FYI.

This story is over 5 years old.

Film

Cara Bioskop Konvensional Melawan Perkembangan Layanan Streaming Macam Netflix Cs

Netflix mungkin sedang jaya-jayanya, tapi 'Infinity War' dan 'A Quiet Place' memaksa orang kembali berbondong-bondong menonton film di bioskop dan membuktikan bahwa cara menonton film tradisional belum habis.
(Photo via Marvel/Disney)

Peringatan bocoran film: artikel ini tak mengandung bocoran film Avengers: Infinity War atau A Quiet Place. Cuma karena peringatan seperti ini semacam wajib dipajang di awal artikel tentang film, ya sudah deh, kami pasang deh biar makin afdol tulisannya.

Setelah Marvel Cinematic Universe berjalan selama satu dekade dan menelurkan 20 film, Avengers: Infinity War muncul sebagai film yang sama saktinya seperti tokoh Thanos yang ada di dalamnya. Setelah berhasil menjadi film paling banyak ditonton saat ini di Inggris, dalam waktu dekat, Infinity War kemungkinan besar masuk jajaran film musim panas yang berhasil mengantongi pendapatan sebesar US$2 miliar (Rp28 triliun) di seluruh dunia (sampai saat ini baru tiga film yang bisa melakukannya). Dan berbeda dengan film macam Jurassic World—yang nyaris sama lakunya tapi langsung menghilang dari pembicaraan tentang budaya pop dan kritik film, respon budaya yang diperoleh Infinity War susah ditandingi.

Iklan

Coba, deh sebutkan satu kutipan dialog saja dari film Avatar yang mencetak angka penjualan karcis sampai $2,7 miliar di seluruh dunia itu? Gak bisa kan? Bandingkan dengan Infinity War. bahkan sebelum semua orang kebagian jatah nonton film ini, meme-meme “I don’t feel so good” sudah bersliweran di internet dan kadung melekat dalam kesadaran kolektif kita. Belum lagi, diskusi tentang akhir film itu dan kelanjutan franchise MCU begitu mendominasi diskursus budaya belakangan ini. Singkatnya: kita memutuskan nonton Infinity War karena kita tak mau ketinggalan. Kita nonton karena orang lain nonton. Dan, akhirnya kita nonton karena Infinity War adalah sebuah kejadian sinematik bersejarah.

Kejadian sinematik macam ini kian mustahil terjadi di zaman streaming dan di tengah kepungan franchise lain. Kemampuan untuk melihat melampui kebisingan ini adalah kunci kesuksesan sinematik Marvel. MCU terus menerus menjadi besar sementara franchise-franchise lainnya malah hancur berkeping-keping tak lama setelah dilahirkan (contoh paling gamblang, The Dark Tower). Kemampuan Marvel Studios untuk secara konsisten menciptakan sensasi tiap film baru mereka adalah sebuah peristiwa sinematik—ingat trailer Infinity War adalah salah satu trailer yang paling banyak dibicarakan sampai sekarang—belum kunjung tumpul. Mesin pemasaran Marvel sangat tangguh hingga mampu bertahan ketika rentang perhatian orang makin pendek di tengah membanjirnya franchise film Hollywood. Bahkan, saking tangguhnya, mesin pemasaran Marvel tetap segar bugar pasca melepas film sejelek Thor: The Dark World.

Iklan

Marvel Studios sengaja menjaga film-film bioskop sebagai film dengan status "Big Deal" dan di saat yang sama memasok serial dengan level “jalanan” ke Netflix. Ini adalah cara yang jenius untuk mengakurkan dua kanal yang selalu dianggap saling berseteru. Keributan tentang Netflix vs Cannes hanya salah satu bentuk perang proxy terbaru di kancah perfilman. Sineas ternama Steven Spielberg memandang sebelah mata film-film Netflix dan menyamakannya dengan “film televisi.” Sebaliknya, The Irishman, karya terbaru Martin Scorcese justru bakal dilepas via raksasa streaming tersebut.

Banyak yang berpendapat bahwa Netflix punya sumbangsih besar dalam mendekatkan film-film berbudget kecil dan obscure ke penonton yang sebelumnya belum pernah mereka dapatkan. Sebaliknya, ada juga yang berkilah bahwa Netflix justru mengerdilkan potensi film-film luar biasa macam Okja dan Annihilation. Debat kusir macam ini jelas tak akan berhenti sampai platform lain kelak menyingkirkan Netflix atau kita semua musnah jadi debu.

