menggunakan pelumas.

Salah satu akar ketidaktahuan kita akan teknis merancap yang benar adalah karena kita tak pernah dianjurkan melakukannya. "Orang dewasa malu jika kepergok sering mastubasi," ujar Elise Franklin, psikolog asal Los Angeles yang gemar mempromosikan sikap pro kesadaran seksual. "Ketika kamu berumur dua tahun dan kedapatan sedang menyentuh kelaminmu, orang tuamu pasti blang 'eh dedek, engga boleh gitu ya.' setelah itu, dalam kelas-kelas pendidikan seksual, mastubasi cuma jadi bahan banyolan."

Meski masih kerap diselubungi stigma buruk, semua pakar yang saya hubungi menyimpulkan tak ada yang namanya "keseringan masturbasi." Merujuk pada apa yang dikatakan Franklin, "ada ratusan cara untuk merancap dan tak ada satupun teknik yang berbahaya."

Follow Drew Millard di Twitter .