FYI.

This story is over 5 years old.

kesehatan

Rumah Sakit Terbang Membawa Dokter Melawan Kebutaan di Seluruh Dunia

Pesawat yang didanai Yayasan Orbis International ini percaya sebagian besar kebutaan di negara berkembang sebetulnya bisa disembuhkan.
Foto dari arsip Orbis International.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.

Di negara maju, tes mata merupakan suatu rutinitas tahunan bagi banyak orang (meski mahalnya yang kelewat gila jika tidak ditanggung). Situasi berbeda dialami negara-negara berkembang. Perawatan mata merupakan tindakan medis yang langka dan terbatas aksesnya bagi jutaan orang. Faktanya, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) jumlah orang yang menderita kebutaan berkembang sangat pesat, sehingga kebutaan akan menjadi salah satu ancaman kesehatan global yang paling mendesak dalam beberapa dekade mendatang.

Iklan

Menghadapi ancaman epidemi kebutaan tersebut, sekelompok dokter melawannya dengan fasilitas medis yang memiliki mesin dan sayap. Merekalah dokter yang mengelola satu-satunya "Rumah Sakit Mata Terbang" di dunia. Pesawat kargo MD-10 yang disumbangkan oleh FedEx dimodifikasi, diberi peralatan dan teknologi termutakhir sehingga bisa melayani operasi di ketinggian ribuan kaki. Pesawat tersebut melakukan perjalanan ke negara-negara berkembang yang memiliki kasus katarak tinggi. Para dokter tadi mengembalikan kemampuan melihat buat pasien, sekaligus melatih dokter setempat mengenai keterampilan teknis yang diperlukan untuk operasi dan pemeriksaan mata rutin.

Operasi global ini dijalankan Orbis International, sebuah lembaga nirlaba yang memerangi kebutaan di negara-negara berpenghasilan rendah. Di negara semacam itu, sebagian besar penyakit mata paling banyak berjangkit. Dari 253 juta orang tunanetra secara global, 90 persennya berada di negara berkembang. Ironisnya, menurut WHO 4 dari 5 kasus kebutaan di negara berkembang sebetulnya bisa diobati atau dicegah sepenuhnya andai ada akses terhadap perawatan kesehatan yang layak. Yang paling mengkhawatirkan, keseluruhan jumlah kasus kebutaan tersebut diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada 2050.

"Kebutaan akan menjadi tsunami epidemi, sehingga kita memerlukan lebih banyak dokter untuk bisa mengatasinya," kata Antonio Jaramillo, ketua tim dokter spesialis mata dari Orbis. "Kehilangan penglihatan Anda adalah bencana ekonomi di negara-negara ini. Bagi anak-anak, itu mungkin berarti mereka tidak bisa bersekolah hingga tingkat tertinggi. Bagi orang dewasa, ini mungkin berarti Anda tidak dapat bekerja, yang bisa membuat seluruh keluarga Anda menjadi miskin."

Iklan

Orbis International

Orbis telah mengoperasikan rumah sakit terbang ini sejak 1982. Kini, rumah sakit terbang tersebut telah jauh berevolusi dan terus diperbarui selama bertahun-tahun. Pesawat (dan peralatan) yang mereka gunakan sekarang sepenuhnya baru. Pesawat paling canggih milik Orbis memulai debutnya tahun lalu. Pesawat itu baru-baru ini mendarat di Moffett Federal Airfield di San Francisco untuk mengisi ulang persediaan. Dalam momen transit itulah saya berkesempatan naik dan mengikuti tur di dalamnya.

Dari luar, pesawat tersebut terlihat seperti pesawat pada umumnya. Tapi setelah masuk, tak ada deretan kursi yang berdempetan ketat atau ruang bagasi di atas kepala. Sebagai gantinya, terdapat fasilitas medis lengkap, termasuk ruang operasi. Saya diberitahu bahwa keseluruhan pesawat ini benar-benar setara rumah sakit. Tersedia oksigen, sistem pemurnian air, dan generator-generator untuk menjalankan peralatan bedah mata yang rumit.

Selain ruang operasi, ada area pengecekan pasien, lengkap dengan boneka beruang yang bisa dimainkan pasien anak-anak, serta ruang operasi yang dilengkapi teknologi 3D sehingga memungkinkan pembedahan disiarkan langsung via streaming ke kelas berkapasitas 46 orang di bagian depan kabin pesawat. Di lokasi presentasi itulah, dokter-dokter dari negara setempat dapat melihat prosesnya memakai headset virtual-reality dan dan mengajukan pertanyaan melalui komunikasi dua arah kepada dokter spesialis di meja operasi. Proses pembedahan tersebut juga disiarkan melalui alat yang disebut Cybersight ke rumah sakit mitra di seluruh dunia menggunakan Google Cardboard.