Kemudahan dan kemurahan menikmati film lewat layanan streaming merupakan faktor utama yang menjadikannya sebagai preferensi utama ritual menonton film. Di saat yang sama, industri hiburan masih gamang dan berusaha beradaptasi terhadap kemunculan layanan streaming. Satu pertanyaan yang selalu berusaha ingin dipecahkan oleh insan dunia hiburan, wabil khusus film, adalah bagaimana caranya bersaing dengan layanan streaming yang mengizinkan pelanggannya mem-pause film untuk menengok sejenak pesan yang masuk di ponselnya? Pada dasarnya, menonton film lewat streaming adalah sebuah pengalaman yang sangat berbeda dari duduk manis selama dua jam di bioskop. Lewat Netflix, kamu masih sempat chat dengan temanmu, ngelike postingan instragam gebetan bahkan istirahat nonton kapanpun kamu. Namun, dengan munculnya urgensi nonton Infinity War, atau salah satu film horor terbaik 2018, A Quiet Place—pengalaman nonton film di bioskop sepertinya kembali didambakan penggemar film.

Iklan

A Quiet Place sepenuhnya mengandalkan keinginan seseorang masuk bioskop. Film itu memanfaatkan keheningan untuk menciptakan ketegangan. Suara ruang yang penuh dengan orang yang berusaha duduk tanpa meninggalkan suara sangat mencekam dan film garapan John Krasinski benar-benar bergantung pada sensasi ini. Film ini secara tidak langsung menyandarkan diri pada pengalaman menonton film di bioskop. Seperti layaknya komedi, film bergenre horor memang berumah di bioskop karena dia hidup karena reaksi penonton yang terasa makin ketika ditonton secara massal. Salah satu pengalaman sinematik saya yang paling keren adalah saat saya menonton Paranormal Activity II. Filmnya memang jelek. Hanya saya adegan-adegan jump scare yang tercecer di film itu membuat penonton bioskop nyaris kencing di tempat duduknya, sesuatu yang susah ditandingi oleh Netflix.

Pengalaman sinematik macam ini juga punya dua mata pisau. Jika di satu sisi, dia bisa memaku penonton di tempat duduknya, di sisi lain, kehebatan A Quiet Place langsung hilang berkat congor-congor yang tak sabar menyebar bocoran dan berbagai anjuran tentang cara menonton film ini tanpa kena gangguan. Namun, sebagai sebuah film, A Quiet Place memang sengaja didesain untuk memberikan pengalaman menonton film tradisional . A Quiet Place memang seharusnya dinikmati oleh penonton yang tahu benar tentang maksud film ini.

Kalau dipikir-pikir lagi, pergi ke bioskop adalah pengalaman yang ganjil. Kamu masuk bioskop dengan orang lain—entah itu anggota keluarga, pasangan atau gebetan di kencan pertama. Lalu, begitu lampu mulai dimatikan, kamu berharap bahwa filmnya akan bagus—atau setidaknya lumayan—untuk semua orang dalam bioskop, termasuk orang lain yang kamu harap menghilang pelan-pelan agar kamu bisa konsen menonton filmnya. Alhasil, kegiatan nonton film di bioskop sejatinya aneh, setengahnya paradoksikal dan setengahnya lagi suci. Plus, tempatnya dalam masyarakat perlahan berubah seiring munculnya teknologi dan cara kebiasaan nonton film baru.

Akan tetapi, era baru kejadian-kejadian sinematik baru mengubah hal ini. Infinity War dan A Quiet Place hanyalah dua film yang memproyeksikan “etiket bioskop” ala mereka menjadi sebuah pengalaman menonton film yang mengasikkan.

Sekarang pertanyaannya, sudah berapa kali kamu mengecek ponselmu sejak kamu baca artikel ini? Maaf, tanpa sok-sokan

menjadi orang yang lebih bijak atau mirip dengan orang tua kalian, kita harus mengakui bahwa hidup kita dikelilingi layar-layar yang tak henti menawarkan gratifikasi instan sepanjang hari. Pun, kita tak perlu jadi jenius untuk tahu dampak buruk dari semua ini pada rentang perhatian kita. Barangkali fungsi bioskop saat ini adalah menjadi semacam kuil di mana kita mematikan semua gawai dan menyerahkan diri di hadapan sebuah film yang kita pilih.