FYI.

This story is over 5 years old.

Views My Own

Friend Zone itu Omong Kosong, Cewek Tak Harus Jadian Sama Teman Cowok Yang Berkorban Banyak

Nih, saya jelaskan sederet alasan kenapa cewek engga punya tanggung jawab moral apapun sama mereka yang merasa kena 'friend zone'.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Canada.

"Friend zone": istilah generik buat menggambarkan kondisi seorang laki-laki manis dan peka, yang ikhlas menemani perempuan, tapi si cewek malah kecentilan suka menclok sana-sini dan engga tahu diuntung. Laki-laki ini misalnya senang membuatkan mixtape berisi lagu-lagu dari band-band indie, meminjami buku-buku Umar Kayam edisi pertama, mengantar belanja ke sana ke mari. Selalu siaga deh.

Iklan

Tapi, SORI BANGET YA. Ternyata si perempuan cuma pengen temenan aja sama dia ("Duh, kebangetan deh cewek ini," kata banyak komentator yang gayanya khas follower IG LamTur). Istilah "friend zone" tertanam terlalu dalam budaya masa kini, sehingga tidak ada yang mempertanyakan validitasnya. Saya melakukan pencarian singkat tentang artikel-artikel di Internet diperuntukan kepada pembaca laki-laki. Hasilnya topik "friend zone" menjadi salah satu yang terpopuler. Pembahasannya mencakup tips menghindari friend zone; bagaimana kamu menyadari sudah di-friendzone; bagaimana cara keluar dari friend zone, dan lain sebagainya. Sepertinya tidak ada yang mau berhenti sejenak memikirkan apa dampak istilah ini terhadap perempuan. Ketika laki-laki menggunakan istilah "friend zone", muncul kesan mereka menyalahkan perempuan karena perasaannya tersakiti. Konsep "Friend zone" menyudutkan perempuan yang menggunakan hak mereka menolak laki-laki; sebagaimana istilah "pecun" kadang dipakai menyudutkan perempuan karena menggunakan hak mereka untuk tidur dengan laki-laki yang mereka mau (kalau di Barat, istilah "bitch" sering digunakan menyerang perempuan yang berani menggunakan hak menegur siapapun yang kebanyakan bacot). Dengan menggunakan istilah "friend zone," laki-laki seakan memberitahu bahwa perempuan berutang sesuatu kepada mereka. Istilah ini seakan-akan mau bilang perempuan tidak memiliki otonomi atas pilihan hidupnya. Perempuan, dalam bayangan kaum friendzone, harus membiarkan orang lain membuat keputusan untuk mereka.  Perempuan yang dicap memperlakukan laki-laki dalam 'friend zone', dicitrakan tak tahu balas budi. Perempuan kesannya wajib selalu bersyukur, 'masih ada lho seorang laki-laki—laki-laki yang baik sama kita'. Gila ya, cuma gara-gara baik, terus dia engga boleh ditolak. Okelah, kamu mungkin bisa mengaku kamu lelaki yang tidak seksis, atau rasis, atau dangkal, atau narsis, atau abusive. Tapi yaudah deh. Ternyata banyak lelaki di luar sana yang merasa pantas memperoleh penghargaan cuma karena melakukan hal yang semestinya dilakukan semua manusia bermartabat.

Perempuan terus-menerus diberi tahu, jika perasaannya tidak sepenting insting dan perasaan laki-laki yang merasa telah berkorban banyak. Kamu engga suka digodain di tempat kerja? Tapi kan cuma di kantor laki-laki bisa punya kesempatan bertemu pasangan? Kamu engga suka ketika laki-laki tak dikenal bilang kamu punya tete yang enak buat diremes? Ya anggaplah itu pujian! Lucu sih, mendengar betapa seringnya perkataan "anggaplah itu sebagai pujian" dikatakan laki-laki dewasa yang masih perlu belajar mengatasi penolakan. Jika seorang perempuan bilang dia merasa tidak aman karena pelecehan seksual di jalanan, lalu ada lelaki berpikir, 'wah sekarang engga bisa ngenggodain perempuan lagi dong', kita tahu kan siapa yang gila. Kalau kamu pikir perempuan-perempuan itu sinting karena engga menganggap pelecehan sebagai pujian, kamu pasti belum tahu rasanya digodain laki-laki yang mengancam membunuhmu setelah kamu menolaknya.

Seringkali, si 'friend' yang berada dalam 'zone' tidak nyata ini melancarkan upaya-upaya romantis: dia mengirim chat selamat pagi tiap hari, dia menghadiri acara-acara yang kamu datangi, dia nge-like semua hal yang kamu posting ke Facebook, dan dia menceritakan semua tentang kamu ke kawan-kawannya. Manis banget ya. Gemes deh. Lelaki melakukan upaya konsisten seperti itu, karena masyarakat mendidik mereka demikian. Mereka selalu diberitahu jika kerja keras tidak akan mengkhianati. Semua upaya bakal sepadan kok! Tentu saja ketika perempuan melakukan hal yang sama seperti cowok-cowok 'friend zone', mereka akan dicap menyedihkan dan agresif. Masalahnya, jika seorang perempuan bilang dia tidak tertarik pada teman yang dianggap masuk kategori 'friend zone', asli deh, dia tuh bukan jual mahal tahu. Ketika dia bilang "engga mau pacaran" misalnya, kata-kata itu bukan 'iya yang tertunda'. Coba deh kalian yang tersandera delusi friend zone bisa mikir dikit. Sadarilah bila kamu tidak bisa mengklaim berhak memiliki seorang perempuan hanya karena kamu melihatnya paling duluan, atau karena yakin banget kamulah yang dia butuhkan dengan semua pengorbananmu itu. Jangan lupa, laki-laki juga bisa "mem-friendzone-kan" perempuan. Tapi jujur saja, cara pandang lelaki kan sederhana soal hubungan. Ada satu kebenaran universal yang menurut saya harus diakui siapapun: perempuan tidak pernah memandang lelaki dalam kacamata biner, seperti misalnya "apakah dia bisa ditiduri atau engga?"

Perempuan punya hubungan lebih bernuansa dan kompleks dengan perempuan lain, laki-laki, dan manusia lain di luar gender arus utama. Benar, pada dasarnya laki-laki juga bisa mengecewakan teman perempuannya. Tapi tipe laki-laki yang mengklaim di-friend zone sebenarnya tanpa sadar hanya kecewa karena dia gagal menguasai, dan ujung-ujungnya, meniduri cewek yang jadi incarannya.

Jadi, kesimpulannya, kalian para laki-laki yang merasa 'di-friend zone' mesti mendewasakan diri, lalu belajar menerima penolakan dari perempuan seperti laiknya manusia dewasa. Ingatlah, konsep "friend zone" itu cuma omong kosong.