latihan fisik

Berolahraga Sampai Kelelahan Bukan Ide Bagus untuk Kesehatanmu

Ikuti lima kiat di bawah ini supaya kamu enggak mengalami burnout sehabis olahraga.
Seorang lelaki sedang terbaring kelelahan di lapangan saat berolahraga
Foto ilustrasi oleh UberImages / Getty 

Saat saya masih 12 tahun, ibu menyogokku dengan dompet agar mau ikutan lomba lari marathon. Saya pun jadi ketagihan lari sejak itu. Saya masih suka lari, meski enggak begitu ngotot seperti dulu. Saya biasanya berolahraga demi kesehatan mental, bukan karena ingin membentuk badan atau apalah itu. Suatu hari, saya memutuskan serius latihan buat ikut lari marathon 10 km.

Saya meningkatkan jarak tempuh dan intensitas olahraga supaya mampu menyelesaikan lombanya. Beberapa minggu kemudian, saya merasa tenagaku lebih cepat habis. Saya sama sekali enggak punya semangat untuk berolahraga. Kondisi mental dan fisikku rasanya enggak sanggup menghadapi lomba. Menjelang hari perlombaan, saya baru sadar mengalami burnout.

Iklan

“Burnout sangat memengaruhi motivasi berolahraga,” ujar Daniel Madigan, psikolog olahraga dan guru besar psikologi olahraga di York St. John University, Britania Raya. “Bisa dibilang motivasinya bubar jalan.”

Tujuan dan aktivitas yang awalnya baik, ujung-ujungnya membuat kita kelelahan secara fisik dan mental. Burnout dapat berupa kelelahan, perasaan gagal, kesal dengan aktivitas tersebut, dan tak mengalami kemajuan karena latihan yang monoton. Siapa pun bisa merasakannya, bukan atlet profesional saja. “Banyak orang berolahraga untuk menghilangkan stres,” kata Madigan, “tapi kamu jadi tertekan kalau terlalu ngotot melakukannya. Akhirnya, berolahraga malah menambah beban hidupmu.”

Kamu sebenarnya bisa mencapai tujuan dan memperoleh manfaat dari olahraga tanpa membuat dirimu tersiksa. Begini caranya:

Coba jenis olahraga lain

Olahraga sangatlah penting bagi mereka-mereka yang aktif bergerak. Jadi, ada baiknya kalau enggak terlalu bergantung pada satu latihan fisik saja. “Saya biasanya akan mencari ketidakseimbangan pada aktivitas pasien saat memeriksa mereka,” tutur Liz Poppert, ahli terapi fisik di Santa Monica dan guru besar terapi fisik klinis di University of Southern California.

Dia akan mempelajari tingkat kardio, kelincahan, keseimbangan, dan fleksibilitas pasien. Semua aspek ini idealnya seimbang. “Kebanyakan pasien kami terpaku pada satu jenis olahraga saja. Akibatnya, mereka mudah jenuh dan kena cedera.” Selain memperkuat otot dalam tubuh dan meningkatkan mobilitas, latihan fisik yang beragam—seperti ikut kelas yoga seminggu sekali atau olahraga intensitas tinggi—dapat memberikan stimulus baru bagi perkembangan mental.

Iklan

“Riset menunjukkan olahraga yang bervariasi meningkatkan motivasi intrinsik,” terang Michelle Segar, penulis No Sweat: How the Simple Science of Motivation Can Bring You a Lifetime of Fitness dan direktur Pusat Riset dan Kebijakan Olahraga, Kesehatan dan Aktivitas. “Sepertinya belum ada studi yang membuktikan efek jangka panjangnya, tapi kami mengetahui motivasi intrinsik adalah salah satu prediktor terbaik aktivitas fisik jangka panjang. Teorinya jika keberagaman bikin orang lebih tertarik berolahraga, maka dapat meningkatkan kelanjutannya.”

Jangan lupa istirahat

Olahraga menjadi enggak efektif kalau kamu enggak istirahat sama sekali. Madigan menceritakan banyak atlet yang tetap latihan fisik bahkan ketika sedang libur, karena mengira rasa lelah adalah bukti olahraganya sukses. Padahal, terlalu keras berolahraga dapat menyebabkan burnout. “Di saat pelatih menyuruh mereka mengurangi beban latihan, para atlet malah tertantang untuk meningkatkannya karena merasa mampu,” Madigan menjelaskan. “Seakan-akan olahraganya belum benar kalau belum berkeringat deras dan kehabisan napas.”

Poppert berujar kebiasaan ini cenderung dimiliki orang-orang yang baru rajin berolahraga ketika dewasa. “Seperti diet, mereka khawatir jadi malas latihan fisik kalau kelamaan beristirahat,” lanjutnya. Layaknya kehidupan ini, bukankah sebaiknya melakukan sesuatu sewajarnya saja?

Tak perlu mengejar kesempurnaan

Dalam penelitiannya, Madigan mempelajari bagaimana perfeksionisme berdampak pada kinerja atlet. Atlet solo seperti pelari cenderung lebih perfeksionis. Mereka menerapkan standar yang terlalu tinggi, sehingga dapat menyebabkan latihan berlebihan, cedera dan burnout. “Dunia enggak akan kiamat kalau sesi latihannya tak sebagus yang diinginkan,” kata Madigan. Menurutnya, atlet non-profesional punya kesibukan lain di luar berolahraga—seperti pekerjaan dan keluarga. Kita perlu mengubah pola pikir dari harus sempurna menjadi menghargai diri sendiri karena sudah olahraga hari ini. “Yang terpenting kamu bisa menyelesaikan latihan, meski enggak sesuai target.”

Susun rencana

Kamu bisa gabung klub lari atau mengikuti program online supaya enggak merasa olahraga sendirian. “Apabila anggotanya enggak memiliki latar belakang atletik atau masih awam dalam dunia olahraga, aspek sosialisasinya dapat meningkatkan akuntabilitas dan instruksi bagi orang baru,” jelas Poppert.

Berkomitmen

Anggap olahraga sebagai pasangan hidupmu. “Penting diingat bahwa melakukan hal yang sama dalam jangka panjang bisa membuat latihannya membosankan dan tak lagi menarik,” tutur Segar. “Melakukan aktivitas baru di semua bidang, bahkan secara spontan, dapat membuat hidup kita lebih berwarna dan tertarik menjalankannya terus. Begitu pula halnya dengan berolahraga.”

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.