Iklan

"Kami mungkin hanya memiliki beberapa dokter di ruang operasi dan beberapa lusin di kelas pada bagian depan, tapi kami sebetulnya bisa membagikan pengetahuan operasi mata tersebut kepada penonton dari 50 negara sekaligus untuk mendapatkan pengalaman yang sangat akurat seakan mereka terlibat di meja operasi," kata Jaramillo.

Setiap tahun, lebih dari 400 sukarelawan medis—termasuk para dokter mata terkemuka di dunia—melakukan perjalanan naik pesawat Orbis, mengobati pasien dan mengajar dokter atau tenaga medis lokal bagaimana cara mendeteksi dan mengobati penyakit mata yang sebetulnya bisa disembuhkan semisal katarak, glaukoma, strabismus, serta kondisi mata buruk akibat diabetes.

Faktanya, diabetes adalah alasan pendorong di balik proyeksi pertumbuhan kebutaan; jumlah orang dengan penyakit ini telah berkembang dari 108 juta di tahun 1980 menjadi 422 juta pada tahun 2014. Itu adalah tren yang diperkirakan akan terus berlanjut, paling cepatnya di negara-negara berpenghasilan rendah. Kebutaan di kalangan anak-anak merupakan fokus besar lainnya. Diperkirakan ada 19 juta anak mengalami kebutaan ringan, dan kondisi mereka sangat kritis dari segi waktu. Bila tak segera diobati mempengaruhi kemampuan otak mereka untuk berkembang dengan baik serta menjadi kebutaan permanen ketika mereka dewasa kelak.

Pravin Dugel, seorang ahli bedah retina dari Arizona, telah terlibat erat dengan Orbis setelah dia melakukan perjalanan pertamanya ke Thailand bersama mereka 15 tahun yang lalu. Dugel, seorang pengungsi dari Nepal, juga memiliki kesempatan untuk kembali ke negara asalnya beberapa tahun sebelum gempa 2015 dan menggunakan koneksinya setelah bencana tersebut untuk membantu dengan tenaga penanggulangan. Dia tetap setia karena dedikasi perusahaan tersebut adalah untuk membangun jaringan diatas segalanya. "Kami tidak hanya mampir dan pergi," katanya. "Kami melatih dokter lokal, perawat, ahli anestesi, bahkan orang-orang yang memperbaiki mesin, dan menciptakan kemitraan yang berkelanjutan dengan berbagai rumah sakit dan negara."

Iklan

Orbis International

Tim Orbis saat saya temui baru saja pulang dari Kamerun. Negara di Benua Afrika itu hanya memiliki 73 dokter spesialis mata untuk melayani 23 juta orang. Perjalanan direncanakan 12 sampai 18 bulan sebelumnya. Satu atau dua hari perjalanan awal biasanya menjadi yang paling sulit, kata Dugel, ketika para dokter berkunjung ke klinik setempat dan menyaksikan rumitnya situasi di lapangan.

"Anda melihat barisan panjang dari ratusan pasien. Para pasien ini biasanya orang-orang yang telah bepergian berhari-hari dan menjual banyak barang mereka untuk sampai ke klinik darurat kami bersama anak-anak kecil dengan harapan bisa memperbaiki mata mereka atau mata anak-anak mereka," kata Dugel. Dia mengatakan bahwa bagian tersulit adalah untuk sebagian besar orang yang mereka jumpai, penyakit mereka sudah begitu parah sehingga mustahil dioperasi.

Sisa perjalanan, saat prosedur berlangsung baik di pesawat maupun di rumah sakit setempat, biasanya dokter dari Orbis akan lebih optimis. "Pesawat itu dioperasikan dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam. Target kami, dokter dan staf lokal sangat haus akan pengetahuan dan untuk memberikan perawatan yang lebih baik," katanya. "Pada saat yang sama, Anda akan melihat anak-anak atau keluarga gembira memiliki penglihatan mereka kembali. Ini mencerahkan dan menyegarkan. " Dalam satu kejadian yang sangat berkesan, Dugel mengingat pernah bertemu seorang wanita yang buta di kedua matanya, lalu mendatangi pesawat mereka untuk sebuah tes mata. Suami wanita tersebut sudah meninggal. Perempuan tadi mulai bekerja sebagai pembantu untuk menafkahi kedua anaknya tapi kehilangan pekerjaannya saat dia buta karena diabetes. Karena tidak dapat bekerja, dia terpaksa menyerahkan anak-anaknya dan pergi mengemis di jalanan. Setelah memeriksanya, Dugel melihat terdapat darah di matanya—sebuah kondisi yang memerlukan salah satu prosedur paling sederhana untuk mengobatinya. Setelah sekitar 15-20 menit, perempuan malang tadi bisa melihat lagi.

"Saya terakhir mendengar bahwa dia sudah pergi dari jalanan dan bekerja sebagai pembantu lagi, meski masih belum dapat menemukan anak-anaknya," kata Dugel. "Melihat kasus semacam ini, kami jadi berpikir semua rasa sakit dan penderitaan akibat kebutaan ringan itu seharusnya tidak perlu terjadi. Semua itu bisa dicegah."